ABC

Kisah Edy Triyanto, Pria Blitar yang Jadi Kepala Koki Restoran di Darwin

Restoran Tim’s Surf and Turf yang cukup ternama berdiri di pusat Kota Darwin. Nama head chef alias kepala koki yang dituliskan dalam papan nama restoran itu begitu kental dengan nuansa khas Jawa.

Untuk menjawab rasa penasaran, kami masuk ke restoran tersebut. Menu andalan di restoran ini adalah steak dan aneka ragam menu olahan dari daging buaya. 

Namun bukan hanya menunya yang menarik perhatian, tulisan di papan nama restoran yang mencantumkan nama ‘Edy Triyanto’ sebagai head chef menjadi perhatian tersendiri.

Saat pertama masuk ke restoran tersebut, kami tidak menemukan sosok pria Jawa. Hanya waitress dan kasir yang semua berwajah ‘bule’ yang kami lihat.

Setelah memesan beberapa makanan, bertanyalah kami kepada petugas restoran untuk mengetahui sosok bernama Edy Triyanto yang menjadi head chef di tempat itu. Petugas restoran itu kemudian memanggil orang yang kami cari.

Sesaat kemudian, dari dapur keluarlah sesosok pria bertubuh kecil. Pria berkulit sawo matang itu kemudian menghampiri kami sambil memperkenalkan diri. Dugaan kami tepat, Edy Triyanto adalah orang asli Jawa. Tapi siapa nyana, orang yang belakangan kami tahu berasal dari Blitar, Jawa Timur, itu menjabat sebagai head chef di restoran ternama di Darwin.

“Saya jadi head chef sejak tahun 2008, tapi bekerja di restoran ini sejak tahun 2005,” kata Edy saat ditemui detikcom dan 2 media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Mei 2016.

Edy begitu ramah, meskipun sedang sibuk melayani para pembeli, dia tetap menyempatkan diri untuk menjawab semua rasa penasaran kami. Edy kemudian berbagi cerita mengenai prosesnya hingga bisa menduduki posisi head chef.

Tidak mudah bagi Edy untuk bisa mendapatkan posisi sebagai head chef. Dia memulai karier di bidang kuliner sebagai seorang pencuci piring.

“Pertama kali kerja di sini ya jadi tukang cuci piring dan bersih-bersih, saat itu saya sekaligus kuliah di Charles Darwin University di bidang hospitality,” jelas Edy.

Proses panjang pun harus dilalui pria yang kini berusia 38 tahun itu. Butuh waktu lama baginya untuk bisa mendapat izin memasak. Sebagian kariernya di restoran tersebut dihabiskan sebagai tukang potong sayur dan menyiapkan kebutuhan juru masak.

Di sela-sela bekerjanya saat itu, Edy juga belajar memasak dari head chef. Selain itu, Edy juga menuntut ilmu di bidang hospitality, di mana dia juga belajar memasak.

Waktu yang ditunggu pun tiba, saat dia mendapatkan kepercayaan dan izin untuk memasak. Kepercayaan itu tidak disia-siakan Edy.

“Ya awalnya cuma boleh bikin salad. Kadang saya masuk di saat libur dan rela tidak dibayar, yang penting saya boleh belajar. Terus akhirnya saya benar-benar boleh memasak,” ungkapnya.

Beberapa tahun Edy menjadi juru masak, berbagai menu mampu dia buat. Dia pun menjadi salah satu orang kepercayaan pemilik restoran.

Suatu hari pada tahun 2008, head chef di restoran tempat Edy bekerja mengundurkan diri. Pemilik restoran pun tanpa pikir panjang menunjuk Edy sebagai head chef. Namanya pun langsung dipajang di papan nama restoran.

“Sejak 2008 itu nama saya sudah ditulis di depan sebagai head chef. Sampai sekarang saya punya tiga juru masak,” tuturnya.

Mempunya tiga anak buah, bagi Edy ada keuntungan dan kelemahannya. Keuntungannya karena dia bisa belajar dari anak buahnya yang berasal dari negara lain, sehingga pasti memiliki pengetahuan baru soal masakan. Sedangkan kelemahan yang awalnya harus dia hadapi adalah kendala bahasa.

Kini, sudah 8 tahun Edy menjadi head chef. Dia mulai bekerja pukul 17.00-22.00. Restorannya memang hanya buka pada jam makan malam.

edy triyanto.jpg
Koki Edy Triyanto di sedang bekerja di dapur restoran Tim's Surf and Turf. (Foto: Ikhwanul Khabibi).

Kandas Masuk Polri, Jadi Tukang Cuci hingga Chef

Chef Edy Triyanto tengah menikmati puncak kariernya sebagai head chef di salah satu restoran ternama di Darwin. Namun, Edy tak akan pernah melupakan jalan hidup yang harus dilalui untuk bisa mencapai posisi saat ini.

Saat ditemui Mei 2016 lalu, Edy berbagi kisah hidupnya. Dia ingat betul perjuangan berat yang harus dilalui semasa muda.

Edy lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur. Sejak lahir pada 13 Mei 1978, hingga lulus STM, Edy tinggal di Blitar. Selepas STM, Edy muda bercita-cita ingin menjadi seorang polisi. Dia pun mendaftar ke Akademi Kepolisian (Akpol), namun tidak diterima.

“Saya gagal menjadi polisi, akhirnya saya pergi ke Bali untuk bekerja. Saya bekerja sebagai penjahit, padahal STM saya jurusan mesin,” kata Edy mengenang masa mudanya.

Di Bali, Edy bekerja sebagai penjahit dan pekerjaan itu dijalaninya selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya dia mengenal seseorang dari Australia.

“Akhirnya setelah itu saya memutuskan untuk pergi ke Darwin untuk kuliah. Saat itu saya ambil jurusan hospitality dan semua biaya saya tanggung sendiri,” jelasnya.

Sesampainya di Darwin, perjuangan Edy semakin berat. Biaya kuliah dan biaya hidup yang tinggi di Darwin membuatnya harus membanting tulang agar bisa bertahan hidup dan terus menuntut ilmu.

“Di sini saya cari tempat tinggal paling murah, lalu juga kerja sampingan jadi cleaning service. Agar bisa tetap kuliah saya sehari bisa kerja di 3 tempat. Jadi saya kerja sampai subuh,” ungkapnya.

Perjuangan hidup yang berat dijalani Edy selama beberapa tahun. Sebagai petugas cleaning service, dia harus menuntaskan pekerjaannya saat subuh tiba, di pagi harinya Edy tetap harus berkuliah. Hampir tak ada waktu istirahat bagi Edy.

Hingga pada suatu ketika, Edy melamar kerja di Restoran Tim’s Surf and Turf sebagai seorang pencuci piring. Beberapa waktu berjalan, Edy tetap masih menjadi cleaning service, sehingga saat pekerjaan di restoran selesai, dia berpindah ke kantor lain untuk menjadi cleaning service.

Di restoran tersebut ternyata Edy menemukan jalan hidup. Dia mulai belajar memasak di restoran itu di samping dia juga belajar memasak di kampus. Beberapa tahun menjadi tukang cuci piring, Edy akhirnya ‘naik pangkat’ dan diperbolehkan memulai memasak.

“Awalnya saya hanya bertugas membuat salad dan memotong sayur. Selain itu juga menyiapkan (bahan) untuk chef,” urainya.

Seiring berjalannya waktu, Edy mulai masuk ke fase berikutnya, yakni jadi juru masak. Semua menu masakan sudah dia kuasai dan saat itu dia juga sudah lulus kuliah.

Hingga pada tahun 2008, nasibnya benar-benar berubah. Sang pemilik restoran menunjuknya untuk menjadi head chef. Edy pun tak bisa menolak dan sejak saat itu namanya terpampang di papan nama restoran.

Sudah terbiasa menjalankan pekerjaan berat dan bekerja keras membentuk karakter Edy. Meski dia sebagai head chef, Edy tak keberatan untuk membersihkan dapur dan mencuci piring saat pekerjaannya sudah selesai. Bahkan, dia rela masuk di saat libur dan tanpa dibayar.

“Saya tidak pernah perhitungan, apa yang bisa saya kerjakan ya saya lakukan,” ujarnya.

Sang pemilik restoran, Tim Hayward, sangat menyukai Edy. Tim sangat percaya pada Edy yang sudah lama bekerja dengannya.

“Edy adalah pekerja keras namun tetap rendah hati. Dia tidak ragu membersihkan dapur dan mencuci piring. Dia juga tidak masalah masuk saat libur kalau kami membutuhkan. Benar-benar tidak perhitungan,” kata Tim.

“Sekarang Edy adalah bos saya, bukan saya lagi yang memegang restoran ini,” canda Tim.

Sebagai head chef, Edy mengurus dapur mulai dari pembelian bahan makanan. Setiap pagi, dia datang untuk mengecek semua bahan makanan yang datang. Sore harinya Edy akan mulai bekerja pukul 17.00 hingga pukul 22.00.

Kini, Edy tinggal di sebuah apartemen bersama istrinya bernama Meirika. Istri Edy berasal dari Surabaya dan bekerja sebagai barista di sebuah coffee shop di Darwin.