ABC

Kisah Buto dari Yogyakarta dinikmati anak anak Melbourne

Dongeng buatan anak pedesaan di Yogyakarta telah dirubah menjadi hasil seni dalam wujud komik raksasa oleh Polyglot theatre dan Papermoon Puppet Theatre dan dinikmati ratusan anak anak di Melbourne tiap harinya.

Selama satu minggu, Deakin edge di Federation Square ramai dikunjungi anak anak kecil yang antusias mengikuti dongen yang dikarang oleh puluhan anak dari kaki gunung merapi di Yogyakarta.

Kisah yang diberi judul Misteri Siung Buto ini mengisahkan tentang sekumpulan warga desa yang kehilangan ayam akibat dicuri oleh segerombolan raksasa.

Dongeng dan kumpulan gambar yang dikarang oleh kurang lebih 50 putra putri Indonesia ini kemudian diceritakan kepada anak anak dari Victorian College of the Deaf yang juga kemudian ikut menggambarkan imajinasi mereka.

Victorian College of the Deaf sendiri adalah sekolah khusus untuk anak anak tuna rungu di Victoria. Selain menggambar, anak anak dari sekolah ini juga turut membantu dalam pembuatan video yang menceritakan tentang kisah ini dalam bahasa isyarat supaya tidak hanya anak anak normal saja yang bisa menikmatinya.

Gambar gambar dari anak anak di Melbourne dan Yogyakarta ini kemudian di kumpulkan jadi satu oleh Polyglot Theatre dan Papermoon Puppet Theatre untuk diperbesar menjadi komik raksasa.

Tidak hanya menampilkan kisah tersebut dalam bentuk komik raksasa, pameran ini  juga mempertunjukkan beberapa kegiatan yang bisa dilalukan oleh anak anak yang berkunjung seperti membikin topeng yang digunakan oleh penduduk ketika menyerang raksasa, atau kutu yang mendamaikan kedua kubu manusia dan raksasa.

Selain itu, di sepanjang berjalannya pameran, beberapa penampil dari Polyglot theatre juga turut memfasilitasi imajinasi anak anak dengan berpura pura tidur, bermain dengan boneka ayam yang dicuri oleh raksasa, atau mengejar anak anak dengan kaki raksasa.

Manajer Produksi dari Polyglot theatre Emma dodd, mengaku bahwa pengunjung sangatlah antusias dengan pameran ini.

“Anak anak yang hadir sangatlah antusias dan mereka sangat menikmati kisah tentang raksasa ini. Banyak dari anak anak bahkan membawa pulang topeng yang mereka buat disini untuk dipakai bermain dirumah.”

Polyglot theatre sendiri rupanya telah lama bekerja sama dengan Papermoon Puppet Theatre.

“2 tahun yang lalu, kami sudah pernah bekerja bersama dengan Papermoon Puppet Theatre di Yogyakarta.”

“Ketika itu, kami memfasilitasi anak anak untuk mengarang cerita buto ini dan akhirnya kami membuat sebuah pementasan bersama 50 anak anak yang terlibat,” tambahnya.

Pameran ini adalah bagian dari drawbridge project yang diadakan oleh Polyglot theatre setelah proyek di Yogyakarta tersebut. Menurut Emma, mereka berharap bahwa setelah pameran ini selesai, mereka dapat mengembangkan proyek ini dan menggabungkannya dengan budaya lain.

“Saya sangat berharap bahwa kedepannya kami dapat bekerja sama bersama budaya lain seperti Jepang untuk mengembangkan karya ini lebih dalam lagi.”

Polyglot theatre sendiri adalah kelompok teater asal Melbourne yang telah beberapa kali melakukan proyek ke Indonesia.

Sedangkan Papermoon Puppet theare adalah kelompok teater boneka dari Yogyakarta yang dipimpin oleh Maria Sulistyani dan Iwan Effendi yang memang sudah sering bekerja dengan seniman seniman di luar Indonesia. Selain dalam proyek drawbridge ini, Papermoon Puppet Theatre sudah melewatkan lebih dari satu bulan di Melbourne untuk bekerja dalam proyek lain yang diberi nama Light in Winter.