ABC

Kisah Bumbu Kehidupan di Australia Sejak Tahun 1956

Baru-baru ini di Melbourne diterbitkan sebuah buku berjudul Jejak Langkah Orang Indonesia di Victoria. Salah seorang di antaranya adalah Sjahisti Abdurrachman Goldrich yang tiba di Melbourne di tahun 1956.

Inilah kisah mantan penyiar Radio Australia ini mengenai kehidupan dengan berbagai bumbunya di Australia.

Teringat dalam benak tulisan menarik tentang masak-memasak yang dimulai dengan ucapan Albert Einstein:

“I believe in intuition and inspiration, imagination is more important than knowledge for knowledge is limited whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress and giving birth to evaluation.”

‘Saya percaya pada intuisi dan inspirasi. Imaginasi lebih penting daripada pengetahuan, karena ilmu pengetahun itu terbatas sedangkan imaginasi mencakup isi dunia seluruhnya, merangsang kemajuan dan melahirkan evaluasi.’

Saya setuju dengan penulisnya yang menyatakan bahwa kutipan Einstein tentang pengetahuan dapat diaplikasikan setara dengan seni kuliner. Masak-memasak telah diberi nama ‘seni dengan disiplin ilmu pengetahuan’, sedangkan imajinasi dan intuisi telah banyak mengilhami para ahli kuliner.

Kami sudah pasti memerlukan imajinasi dan intuisi sebagai orang Indonesia yang tinggal di Melbourne di tahun limapuluhan. Di masa itu tidak ada bahan makanan Asia atau Indonesia di toko – sama sekali tidak ada!

Mungkin hanya ada kira-kira 20 orang Indonesia yang tinggal di Melbourne.

Saya waktu itu tinggal di aparteman kecil yang merupakan bagian dari sebuah rumah besar di Hawthorn. Bersama dengan seorang teman setempat tinggal sedapat mungkin kami berusaha memasak hidangan Indonesia. Dengan bahan apa adanya.

Pada saat itu beberapa mahasiswa Colombo Plan yang belajar di Universitas Melbourne dan RMIT mendengar bahwa saya bisa memasak. Salah seorang diantaranya menghubungi saya dan menanyakan apakah dia dan dua orang temannya bisa datang berkunjung akhir pekan mendatang.

Sjahisti Abdurrachman
Sjahisti Abdurrachman dalam salah satu postcard Radio Australia di tahun 1970-an.

Foto: ABC

Jawaban saya: “Tentu saja, kalau berkenan boleh juga sekalian makan malam.”  Jawabannya sangat positif dan dia mengatakan bahwa dia akan belanja.

Mulai saat itu hampir setiap Sabtu atau Minggu menjadi hari memasak. Pertemuan akhir pekan  menjadi hari-hari yang menyenangkan, memupuk persahabatan sambil menikmati makan siang atau makan malam.

Saya masih ingat mempergunakan Vegemite untuk memasak semur ayam, sebagai pengganti kecap manis. Tentu saja saya perlu menambahkan gula merah (brown sugar) agar kental dan warnanya sesuai dengan kecap manis.

Semur ayam ciptaan saya ini ternyata rasanya seperti semur ayam asli sehingga seorang teman dekat menuduh saya mempunyai simpanan kecap manis tidak mau berbagi. Saya terpaksa meyakinkannya bahwa saya mempergunakan Vegemite dengan memberikan demonstrasi memasak semur ayam.

Setelah berhasil dengan semur ayam Vegemite, saya menjadi lebih kreatif menciptakan berbagai masakan Indonesia. Dan akibat berbagai tantangan, saya berhasil memasak Bihun Goreng dengan mempergunakan spaghetti yang paling tipis, produksi lokal. Saya juga berhasil menciptakan bumbu gado-gado dengan memakai Peanut Butter tanpa harus menumbuk kacang.

Dan tanpa merebus kentang dan melembutkannya saya mempergunakan’Instant mashed potatoes’ untuk membuat perkedel.

Bihun goreng dan hidangan yang tercipta karena pengaruh Belanda seperti semur ayam, perkedel (frikadel) dan bistik (biefstuk) jauh lebih mudah memasaknya karena tidak memerlukan berbagai rempah-rempah.

Teman-teman Australia sangat menyukainya. Tetapi untuk memasak lauk pauk Indonesia asli seperti Soto Ayam, Opor Ayam atau Rendang sukar sekali di masa lampau (tahun limapuluhan).

Rempah-rempah seperti lengkuas, serai, kunyit, jahe dan ketumbar sama sekali tidak ada. Bau lauk-pauk tersebut ketika sedang dimasak pasti akan sangat mengagetkan teman-teman Australia pada waktu itu.

Untuk membeli beras saat itu saya harus pergi ke Little Bourke Street City dan membeli sekarung. 
Karena hanya tersedia karungan 10 kg atau 20 lb (pound). Jadi biasanya saya turut teman yang punya mobil kalau dia lagi belanja. Saya masih ingat menanyakan kepada pelayan toko bahan makanan apakah jual bawang putih.

Jawabannya: “Anda memasak dengan bawang putih? Barang yang bau busuk itu? Tidak, kami sama sekali tidak menjual barang itu di sini.” Saya terheran-heran.

Tahukah Anda bahwa pada masa itu hanya ada satu rumah makan Cina di Lonsdale Street City? Tempat duduknya hanya untuk delapan orang dan hanya buka antara pukul 11 pagi dan pukul 3 sore.

Tidak ada menu, hanya menghidangkan satu macam makanan, oseng tahu dan ayam dan nasi putih.

Memperkenalkan masakan Indonesia kepada orang Australia yang belum pernah mencicipinya juga merupakan seni yang memerlukan intuisi dan imajinasi.

Seorang teman putri Indonesia yang serius berteman dengan seorang pria Australia, pada suatu hari datang ke rumah kami menyatakan kesedihannya karena pacarnya tidak suka masakannya. Pacarnya pria Australia yang belum pernah merasakan hidangan Indonesia asli.

Ternyata teman saya ini memasak gulai kambing penuh bumbu untuk pacarnya. Waktu itu kira-kira tahun tujuhpuluhan ketika sudah mulai banyak bumbu dapur Asia, namun kecap manis dari Indonesia belum ada.

Saya katakan kepada teman putri Indonesia ini: “Saya bisa mengerti kalau dia tidak suka masakanmu karena sangat kaget ketika mencicipinya. Saya merasa pasti Anda tidak akan mengalami masalah apabila sang pacar Anda perkenalkan kepada hidangan yang sederhana, tidak banyak berbumbu dulu.

Kemudian secara lambat laun memperkenalkannya kepada masakan yang banyak berbumbu”. Untuk menghibur hatinya, saya undang teman ini dan pacarnya makan malam bersama dengan keluarga saya.

Waktu itu saya sudah menikah dan membina keluarga dengan Abdurrachman. Saya siapkan hidangan makan malam yang sangat sederhana, semur ayam dengan sayur mayur dan nasi.

Semuanya menikmati malam itu terutama sang pacar, yang menyatakan: “Ini adalah masakan Indonesia yang sangat saya sukai. Jangan lupa minta resepnya kepada Sjahisti, sayang”.

Akhir yang menggembirakan dari kisah ini adalah bahwa mereka kemudian menikah dan sekarang sudah beranak pinak. Mungkin karena saya berhati-hati memperkenalkan hidangan makan malam untuk mereka. Yah, itu pendapat saya.

Makanan Australia pada saat saya baru tiba di Melbourne di tahun 1956 tidak ada rasanya.

Namun harus saya akui bahwa tidak sulit bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan berbagai daging panggang dan roast, karena tidak rewel kalau makan.

Radio Australia, the Overseas Service of the ABC Siaran Bahasa Indonesia menjelang Olimpiade mendatangkan tiga staf baru dari Jakarta, Rudi Munir, Corrie Mingkid dan saya.

Seksi Indonesia saat itu sudah mempunyai 5 orang staf. Burt Milane-Kepala Seksi Indonesia, R.Moenandar dan Azam Abdat yang sudah lama tinggal di Melbourne kalau tidak salah sejak tahun empatpuluhan. Dan dua orang yang direkrut dari RRI Jakarta tahun 1954, Aryono dan Abdurrachman.

Di Melbourne Pemerintah RI mempunyai Perwakilannya, Atase Militer, Let.Kol Roekmito Hendraningrat dan wakilnya Kapten Nurmanli Aman. Juga ada Perwakilan Perdagangan/Ekonomi dengan dua orang pejabat, Djismun dan Dary Salim.

Tempat kediaman Atase Militer Bapak Roekmito di Glenferrie Road, Toorak. selalu terbuka bagi masyarakat Indonesia, yang saat itu belum banyak jumlahnya.

Semua perayaan/upacara nasional diselenggarakan di tempat kediaman Atase Militer yang juga kantornya.

Sering hari Sabtu atau Minggu usai siaran, kami ramai-ramai ke tempat kediaman Atase Militer untuk makan malam. Apabila kami rindu kampung halaman itulah yang antara lain kami lakukan.

Pada tanggal 22 Nopember, Prince Philip, Duke of Edinburg membuka dengan resmi Olimpiade di Melbourne Cricket Ground.

Team Indonesia terdiri dari kesebelasan sepak bola dan pemain cadangan, para pelatihnya dan para wartawan.

Penyiar senior Radio Australia dan jurnalis Indonesia melaporkan berbagai pertandingan, sedangkan kami pendatang baru, beli karcis dan hadir sebagai supporter kesebelasan sepak bola Indonesia.

Bukan main gembiranya kami dapat menyaksikan Indonesia melawan Russia dalam kancah internasional yang sengit sekali. Indonesia bertahan 0-0 sampai sebelum akhir babak kedua ketika Russia berhasil mencetak goal pertamanya. Kami supporter Indonesia berteriak-teriak sampai kehabisan suara.

Selama Olimpiade kami selalu disapa oleh orang Australia dan diajak ngobrol meskipun tidak kenal. “Are you here for the Olympic Games?”demikian sapa mereka.

Suasana waktu itu sangat menyenangkan, Australia sebagai tuan rumah (termasuk anak-anak sekolah) selalu ramah kepada tamu-tamunya. 

Sjahisti bersama suaminya John Goldrich
Sjahisti bersama suaminya John Goldrich menikmati masa pensiun di Melbourne.

Foto: Supplied

Di tahun enampuluhan makin banyak orang Indonesia yang datang ke Australia. Mahasiswa Colombo Plan yang belajar di Australia bertambah terus dan dosen Indonesia yang didatangkan dari Indonesia pun makin banyak, terutama untuk mengisi jabatan dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di universitas yang baru membuka Departemen Indonesia.

Dengan membesarnya masyarakat Indonesia maka di tahun 1965 tercetuslah gagasan untuk membentuk perhimpunan Indonesia. Maka lahirlah Ikatan Warganegara RI di Victoria – IKAWIRIA. Ketua pertamanya adalah Bapak Dr.Supomo yang sekarang sudah pensiun dari tugas mengajarnya di ANU dan tinggal di Canbera bersama keluarga.

Pada waktu yang hampir bersamaan ada tiga perhimpunan yang aktif di Melbourne yaitu, AIA- Australian Indonesian Association, PPIA – Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia dan IKAWIRIA 

Ketiga perhimpunan ini bekerja sama dengan akrab sekali mempersiapkan Perayaan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, Idul Fitri dan apabila ada tamu penting dari Indonesia atau Canberra.

Para anggota PPIA pada masa itu otomatis menjadi anggota Ikawiria dan ketika almarhum sang suami (Abdurrachman) menjadi ketua, sekali sebulan pengurus/anggota PPIA datang ke rumah kami untuk membantu mengkolasi majalah Ikawira.

Setelah selesai kami makan malam bersama (makan nasi dengan lauk-pauk tentunya) disambung asyik ngobrol sampai jauh malam.

Bahan-bahan makanan Asia secara lambat laun mulai muncul di toko-toko, terutama dari Hongkong.

Sekarang, 50 tahun kemudian berlainan sekali keadaannya, orang Australia lebih banyak mengenal negara-negara tetangganya dan kebudayaannya juga bahasanya.

Kota Melbourne sudah menjadi kota kosmopolitan dengan berbagai restoran, Indonesia Thai, Korea Vietnam, Jepang, Cina dan masih banyak lagi. Sebutkan saja apa, pasti ada. Asian Grocers sudah pasti menjual bermacam-macam rempah-rempah dan bahan makan dari berbagai negara Asia, petis udang-pun ada.

Apabila menjamu teman-teman Australia. Cita rasa mereka sudah berubah 180 derajat. Banyak di antara mereka sangat menyukai makanan Indonesia dan selalu minta sambal pedas.

* Tulisan ini diambil seizin penulis dengan judul BUMBU HIDUP dari buku Footsteps of Indonesians in Victoria (Jejak Langkah Orang Indonesia di Victoria) yang diterbitkan oleh Ikawiria.