ABC

Kesenjangan Sosial Indonesia Jadi Bahan Kuliah Umum di Melbourne

Masalah pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial di Indonesia tak hanya dibahas oleh dua calon presiden Indonesia dalam debat yang berlangsung Hari Minggu (15 Juni 2014) lalu. Sehari sesudahnya, masalah ini juga dibahas di kampus University of Melbourne, Australia, oleh sejumlah pakar dan mahasiswa.

Pertumbuhan ekonomi dan bangkitnya demokrasi tak selalu berbanding lurus dengan pemerataan kesejahteraan. Dengan kata lain, ekonomi yang makin besar tak selalu berarti kemakmuran makin merata. Hal ini terlihat di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ini disampaikan oleh Charaf Ahmimed, kepala Unit Ilmu Sosial dan Manusia, UNESCO, yaitu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya, dalam sebuah kuliah umum bertema inklusi sosial di University of Melbourne, dalam bentuk presentasi dan diskusi.

Saat membahas soal demokratisasi, Ia menyatakan. “Pertanyaan yang sama, apakah pertumbuhan ekonomi membawa pemerataan [kesejahteraan]? Dan, anda bisa bertanya juga, apakah demokratisasi membawa pemerataan? Dalam kasus Indonesia, jawabannya adalah tidak,”

“Dalam arti, tidak ada distribusi kekayaan yang merata di daerah-daerah, meskipun ini adalah negara yang amat sangat kaya…”

Secara keseluruhan, angka kemiskinan dan pengangguran memang menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun ada kelompok yang tergolong rawan di Indonesia, yaitu mereka yang hidupnya mendekati garis kemiskinan, tutur Ahmimed.

Garis kemiskinan digambarkan sebagai konsumsi sebesar sekitar 38 dollar (Rp 449 ribu) per kapita per bulan.

Menggunakan data dari pemerintah Indonesia, Ia menjelaskan bahwa kelompok yang tergolong rawan miskin itu jumlahnya sekitar 70 juta.

Sedangkan data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa terjadi peningkatan indeks Gini dari 35,6 pada tahun  2010 ke 38,1 di tahun 2011.

Indeks Gini melambangkan ketidakmerataan kekayaan suatu negara. Indeks Gini 0 berarti kekayaan negara sempurna merata, sedangkan 100 berarti sempurna tidak merata.

Ahmimed , yang saat ini bekerja di Indonesia, juga mengungkapkan adanya kesulitan bagi kelompok-kelompok tertentu dalam hal inklusi sosial, yaitu untuk mendapat  akses ke hak-hak seperti hak atas pendidikan, kesehatan dan partisipasi politik.

Kelompok-kelompok yang dijadikan fokus kerja UNESCO adalah perempuan, terutama terkait kesehatan dan tingkat kematian ibu, anak muda (15 hingga 24 tahun), terutama terkait lapangan kerja, serta mereka yang mengalami disabilitas atau keterbatasan.

Menurut Ahmimed, untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh kelompok-kelompok itu, pemerintah harus menggunakan pendekatan yang berdasarkan pemberian hak, dan bukan pendekatan amal.

Ada dua alasan mengapa inklusi sosial menjadi penting dalam sebuah negara, terangnya.

Selain karena menyangkut hak seseorang, juga karena pemberdayaan kelompok-kelompok yang terpinggirkan ini penting bagi middle income countries, yaitu yang memiliki pendapatan nasional kotor sebesar 1.026 dollar hingga 12.475 dollar per kapita.

Penguatan kelompok-kelompok ini pada gilirannya penting dalam memperkuat kontribusi warganegara untuk pertumbuhan ekonomi.

Kurangnya inklusi dan pemerataan kekayaan adalah akibat dari pada pendistribusian kekayaan yang tidak mencapai kelompok-kelompok tertentu, lanjut Ahmimed.

Desentralisasi di Indonesia pun memainkan peran dalam masalah ini, karena ada kasus-kasus di mana kapasitas pemerintah daerah tidak cukup untuk menangani jumlah kekayaan yang begitu besar.

Perlu mekanisme check and balance untuk memastikan desentralisasi berjalan baik dan menguntungkan masyarakat, tutur Ahmimed.

“Ada komunitas, kelompok, keluarga yang mengontrol politik dan bisnis di satu daerah,” ucapnya.

Dalam kunjungannya ke Melbourne baru-baru ini, ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Suryo Sulisto, menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah besarnya kesenjangan sosial perlu dicetak sebanyak mungkin pengusaha-pengusaha baru.

“Karena hanya enterpreneurs lah yang bisa mungkin memupuk aset kekayaan kalau dia berhasil,” jelasnya,

“Dan tentunya juga kita harus tingkatkan profesionalisme dari tenaga-tenaga ahli kita. sehingga kalau mereka bekerja mereka mendapat imbalan yang tak kalah dari orang-orang asing, sehingga jurang kekayaan itu bisa lebih dikurangi.“

Hubungan Antar Negara – Memperparah atau Memperbaiki Kesenjangan?

Menurut Suryo, meningkatkan investasi Australia ke Indonesia akan membawa keuntungan dan kemakmuran bagi masyarakat.

“Investasi itu kan menciptakan lapangan kerja, menciptakan multiplier effects, pasti dia membutuhkan kegiatan lain, outsourcing dari perusahaan yang bisa mendukung kegiatan dia. kemudian kalau bisa beruntung dia membayar pajak. Tentu semua ini kan memberikan keuntungan,” jelasnya.

Indonesia dan Australia saling membutuhkan, baik dalam bidang ekonomi bila keduanya menjalin hubungan baik dan menetapkan cara-cara kerjasama yang saling menguntungkan, alias win-win, tutur Ahmimed, salah satunya dengan meningkatkan mobilitas sumber daya manusia, seperti dalam bentuk pertukaran pelajar antar negara.

Tentu saja, kerja sama tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi. Salah satu alasan Ahmimed berada di Melbourne kali ini adalah untuk mempelajari sistem pendidikan inklusif Australia, yang dianggap sebagai salah satu contoh sukses.

“Australia bisa menawarkan banyak pengetahuan dan contoh praktek dalam hal inklusi sosial..” ucapnya.