ABC

Kerjasama Militer Australia-Myanmar Lanjut di Tengah Dugaan Genosida

Australia akan melanjutkan program kerja sama militer senilai $ 300.000 (atau setara Rp 3 miliar) dengan Myanmar meskipun ada tuduhan bahwa tentara di sana telah memimpin sebuah gerakan “pembersihan etnis” terhadap warga Muslim Rohingya.

Seorang pejabat tinggi bidang hak asasi manusia di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengkritik “operasi keamanan brutal” di negara tersebut terhadap penduduk Rohingya awal bulan ini.

Namun juru bicara Departemen Pertahanan Australia mengatakan bahwa pihaknya bekerja sama dengan militer Myanmar untuk “mempromosikan profesionalisme dan kepatuhan terhadap hukum internasional”.

“Oleh karena itu, penting bagi kami untuk menjaga jalur komunikasi yang sesuai dengan militer Myanmar untuk melakukan hal ini,” kata juru bicara tersebut.

“Untuk alasan ini, keterlibatan pertahanan kami yang sederhana dengan Tatmadaw [militer Myanmar] akan berlanjut, namun kami akan meninjau kembali kegiatan pertahanan saat ini dan yang direncanakan berdasarkan kasus per kasus.”

Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch (HRW) Asia, mengkritik kerjasama militer Australia dengan Myanmar, yang sebelumnya dikenal dengan nama Burma.

“Itu adalah respon yang benar-benar mengerikan terhadap kejahatan keji terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Myanmar melawan Rohingya,” kata Robertson.

"Terus terang, ini menunjukkan pengabaian hak asasi manusia secara total sebagai bagian inti dari kebijakan luar negeri Australia."

Menurut PBB, Rohingya adalah salah satu suku bangsa yang paling teraniaya di dunia, dan tidak memiliki hak sipil atau politik di Myanmar.

Pekan lalu, Inggris menangguhkan bantuan militernya sendiri ke negara Asia Tenggara itu.

“Kami sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada wargaRohingya di Burma … tindakan militer terhadap mereka harus dihentikan,” kata Perdana Menteri Inggris, Teresa May.

“Hari ini, Pemerintah Inggris mengumumkan bahwa kami akan menghentikan semua keterlibatan dan pelatihan pertahanan militer Burma oleh Kementerian Pertahanan sampai masalah ini diselesaikan.”

Asap dan api di Myanmar terlihat dari sisi perbatasan dengan Bangladesh.
Asap dan api di Myanmar terlihat dari sisi perbatasan dengan Bangladesh.

AP: Bernat Armangue

Australia bisa berbuat lebih

Namun kepala Pusat Studi Strategis dan Pertahanan di Universitas Nasional Australia (ANU), John Blaxland, mengatakan bahwa keterlibatan yang sedang berlangsung adalah satu-satunya cara Australia bisa mengubah situasi di Myanmar secara positif.

“Memotong hubungan itu seperti memotong hidung Anda untuk menutupi wajah Anda,” sebutnya.

“Ini sebenarnya tidak membantu karena ini satu-satunya wadah untuk terlibat dengan militer Burma mengenai isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia.”

Setelah beberapa dekade rezim junta militer, Australia memulai kembali hubungan militer dengan militer Myanmar pada tahun 2013.

Profesor Blaxland, yang bertugas sebagai atase pertahanan Australia di Thailand, mengatakan, Australia bisa memainkan peran “perantara yang jujur” antara Myanmar dengan negara-negara Asia Tenggara yang kemungkinan besar akan memberikan pengaruh, terutama Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim dan Thailand yang berpenduduk mayoritas Budha.

"Tidak, saya rasa kami seharusnya tidak memotong hubungan militer itu, sangat penting agar Australia tetap membuka pintu," kata Prof Blaxland.

Namun Robertson tidak setuju, dengan alasan mengingat itikad baik, Australia tidak bisa melanjutkan pelatihan militer itu.

“Ini benar-benar bergembira di atas penderitaan orang lain. Apakah hubungan itu berarti membuat tangan Anda berdarah? Ya, saatnya untuk berpikir lagi,” kata Robertson.

Para pejabat Australia dan Myanmar berfoto di Naypyidaw, Myanmar.
Para pejabat Australia dan Myanmar berfoto di Naypyidaw, Myanmar.

Supplied: MNA

Tentara genosida atau pasukan perdamaian PBB?

Salah satu program pelatihan Australia yang terbaru adalah “Pelatihan Penjaga Perdamaian PBB” selama 10 hari yang berakhir pada 18 Agustus.

Seminggu kemudian, gerilyawan Rohingya menyerang 30 pos polisi di negara bagian Rakhine utara, memicu pembalasan dari pasukan keamanan dan eksodus Rohingya berikutnya.

Pihak tentara mengatakan bahwa sekitar 500 orang telah terbunuh -setidaknya 400 di antaranya adalah mereka yang dianggap sebagai gerilyawan – namun sejumlah organisasi hak asasi manusia melaporkan ratusan warga sipil telah terbunuh dan 214 desa-desa Muslim secara sistematis dibakar habis.

Utusan khusus PBB mengenai pencegahan genosida mengatakan bahwa kekerasan di Myanmar tampaknya melibatkan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mungkin bisa memenuhi definisi legal genosida secara meyakinkan.

Myanmar bukan satu-satunya program kerja sama pertahanan kontroversial Australia di kawasan ini.

Pada tahun 2014-15, Australia menghabiskan $ 2,5 juta (atau setara Rp 25 miliar) bekerja sama dengan militer Thailand, yang menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis tiga tahun lalu.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.