ABC

Kepunahan Harimau Sumatra Semakin Memburuk

Saat ini diyakini tersisa tinggal dua lokasi populasi harimau Sumatera di alam bebas setelah survei yang dilakukan sepanjang tahun menemukan habitat hewan ini terus dihancurkan oleh industri kelapa sawit.

Para peneliti memperkirakan jumlah harimau terancam punah tersebut tinggal 618 ekor pada tahun 2012. Jumlah tersebut mengalami penurunan lebih dari 16 persen dibandingkan perkiraan tahun 2000.

Namun yang kritis, menurut laporan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications hari Rabu (6/12/2017), pembukaan hutan telah memecah populasi harimau tersebut menjadi kelompok-kelompok kecil terisolasi yang tidak akan dapat bertahan lama.

Menurut Matthew Luskin, penulis laporan penelitian ini, dengan hanya dua kelompok populasi yang memiliki lebih 30 harimau betina, risiko kepunahan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) menjadi lebih besar.

Skip gfycat embed

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

“Ada dua hutan yang masih cukup besar untuk secara mandiri menunjang kehidupan harimau dalam jangka panjang dan menengah,” jelas Dr Luskin, yang melakukan penelitian sebagai bagian dari program PhD-nya di University of California, Berkeley.

"Begitu penting untuk mengurangi tingkat deforestasi dan menjamin taman nasional tersebut aman karena merupakan benteng terakhir," katanya.

Para peneliti mempelajari harimau di berbagai habitat dataran rendah, montana dan habitat yang menggunakan ratusan kamera jarak jauh yang dipicu oleh gerakan.

Setiap harimau dapat diidentifikasi dengan pola garis unik mereka yang memungkinkan para peneliti menghindari duplikasi dalam penghitungan.

Korupsi dan kelapa sawit

A dense jungle seen from high on a ridge.
Taman Nasional Kerinci diperkirakan memiliki 42 harimau betina di tahun 2012.

Supplied: Matthew Scott Luskin

Menurut Mason Campbell, pakar ekologi tropis pada James Cook University, meskipun fragmentasi habitat yang disebabkan pemnbukaan jalan merupakan salah satu ancaman bagi harimau, namun justru akses jalan itu dapat memicu tekanan lebih lanjut.

“Indonesia menginvestasikan banyak dana untuk membangun jalan-jalan besar di pulau-pulau utama,” kata Dr Campbell.

“Jalan-jalan ini masuk ke sana dan biasanya di belakang mereka, yang pertama adalah para pemburu. Mereka menghabisi harimau dan gajah dan hewan lain yang mungkin bernilai,” ujarnya.

“Di belakang mereka seringkali para penebang selektif dan pembalak liar yang datang dan mencuri kayu bernilai mahal,” tambahnya.

Menurut Dr Campbell, status konservasi hutan tersebut kemudian dapat diturunkan setelah ditebangi, memberikan pijakan bagi industri untuk memulai perkebunan mereka.

“Perusahaan lebih besar, lebih luas, lebih kaya yang datang. Mereka seringkali – saya coba mengatakannya secara sopan – terkait dengan pejabat pemerintah setempat yang menyetujui pembangunan jalan tersebut,” katanya.

“Begitu menjadi area produksi, semuanya jadi bebas bagi perusahaan kelapa sawit,” jelasnya.

Hutan yang tak tersentuh

Meskipun para peneliti menemukan penurunan jumlah harimau Sumatra secara keseluruhan, mereka gembira setelah menemukan kepadatan populasi harimau telah meningkat di hutan-hutan yang tetap tak tersentuh.

“Bagi harimau, hasilnya bercampur aduk,” kata Dr Luskin.

"Sebab kepadatan harimau meningkat seiring waktu di kawasan hutan lindung, namun total luas hutan mengalami penurunan secara mengkhawatirkan," jelasnya.

World Wildlife Fund (WWF) menerbitkan kartu catatan yang diperbarui setiap tahun yang berisi penilaian penggunaan kelapa sawit oleh suatu perusahaan.

Dari kartu tersebut diketaui peritel seperti jaringan supermarket Coles dan Woolworths mencetak angka tinggi pada 2017. Sementara sejumlah produk dengan merek utama menolak untuk membagikan datanya.

A tiger approaching from the front in a forest.
Seekor harimau muda di Taman Nasional Gunung Leuser pada tahun 2014.

Supplied: Matthew Scott Luskin

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.