Kendala Ajarkan Bahasa Indonesia di Pedalaman Australia
Jane Shearwood adalah guru bahasa Indonesia di Heywood, kawasan pertanian di negara bagian Victoria, Australia. Ia menceritakan sejumlah kendala yang dihadapinya saat mengajarkan bahasa Indonesia, terutama kesulitan untuk meningkatkan minat belajar bahasa Indonesia di kalangan anak-anak di Heywood.
Heywood berada sekitar empat jam menyetir dari kota Melbourne dengan jumlah penduduk sekitar 1.400 orang.
Jane mengajar di dua sekolah, yakni Heywood and District Secondary College, setara dengan sekolah menengah di Indonesia dan Heywood Consolidated School, sebuah sekolah dasar dengan jumlah sekitar 150 orang. Di sekolah dasar ini Jane mengajar sejak kelas pertama hingga kelas enam.
Sementara di sekolah menengah, Jane baru dua tahun mengajar di Kelas 8 tapi ia mengaku untuk pertama kalinya di tahun lalu ada sejumlah siswa yang melanjutkan kelas Bahasa Indonesia di Kelas 9. Tak hanya itu, untuk pertama kalinya pula di tahun 2018 ini ada siswanya yang mengambil kelas Indonesia untuk VCE, sebagai syarat kelulusan sekolah menengah di negara bagian Victoria. Tentu pencapaian ini membuat bangga bagi Jane sebagai satu-satunya guru Bahasa Indonesia.
“Saya sangat puas karena sekolah kami sangat kecil di pedalaman dengan sekitar 130 murid. Di sekolah tempat saya mengajar sebelumnya ada 600 orang, tapi yang ambil VCE hanya 3 orang,” ujar Jane saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC di Melbourne.
“Masalahnya kebanyakan murid tidak menyelesaikan sekolah sampai Kelas 12 dan memilih mencari kerja, melanjutkan ke TAFE [sekolah kejuruan], atau bertani.”
Bagi Jane yang pernah tinggal dan mengajar bahasa Inggris di Indonesia selama 10 tahun, salah satu tantangan mengajar di sekolah pedalaman Australia adalah mendapatkan materi belajar.
Kurang mendapat pengalaman langsung
Dengan kreativitasnya, Jane sering mencari-cari materi untuk belajar Bahasa Indonesia lewat internet, meski ia mengaku sambungan internet di pedalaman Australia kadang tidak terlalu bagus.
Tapi menurut Jane masalah terbesar bagi murid-murid sebenarnya adalah mendapatkan kesempatan melihat dan merasakan langsung budaya Indonesia.
Tentu hal ini sulit didapatkan di kawasan pedalaman, jika dibandingkan di kota-kota besar, seperti di Melbourne, dimana kegiatan dan acara kebudayaan Indonesia sering digelar. Ia mengatakan jika murid-muridnya diajak ke Melbourne akan menghabiskan waktu lebih dari setengah hari di jalan, belum lagi jika harus menginap di Melbourne, yang akan menambah biaya.
“Saya yakin ini menjadi masalah di banyak sekolah di kawasan pedalaman, kita tidak memiliki akses untuk mendapatkan penutur Bahasa Indonesia [orang Indonesia], tidak akan akses pelatihan budaya seperti di Melbourne… dan kadang ini membuat kita tertekan, karena saya sangat ingin murid-murid untuk memiliki ikatan dengan Indonesia,” ujar Jane yang sempat aktif menjadi penari Saman di Melbourne.
"Saya rasa kunci mengajar bahasa adalah para siswa memiliki ikatan dengan bahasanya. Inilah alasan mengapa banyak murid tidak melanjutkan bahasa Indonesia, karena mereka melihat tidak ada hubungannya dengan kehidupannya."
Meski demikian, Jane berupaya untuk mencoba mengajak murid-muridnya ke acara tahunan Festival Film Indonesia tahun ini yang akan digelar di Melbourne.
“Mungkin mereka harus pergi dari sini jam 5 subuh dan kembali setelah tengah malam… meski menurut saya ini tidak terlalu efektif bagi murid-murid,” tambah Jane yang juga pernah mengajar bahasa Indonesia untuk sekolah pendidikan Angkatan Udara Republik Indonesia.
Tak patah semangat ajarkan Bahasa Indonesia
Jane pertama kali belajar bahasa Indonesia saat ia pernah tinggal di Singapura dan berkesan dengan kehidupan bergotong-royong warga Indonesia, saat ia berlibur ke Indonesia.
“Semua orang ingin kenal dan sangat terbuka, inilah yang membuat saya ingin belajar bahasa karena saat itu ada perasaan saya akan tinggal disana [Indonesia],” jelas Jane yang gemar buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.
"Saya jatuh cinta dengan Indonesia lewat pandangan pertama. Sekarang saya ingin menularkan rasa kecintaan itu pada murid-murid saya, yang belum tahu luar biasanya dunia di luar sana untuk mereka jelajahi nanti."
Setelah hampir 10 tahun tinggal dan mengajar Bahasa Inggris di Indonesia, Jane memiliki banyak teman-teman Indonesia.
Memanfaatkan persahabatan ini, mereka sudah beberapa kali diminta untuk melakukan pembicaraan dengan video lewat Skype yang ditayangkan di kelas Bahasa Indonesianya.
“Ada layar besar di kelas dan teman-teman saya di Indonesia hanya menggunakan telepon genggam mereka. Mereka keluar dan menunjukkan sedang dimana, sambil memperlihatkan seperti apa suasana di Indonesia, menjelaskan apa itu warung, jadi murid-murid sangat tertarik.”
Meski sejumlah kendala dihadapi Jane, tapi ia mengaku tidak ingin menyerah bahkan akan berusaha keras agar kelas Bahasa Indonesia tetap berjalan di sekolahnya. Salah satu alasannya adalah untuk meluruskan anggapan yang salah soal Indonesia selama ini.
“Saya sangat ingin orang-orang menyadari adanya kesalahpahaman soal Islam, Muslim, orang-orang Asia, terutama di pedalaman karena orang-orangnya tidak terbiasa dengan budaya lain.”
Rencananya juga di tahun ini, Jane ingin mengajak murid-muridnya pergi ke Yogyakarta. Ia sendiri pun berharap bisa mengambil program S2 jurusan Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada atau Universitas Indonesia.
Jane bisa menjadi guru bahasa Indonesia, setelah tamat dari Victoria University di Melbourne untuk jurusan pendidikan dan pengajaran dengan spesialiasi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.