ABC

Kenangan Alumni Australia, dari Pak Boediono yang Naik Kereta Perth-Canberra ke Anak yang Logat Aussie

Para alumni Australia asal Indonesia memiliki kenangan emosional yang membekas sepanjang hidupnya, tidak jarang bahkan menjadi momen transformatif yang menentukan cara pandang mereka mengenai hubungan kedua negara.

Hal itu terungkap dalam hasil riset mengenai bantuan beasiswa Pemerintah Australia kepada mahasiswa asal Indonesia dalam 60 tahun terakhir, sejak dimulai melalui Program Colombo Plan di tahun 1950an.

Riset dilakukan tim dari Deakin University yang terdiri atas Prof. David Lowe, Dr Jonathan Ritchie, Dr Jemma Purdey, Michelle Verso (Deakin), dan dibantu Ahmad Suaedy dari Abdurrahman Wahid Institute, Universitas Indonesia.

Mantan Wakil Presiden Boediono di ANU, Canberra. (Foto: ANU)
Mantan Wakil Presiden Boediono di ANU, Canberra. (Foto: ANU)

Riset sepanjang satu tahun itu melibatkan lebih 100 alumni Australia asal Indonesia, mulai dari era tahun 1960an hingga 2010an. Di antara alumni tersebut terdapat mantan Wakil Presiden Boediono. 

Hasil penelitian ini telah dikompilasi ke dalam bentuk arsip digital yang berisi rekaman wawancara dengan para alumni yang bisa diakses di Scholarships and Connections dan diluncurkan di Deakin University akhir tahun lalu.

Peneliti Dr Jemma Purdey kepada wartawan ABC Farid M Ibrahim hari Kamis (25/2/2016) menjelaskan, saat mewawancari mantan Wapres Boediono, terungkap begitu banyak kenangan tentang Australia yang membekas dalam diri Pak Boediono.

"Dia mengisahkan kenangannya saat masih menjadi mahasiswa di Perth dan Melbourne. Dia bahkan masih ingat pernah naik kereta api dari Perth ke Canberra bersama teman-temannya mahasiswa," ujar Jemma.

Uniknya, Pak Boediono bersama teman-temannya itu membentuk band kecil dalam perjalanan itu, dan tak ayal lagi menjadi hiburan bagi para penumpang kereta api lainnya selama beberapa hari perjalanan.

"Pak Boediono juga masih ingat makanan Italia pertama yang dicicipinya, yaitu pasta, saat dia tinggal di rumah orang Italia di Perth," kata Jemma.

Sama seperti kebanyakan alumni Australia lainnya, ini merupakan pengalaman Pak Boediono untuk pertama kalinya ke luar negeri. "Dia mengaku bahwa ini merupakan pengalaman transformatif secara personal dan intelektual dan membekaskan kenangan yang panjang yang turut mempengaruhi cara pandangnya mengenai hubungan kedua negara," ujar Jemma.

Alumni yang diinterview dibagi atas 6 kelompok, yang paling tua adalah alumni yang datang ke Australia tahun 1955. Interview berlangsung di sejumlah kota besar.

Di antara generasi awal alumni Australia asal Indonesia.
Di antara generasi awal alumni Australia asal Indonesia.

Jemma menjelaskan bahwa riset ini menggunakan pendekatan cerita kehidupan narasumber yang dalam ilmu sosial disebut sebagai metodologi ‘whole of life’.

Dampak beasiswa 

Ditambahkan pula bahwa riset ini telah mengidentifikasi sejumlah dampak positif dari program beasiswa yang diberikan Pemerintah Australia terhadap para penerima dari Indonesia.

"Faktor pengembangan intelektual bagi mahasiswa serta faktor pengalaman untuk keluarga dan kerabatnya, telah membuat mereka tetap terhubung dengan Australia, meskipun mereka telah lama meninggalkan Australia," katanya.

Disebutkan, hampir seluruh penerima beasiswa mengaku belajar secara mandiri untuk pertama kalinya saat tiba di Australia, selain mengembangkan cara berpikir kritis mereka.

Di samping itu, generasi penerima beasiswa era 1990an telah berubah dari jenjang S1 ke jenjang pascasarjana, sehingga umumnya terdiri atas mahasiswa yang telah berkeluarga. "Ini membawa dampak berkelanjutan bagi diplomasi Australia," kata Dr Jemma Purdey.

Seorang alumni asal Makassar bernama Anna T mengatakan, setelah belajar selama 4 tahun di Australia, pengalaman ini mengubah cara berpikir anak-anaknya menjadi lebih mandiri, kreatif, dan menyukai olahraga.

"Tiga anak saya bahkan berlogat Aussie kalau bicara," kata Anna seperti dituturkan Jemma.

Yang tak kalah uniknya adalah anak-anak yang lahir di Australia dari para penerima beasiswa ini tidak jarang diberi nama yang merujuk ke sejumlah hal di Australia.

"Ada yang menamakan anaknya dengan Melville, karena mahasiswa tersebut saat kuliah tinggal di daerah bernama Melville. Bahkan ada yang menamakan anaknya dengan ADS, yaitu nama beasiswa pemerintah Australia," jelas Jemma.

Pengalaman transformatif lainnya dialami Nina, yang mengaku sempat bersitegang dengan suaminya mengenai siapa yang harus mengurus rumah, sementara Nina sibuk kuliah.

Menurut Jemma, pengalaman Nina dan mahasiwa lainnya menunjukkan bahwa bagi kebanyakan pasangan suami-istri, mereka belajar berbagi tugas rumahtangga justru saat tinggal di Australia.

"Para wanita alumni beasiswa menyatakan bangga karena suami mereka hingga kini masih meneruskan kebiasaan memasak dan mengerjakan urusan rumahtangga lainnya," kata Jemma.

Alumni Australia asal Indonesia dari generasi tahun 1980an.
Alumni Australia asal Indonesia dari generasi tahun 1980an.

 

Membangun persahabatan 

Dr Jemma Purdey menjelaskan bahwa satu hal yang konsisten lintas generasi di kalangan alumni ini adalah terbentuknya jalinan persahabatan yang sangat akrab di antara mereka.

Diungkapkan bahwa para alumni tahun 1950an dan 1960an yang masih hidup hingga saat ini masih menjalin persahabatan mereka, yang berarti sudah berkisar setengah abad lamanya.

Namun bagaimana dengan persahabatan antara penerima beasiswa dengan warga setempat, orang Australia? "Alumni yang lebih belakangan semakin jarang menjalin persahabatan dengan orang Australia. Banyak faktor namun hal ini masih perlu diteliti lebih jauh," katanya.

Namun demikian, jaringan atau koneksi di antara alumni ini sangat kuat, terutama di lingkungan akademik yang melibatkan kerjasama internasional.

Jemma menambahkan bahwa kenangan dan kesan-kesan mendalam yang dimiliki para alumni tentang Australia, sangat besar andilnya bagi hubungan kedua negara.