ABC

Keluarga Korban Christchurch Harus Belajar Nyetir Sendiri Tiga Bulan Setelah Kejadian

Pada usia 45 tahun, Ambreen Naeem, seorang janda korban penembakan brutal di Christchurch (Selandia Baru) sedang belajar mengemudi.

penyintas tragedi Christchurch

Penyintas tragedi penembakan brutal Christchurch:

  • Sudah tiga bulan sejak penembakan di Christchurch
  • Pada 15 Maret, seorang pria bersenjata menyerbu dua masjid dan menewaskan 51 orang
  • Masyarakat menyumbangkan lebih dari $ 10 juta kepada para penyintas dan kerabat korban

Sekali seminggu dia bertemu dengan seorang instruktur dan sukarelawan dari organisasi nirlaba The Salvation Army untuk mengikuti kursus mengemudi gratis di sejumlah ruas jalan di pinggiran kota Christchurch yang tenang.

Suaminya Naeem Rashid dan putra tertua Talha Naeem, biasa melakukan seluruh tugas mengemudikan mobil di keluarganya.

Kemudian pada 15 Maret, kedua pria itu terbunuh di Masjid Al Noor di Christchurch tengah oleh seorang pria bersenjata yang menyerbu saat berlangsung shalat Jumat.

Dia kemudian melanjutkan terornya di Masjid Linwood, seraya menyiarkan langsung kedua serangan itu di internet ketika dia melakukan serangan tersebut.

Sebanyak lima puluh satu orang tewas, 49 orang terluka, banyak lagi yang trauma, dan warga Selandia Baru masih bertanya-tanya bagaimana kekejaman seperti itu bisa terjadi di negara mereka yang biasanya damai.

Tiga bulan kemudian, keluarga para korban dan korban berusaha untuk melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka.

Tahla dan Naeem
Ambreen kehilangan suami dan putra sulungnya dalam tradegi penembakan brutal di masji Christchurch.

Foto: Ambreen Naeem

Bagi Ambreen, belajar mengemudi hanyalah salah satu dari gaya hidupnya yang berubah pasca tragedi berdarah itu.

Dia juga harus meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang roti untuk merawat kedua putranya yang lebih muda, dan pindah rumah agar bisa tinggal di pemukiman yang hanya cukup berjalan kaki saja dari sekolah dan universitas kedua buah hatinya itu.

Untuk pertama kalinya juga, dia mengelola keuangan keluarga tanpa ditopang penghasilan dari pencari nafkah utama.

Keluarga harmonis

Ambreen jatuh cinta dengan eksekutif perbankan dan tutor studi bisnis Naeem Rashid di Pakistan. Mereka menikah pada tahun 1996.

Mereka kemudian memiliki dua anak di Pakistan – Talha dan Abdullah. Ayeen kecil lahir setelah keluarga mereka pindah ke Christchurch pada 2011.

Ambreen dan Naeem Rashid
Ambreen dan Naeem Rashid pada hari pernikahan mereka pada tahun 1996.

Disediakan: Ambreen Naeem

Tahla baru berusia 21 ketika meninggal dalam tragedi penembakan berdarah di Christchurch.

“Saya kehilangan setengah dari keluarga saya dan kami adalah keluarga yang baik,” kata Ambreen.

"Keluarga kami sangat harmonis dan kami sering melakukan perjalanan bersama. Bahkan di rumah, kami akan bekerja bersama. Sekarang sangat berbeda dari sebelumnya."

Seiring kepahitan hidup yang dijalaninya beberapa bulan terakhir ini bagi Ambreen, dia juga sangat bangga pada suaminya dan putra sulungnya.

Naeem Rashid meninggal setelah merobohkan pria bersenjata itu hingga tersungkur sehingga orang lain bisa melarikan diri.

Karena menunjukkan keberanian seperti itu, ia telah dianugerahi kehormatan keberanian sipil tertinggi di Pakistan.

“Naeem adalah orang keempat dalam 72 tahun yang mendapatkan penghargaan ini sehingga penghargaan ini sangat, sangat istimewa – terutama untuk anak-anak saya,” kata Ambreen.

“Saya tahu dia sangat berani [tetapi] ini benar-benar menakjubkan, menyelamatkan nyawa orang.”

Ketika Ambreen memegang medali keberanian di tangan kirinya, ia memiliki kenang-kenangan penting lainnya di tangan kanannya – gelar sarjana teknik sipil bagi Talha yang dia raih dengan sendirinya dua minggu setelah serangan teroris.

Ambreen dengan piagam suami dan putranya
Suami Ambreen secara anumerta dianugerahi medali keberanian oleh Pakistan, sementara putranya secara anumerta menerima gelar sarjana.

ABC: Mazoe Ford

Staf dari almamater anaknya secara pribadi mengirimkan piagam itu ke Ambreen setelah Talha tidak bisa menamatkan studinya karena tewas terbunuh dengan kejam.
“Kematian mereka memiliki tujuan, mereka mencintai orang-orang dan dalam kematian mereka menyatukan dunia,” kata Ambreen.

Ambreen yakin Christchurch telah bersatu sejak serangan 15 Maret.

Teman-teman, tetangga, kelompok sukarelawan, dan beberapa orang asing telah meninggalkan makanan, memasak makanan halal, mencuci pakaian, mengantarnya berkeliling untuk melakukan tugas, dan mengirimkan hadiah dan kartu.

“Jika cinta ini tidak ada, saya tidak akan sekuat itu,” katanya.
“Orang-orang yang memiliki cinta di hati mereka, mereka adalah pemenang dan orang-orang yang membenci di dalam hati mereka, mereka adalah pecundang.”

Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.