ABC

Kejayaan Moyang Pelaut Makassar Tiba Kembali di Australia Utara

ANGKAT sauh dari Pelabuhan Makassar pada 8 Desember 2019, Padewakang, perahu tradisional yang dahulu konon digunakan mencari teripang, akhirnya tiba di Kota Darwin pada akhir Januari. Kejayaan pelaut Makassar seakan tiba kembali di Marege, tanah Aborigin yang mereka datangi hampir tiga abad silam.

“Komposisi kru Padewakang kontemporer ini mirip dengan yang terjadi di masa silam. Dulu pelayar dan pencari teripang didominasi pelayar Makassar dan Bugis, diikuti orang Bajau, Mandar, Flores dan Jawa. Sekarang juga demikian,” ujar Muhammad Ridwan Alimuddin, salah satu kru.

Kru kapal kayu yang hanya mengandalkan layar ini terdiri atas Sampara Daeng Nyarrang, Anton Daeng Tompo, Kaseng Daeng Sewang, dan Umar Daeng Naba dari Makassar.

Selain itu, Abdul Muis, Basir, dan Ridwan dari Mandar, Guswan Gunawan dari Bugis, Rofinus Marianus Monteiro dari Flores, serta Horst Hibertus Liebner, antropolog Jerman yang kini menunggu status WNI-nya.

padewakangdua.jpg
Kru Padewakang tiba malam hari di perairan Darwin pada 28 Januari 2020. Di tengah gerimis, mereka diperiksa petugas perbatasan Australia "yang ramah".

Istimewa: Ridwan Alimuddin

Horst sudah lebih dari tiga dekade tinggal di Makassar sebagai peneliti kemaritiman dan tenaga ahli Kemenko Maritim. Dia bertindak sebagai koordinator pelayaran Padewakang.

“Padewakang yang kami gunakan ini dibuat ulang dari nol dan selesai pada November 2019,” kata Ridwan kepada wartawan ABC Farid M. Ibrahim, Senin (3/2/2020).

Konsul Jenderal Australia di Makassar Richard Mathews yang mendukung proses pelayaran napak-tilas ini menjelaskan, pembuatan perahu Padewakang ini unik karena dahulu di akhir tahun 1980-an pernah ada ekspedisi serupa ke Australia Utara dari Makassar.

“Dulu menggunakan perahu padewakang Hati Marege dan sekarang menggunakan padewakang Nur Al Marege. Yang dulu dibuat oleh sang ayah dan yang sekarang dibuat oleh anaknya,” kata Konjen Mathews kepada ABC.

Pembuat perahu atau dikenal sebagai panrita lopi yang dimaksud adalah Haji Jafar (ayah) dan Haji Usman (anak) yang berasal dari Tana Beru, Kabupaten Bulukumba. Di sanalah padewakang “dihidupkan” kembali.

Perahu ini tidak menggunakan mesin dan hanya mengandalkan layar. Makanya, waktu keberangkatannya pun dicocokkan dengan musim angin barat di awal Desember.

Konstruksinya pun dirancang persis 250 tahun silam. Misalnya bahan untuk layarnya menggunakan serat daun gebang, yang ditenun di Sulawesi Barat dan dijahit oleh pelaut-pelaut Mandar yang didatangkan khusus ke Tana Beru.

padewakangempat.jpg
Kru Padewakang harus melalui prosedur kedatangan di Australia dan mendapatkan dukungan dari pihak Konsulat Jenderal Australia di Makassar.

Istimewa: Ridwan Alimuddin

Padewakang digunakan para pelaut Makassar sekitar awal abad 18 untuk mencari teripang ke perairan Marege, yang kini dikenal sebagai Arnhem Land di Australia Utara.

Konon setiap musim barat, puluhan armada padewakang berlabuh di pesisir utara Australia. Mereka tinggal berbulan-bulan di sana, mencari tripang di laut dan mengolahnya di darat bersama penduduk Aborigin.

Menurut Ridwan, biasanya enam bulan kemudian saat musim timur, mereka kembali ke Sulawesi membawa tripang kering. Kadang orang Aborigin ikut naik perahu ke Makassar.

Meski tradisi pelayaran padewakang ini berakhir di tahun 1907 karena dilarang penguasa kolonial, hubungan ratusan tahun itu menimbulkan kesan mendalam bagi orang Aborigin.

Momen paling berbahaya

Selama pelayaran, kata Ridwan, saat menggulung dan membuka layar merupakan momen paling berbahaya di atas padewakang. Khususnya bagi kru yang bertugas di haluan mengendalikan tali-temali.

“Pernah kejadian di perairan Bulukumba, salah satu awak tertarik ke luar dari perahu gara-gara salah satu temali tidak ditangani dengan baik. Karena tali tak dilepaskannya, dia beraksi bak Tarzan. Menggantung. Untung dia bisa segera berayun kembali ke badan perahu,” ujarnya.

padewakangtambah.jpg
Ketika layar padewakang yang terbuat dari bahan organik robek di Laut Flores.

Istimewa: Ridwan Alimuddin

Di Laut Flores, Nur Al Marege juga mengalami masalah dengan robeknya layar berbahan organik akibat angin kencang. Butuh waktu satu jam sebelum perahu terombang-ambing itu bisa melanjutkan pelayaran dengan menggunakan layar cadangan.

Masih di perairan yang sama, perahu ini kemudian mengalami patah kemudi kiri. Setelah diganti, giliran kemudi kanan yang patah.

“Memasang kemudi di laut berombak besar repotnya bukan main. Pasalnya, setengah lusin kru harus berjibaku di sisi buritan. Ada yang menahan kemudi seberat puluhan kilo, yang lain mengikat, memasang segala macam perangkat pengaman kemudi,” tutur Ridwan.

Karena jarak ke Pulau Wetar masih sehari-semalam pelayaran, mereka pun memutuskan kembali ke Pulau Alor ditarik kapal motor pendamping pelaut Mandar, yang mengawal padewakang sejak dari Makassar hingga ke perbatasan Australia.

Sejak dari Makassar ke Galesong 8 Desember, mereka baru menuju ke Bulukumba pada 15 Desember. Lalu dari Bulukumba ke sisi timur Pulau Selayar pada 21 Desember, melewati Pulau Bonerate 22 Desember, berlayar ke Pulau Madu 23 Desember.

Berikutnya ke Pulau Adonara 30 Desember, angkat sauh menuju Pulau Lembata 2 Januari, sebelum ke Pulau Pentar besoknya. Mereka bertolak ke Pulau Alor 7 Januari.

Sepekan di Alor, padewakang lanjut ke Pulau Wetar, berlabuh di Ilwaki. Setelah dua hari di sana, mereka butuh tiga hari tiga malam melintasi perairan antara Indonesia dengan Timor Leste,

Konon di pulau-pulau Kisar, Leti, Moa, Lakor dan Meatimearang inilah yang disebut-sebut dalam buku “The Voyage to Marege” sebagai tempat persinggahan pencari teripang guna mengambil air tawar dan kayu bakar.

“Kami tidak singgah di situ karena angin mendorong kami ke timur. Singgahnya di Pulau Masela. Tidak sampai 24 jam di sana, pelayaran ke persinggahan terakhir dilakukan, menuju Saumlaki di Pulau Yamdena, dan tiba 20 Januari,” jelas Ridwan.

Perahu padewakang kemudian bertolak dari Saumlaki pada Kamis 23 Januari dan buang jangkar di Darwin lima hari kemudian.

padewakanglima.jpg
Kisah pelayaran Padewakang mendapat perhatian dari media setempat di Australia.

Istimewa: Ridwan Alimuddin

“Kami tiba Darwin 28 malam. Berlabuh di luar sebab untuk masuk Cullen Bay Marina masih dangkal,” katanya.

“Tapi besok paginya agak panik sebab air pasang membuat tempat kami berlabuh yang awalnya terlindung jadi kena hantaman ombak. Perahu oleng. Radio mati membuat kami tak bisa panggil escort vessel yang mengawal kami sejak dari perbatasan,” jelas Ridwan.

“Menyadari hal itu, Horst dan Basir naik perahu kecil menuju Marina, meminta tolong untuk menarik kami ke dalam pelabuhan,” katanya.

Namun karena ombak besar, dua perahu kecil terbalik di mulut pintu masuk pelabuhan. Untung pada saat yang sama, ada kapal yang keluar dan menolong mereka.

“Sekitar jam 7 kami bisa berlabuh. Di kejauhan, tampak ada yang foto-foto. Wajah Indonesia. Betul, saat kami merapat, dia menjelaskan dari Konsulat RI di Darwin,” ujar Ridwan.

Keesokan harinya, padewakang dibawa untuk menjalani proses fumigasi. Menggunakan semacam crane khusus, padewakang yang beratnya lebih 20 ton diangkat ke daratan.

padewakang.jpg
Padewakang Nur Al Marege saat ini dikarantina di Darwin sebelum melanjutkan rutenya pada pertengahan Februari 2020 ke wilayah Arhem Land yang merupakan tujuan akhir pelayaran ini.

Istimewa: Ridwan Alimuddin

Di lokasi itu padewakang dibungkus dan disemprot pada hari Senin ini. Besok padewakang itu akan mengalami beberapa perbaikan untuk pelayaran ke Arhem Land. Tujuan akhir ekspedisi.

Perahu padewakang terbukti mampu menempuh jarak sejauh 1.330 mil laut atau 2.400 km.

“Selama pelayaran ini, di malam hari, setiap saya mendongak ke angkasa melihat bintang-bintang, secepat meteor diriku masuk lorong waktu. Ombak, angin, kibasan bendera, getar tiang layar berbisik, kamu satu bahtera dengan nenek moyangmu,” kata Ridwan menjelaskan kesannya ikut dalam pelayaran ini.