Kegelisahan Eksportir Sapi Australia dengan Kebijakan Indonesia
Indonesia hingga saat ini belum berhasil memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Akibatnya, Indonesia masih harus mengimpor daging sapi dari luar negeri, sebagian besar dari Australia.
Setiap tahun, paling tidak ada kisaran 600 ribu ekor sapi dari Australia yang diimpor ke Indonesia. Sapi-sapi berjenis brahman itu berasal dari kawasan paling utara Australia, yakni Northern Territory.
Para eksportir sapi di Darwin sudah lebih dari 20 tahun menjual sapi hidup ke Indonesia. Belakangan, mereka menjual sapi bakalan dengan berat 250 kg. Sesampainya di Indonesia, sapi-sapi tersebut tidak langsung dipotong, namun masih melalui proses penggemukan beberapa bulan hingga mencapai berat hingga 400-an kg.
Namun, para eksportir sapi di Australia belakangan dibuat bingung. Pasalnya, pemerintah Indonesia sering mendadak menentukan kuota impor, sehingga para importir harus ‘senam jantung’ setiap tahunnya.
Pemerintah Indonesia dianggap selalu mendadak memberitahukan jumlah sapi yang dibutuhkan. Akibatnya, para eksportir harus bekerja keras ketika sapi yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan harus dikirim dalam waktu sesingkat mungkin.
“Sebenarnya akan lebih baik bila ada pengumuman yang lebih cepat. Karena saya hanya memfasilitasi para eksportir, jadi ketika ada pengumuman dari Indonesia, saya mengumpulkan sapi dari para eksportir,” kata CEO Northern Territory Livestock Exporters Association (NTLEA) Stuart Kemp, saat ditemui detikcom dan 2 media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International di Berrimah Export Yard milik NTLEA, Darwin, Australia pada Mei 2016 lalu.
Bukan hanya masalah pengumuman jumlah kuota yang dadakan, turunnya izin pun juga sangat mendadak. Apalagi para eksportir harus mengurus izin 4 bulan sekali. Izin itu adalah ‘kartu sakti’ untuk mengirimkan sapi ke Indonesia.
“Tahun lalu kami mengurus izin 3 bulan sekali, sementara tahun ini kami mengurus izin 4 bulan sekali,” jelas Stuart.
Turunnya izin sering mepet dengan waktu pengiriman. Padahal, eksportir sapi di Australia selalu diberi batas waktu untuk pengiriman.
“Kami sudah siap mengirim, tapi ketika izin belum keluar ya tentu kami tidak bisa bergerak. Kadang izin keluar sangat dekat dengan habisnya periode kirim, sehingga kami juga harus bekerja sangat keras,” urainya.
Stuart kemudian mencontohkan, dalam satu tahun asosiasi eksportir sapi di Darwin mengirim 600 ribu sapi dalam 4 periode pengiriman. Setiap periode pengiriman harus mengantongi izin.
Misal dalam jangka waktu Januari-April, ada 150 ribu sapi yang dikirim. Namun, izin baru keluar pada akhir bulan Maret, sehingga dalam jangka waktu satu bulan harus mengirim sekaligus 150 ribu sapi, karena bila sampai melampaui bulan April, maka itu sudah masuk periode kirim lain. Akibatnya, dibutuhkan lebih banyak kapal dan lebih banyak logistik untuk mengirim sapi ke Indonesia.
Penyebab Harga Sapi Impor dari Australia Masih Tinggi
Harga daging sapi impor dari Australia tetap diminati karena kualitasnya yang bagus. Apa yang membuat daging sapi impor asal Australia masih mahal?
Asosiasi eksportir sapi di Darwin mengungkapkan salah satu penyebab tingginya harga sapi ekspor. Sebenarnya, saat masih berada di Darwin, untuk harga sapi bakalan (sapi yang akan disalurkan ke feedloter) itu dibanderol dengan harga AUD 3 per kilogram bobot hidup, atau sekitar Rp 30 ribu.
Namun, permohonan izin untuk mengirim sapi dan kebijakan pemerintah Indonesia yang bisa berubah mendadak, membuat para eksportir harus mengeluarkan komponen biaya tambahan lebih. Ujung-ujungnya, berpengaruh pada harga jual.
“Harganya memang sangat fluktuatif karena ini pasar bebas. Ketika pengiriman harus tertunda, maka kami juga mengeluarkan biaya ekstra dan akan berakibat pada naiknya harga. Suplai juga menyebabkan harga dinamis, belum lagi dengan permintaan yang tidak terprediksi,” kata CEO Northern Territory Livestock Exporters Association (NTLEA), Stuart Kemp.
Stuart menjelaskan, selama ini banyak biaya ekstra yang harus dikeluarkan para eksportir. Biaya ekstra terutama disebabkan terlalu lamanya penerbitan izin oleh pemerintah Indonesia, sehingga pengiriman sapi tertunda.
Stuart kemudian mencontohkan, dalam satu tahun asosiasi eksportir di Darwin mengirim 600 ribu sapi dalam 4 periode pengiriman. Setiap periode pengiriman harus mengantongi izin. Misal dalam jangka waktu Januari-April 2016, ada 150 ribu sapi yang dikirim. Namun, izin baru keluar pada akhir bulan Maret, sehingga dalam jangka waktu satu bulan harus mengirim sekaligus 150 ribu sapi, karena bila sampai melampaui April 2016, maka itu sudah masuk periode kirim lain. Akibatnya, dibutuhkan lebih banyak kapal dan lebih banyak logistik untuk mengirim sapi ke Indonesia.
Sebenarnya, sapi sudah siap dikirim sejak bulan Februari. Namun, karena izin yang lama turun, sehingga proses pengiriman harus tertunda dengan akibat biaya operasional meningkat.
“Efek dari lamanya izin turun adalah kapal harus bersandar lebih lama, sedangkan kami menyewa per hari, sehingga biaya operasional lebih tinggi. Kapal hanya bersandar di pelabuhan, tidak melakukan apa-apa tapi kami harus tetap membayar,” kata Service Manager South East Asian Livestock Services (SEALS) Kevin Mulvahil.
“Bila pengiriman tertunda, kami juga harus mengeluarkan biaya ekstra untuk makanan sapi. Itu juga cukup memberatkan,” jelasnya.
Belum lagi, para importir juga harus bersiap-siap dengan risiko perubahan kuota. Jumlah permintaan sapi dari Indonesia sering tidak terprediksi dan sangat mendadak.
Ada kalanya permintaan melonjak, sehingga eskportir harus bekerja keras mengumpulkan sapi. Namun, tak jarang juga saat eksportir sudah menyiapkan banyak sapi, tiba-tiba kuota dipangkas.
“Kadang kami lalu harus menjual sapi ke tempat lain ketika permintaan diturunkan, kadang kami menjual ke Vietnam,” tutur Kevin.
Untuk menutupi biaya ekstra yang timbul akibat pesanan yang dinilai cukup dadakan itu, akhirnya para eksportir menaikkan harga sapi. Kevin menyarankan, bila Indonesia ingin harga sapi impor rendah, maka sebaiknya kuota impor dibebaskan.
“Akan lebih baik bila Indonesia menerapkan pasar bebas, akan lebih banyak suplai dengan harga yang kompetitif dan akan semakin banyak pilihan. Itu akan lebih menguntungkan bagi konsumen,” tegasnya.