Kebiasaan Merokok Bebani Biaya Kesehatan Indonesia Triliunan Rupiah
Akhir tahun ini, Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes) menerbitkan laporan mengenai biaya kesehatan dan ekonomi dari tembakau. Dalam laporan itu, jumlah perokok muda menunjukkan peningkatan dan betapa kebiasaan merokok menimbulkan dampak kesehatan dan ekonomi yang tidak sedikit.
Awal Desember lalu, ABC menerbitkan artikel mengenai penyakit kronis akibat merokok. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia makin tahun makin meningkat jumlahnya. Mengutip Profesor Danny Liew dari Monash University, Indonesia dinilai bisa belajar dari Australia tentang bagaimana mengatasi penyakit kronis akibat merokok dengan strategi preventif yang maksimal.
Kali ini, wartawan ABC di Jakarta Nurina Savitri berbincang dengan Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Pungkas Bahjuri Ali, Ph.D, mengenai temuan dalam laporan Kemenkes tersebut dan sejauh mana penyakit kronis akibat merokok membebani sistem jaminan kesehatan di Indonesia serta upaya apa yang seharusnya dilakukan untuk meminimalkan dampak kesehatan dan ekonomi dari merokok.
Benarkah Indonesia melawan tren global untuk jumlah perokok dari tahun ke tahun?
Ya, dari survei terakhir 2013, tren-nya memang meningkat. Ada beberapa golongan yang trennya tidak turun malah meningkat. (Kemudian merujuk laporan Kemenkes. Dalam laporan itu disebutkan, tingkat merokok di antara populasi pria berusia 15 tahun ke atas meningkat dari 53,4% di tahun 1995 menjadi 66% di tahun 2013).
Justru ini yang kami khawatirkan terutama untuk kelompok muda ya, kelompok pemula. Kami juga punya target di RPJM (rencana pembangunan jangka menengah), harusnya menurun tapi yang terjadi malah meningkat.
Apa saja faktor penyebabnya yang ditemukan di lapangan?
Saya kira ini kompleks ya. Kalau penyebab merokok menurut saya karena salah satunya tadi, kecenderungan mulai merokok itu sudah mulai menurun (usianya). Makin ke sini makin muda.
Kalau itu kan lebih bahaya untuk jangka panjang, kalau dari kecil sudah terbiasa merokok itu akan sangat sulit dihilangkan.
Paling muda usia berapa?
Jadi ini ada beberapa data misalnya. Kelompok usia mulai merokok 13-15 tahun saja ini sekitar 20 persen. 13 tahun kan berarti anak SMP, dan itu sudah cukup tinggi.
Dalam laporan disebutkan orang Indonesia yang merokok itu rata-rata dari kelas menengah ke bawah, apa itu murni karena faktor kurangnya pengetahuan atau ada faktor lain?
Kalau menurut saya, itu lebih pada pengetahuan ya. Jadi memang banyak studi, tidak hanya terkait rokok ya, orang kalau punya pengetahuan -biasanya pengetahuan itu direpresentasikan dari tingkat pendidikan ya, perilaku hidup sehatnya lebih bagus dibanding yang kurang berpendidikan. Dengan asumsi, mereka yang berpenghasilan rendah itu pendidikannya kurang. Jadi memang seperti itu, artinya karena pengetahuan dan akhirnya terlihat dengan sikap.
Di laporan itu juga disebutkan, jumlah perokok di pedesaan lebih tinggi dibanding perkotaan. Nah itu contoh yang merefleksikan kemungkinan karena rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat.
Berapa persentase orang-orang yang merokok di pedesaan dibandingkan perkotaan?
Karena mungkin budaya juga ya, kemudian pengetahuannya juga kurang, kebiasaan, artinya itu lebih sulit. Kenapa? karena masyarakat desa kan dengan tetangga itu sangat dekat, jadi kalau temannya merokok dia tidak merokok kan nggak enak. Kalau di desa, yang lain merokok mau nggak mau dia akan merokok. Tapi memang pengetahuan mereka tentang dampak dari rokok itu belum begitu bagus.
Lima tahun belakangan, kampanye anti-rokok apa saja yang dilakukan namun masyarakat kurang begitu menyadari?
Kalau secara program, regulasi sebenarnya sudah banyak. Regulasi public health (kesehatan publik)-nya ya. Misalnya, ada undang-undang yang melarang untuk iklan rokok. Kemudian menggolongkan rokok sebagai zat adiktif. Kemudian dari sisi gerakan, kita sudah melakukan yang namanya gerakan masyarakat hidup sehat, Germas. Jadi misalnya kita ada kawasan tanpa rokok, kemudian kampanye untuk anti-tembakau, pengawasan penjualan tembakau.
Tapi memang kan masalahnya, banyak kebijakan-kebijakan lain yang tidak hanya public health, kebijakan dari ekonomi, kebijakan dari pajak, itu sangat memengaruhi. Kebijakan dari industri terutama, sangat memengaruhi aktivitas merokok secara keseluruhan. Jadi, kebijakan atau hukum di bidang kesehatan itu tidak cukup.
Dampak ekonomi dari kebiasaan merokok sendiri seberapa besar?
Dalam laporan tentang dampak ekonomi dari merokok akhir November lalu disebutkan adanya biaya langsung dan tidak langsung dari merokok. Yang biaya langsung itu biaya kesehatan, biaya yang diperlukan ketika dia merokok kemudian sakit. Misalnya biaya transport kalau pergi ke rumah sakit.
Itu kan dihitung economic loss (kerugian ekonomi). Totalnya ada sekitar 300 sekian triliun rupiah dalam setahun di Indonesia. Nah itu dibanding dengan pemasukan pajak (cukai tembakau), Pemasukan pajak itu sekitar 130 triliun rupiah, jadi sebenarnya kerugiannya masih lebih banyak dibanding pemasukan secara ekonominya.
Seberapa efektif pengendalian penyakit yang bisa dicegah untuk mengurangi biaya kesehatan?
Sebenarnya itu (penyakit yang bisa dicegah) kan penyakit tidak menular seperti penyakit stroke, jantung, diabetes, itu penyakit-penyakit yang berhubungan dengan perilaku. Artinya tergantung perilaku orangnya, nah itu bisa dicegah. Dan itu justru yang punya dampak besar terhadap ekonomi karena biaya-nya sangat tinggi. Kalau kita sakit jantung, biayanya jauh lebih tinggi daripada penyakit diare, padahal diare penyakit menular, jantung bukan penyakit menular. Tapi penyakit jantung itu disebabkan oleh perilaku dia sendiri, merokok kemudian alkohol, makan sembarangan dan tidak berolah raga, itu kan sebenarnya perilaku. Ini bisa dicegah. Jika itu bisa dilakukan, itu biaya-nya sangat bisa diturunkan.
Dalam kuliah umumnya, peneliti kesehatan klinis Profesor Danny Liew menyebutkan bahwa Indonesia bisa belajar dari Australia tentang cara pencegahan penyakit kronis akibat rokok. Menurut anda?
(Sebelumnya Australia Plus telah meneruskan materi kuliah umum Prof Danny kepada Pungkas Bahjuri Ali).
Sekarang kita juga punya masalah yang sama persis dengan yang disampaikan Prof Danny, biaya untuk penyakit tidak menular masih sangat tinggi. Sehingga sekarang kita sedang melakukan gerakan msyarakat hidup sehat artinya kita mulai bergerak di promotion dan prevention. Promosi supaya masyarakat tahu, kemudian pencegahan. Sekarang kita minta setiap daerah untuk menggalakkan hidup sehat, tapi itu kan sulit jadi tidak mungkin dalam jangka pendek. Dan mungkin kelebihan Australia mereka lebih berpendidikan, ini kan masalah perilaku. Perilaku itu kan kalau orang tahu, dia mau berubah. Nah sekarang tingkat pengetahuan kita juga masih rendah, jadi tantangan sendiri padahal ada banyak kampanye. Secara umum saya kira di negara-negara maju mereka sudah tahu, karena itu banyak dari mereka melakukan upaya sendiri misalkan menerapkan pola hidup sehat.
Kembali ke laporan Kemenkes. Di sana disebutkan bahwa penyakit akibat merokok ternyata membebani BPJS?
Ya betul karena merokok itu kan, kalau dari studi terakhir ini kan setahu saya, masuk 4 besar faktor risiko penyakit tidak menular, penyebabnya adalah merokok. Jadi faktor utama adalah pola makan yang tidak baik, kurang beraktifitas fisik, gula darahnya tinggi dan kemudian merokok. Jadi merokok itu menjadi salah satu faktor risiko terbesar untuk penyakit tidak menular. Nah penyakit yang disebabkan oleh merokok juga cenderung merupakan penyakit-penyakit kronis yang membutuhkan biaya mahal. Itu akan terkait dengan stroke, jantung, hipertensi, otomatis biayanya akan jauh lebih mahal dibanding penyakit-penyakit seperti diare yang sudah saya sebut tadi.
Seberapa besar penyakit kronis akibat merokok membebani BPJS?
Jadi kalau menurut perhitungan BPJS tahun 2015, ini ada biaya manfaat, biaya manfaat itu artinya adalah saya orang sakit kemudian datang berobat ke rumah sakit, kan diklaim ya jenis penyakitnya ke BPJS, nah dari jumlah yang diklaim tahun 2015, itu sekitar sekitar 7,5 triliun rupiah. Itu untuk penyakit yang terkait dengan rokok, seperti kanker mulut, kanker lambung, kanker hati, kemudian jantung koroner, stroke, bronkitis dan sebagainya. Dan menariknya itu meningkatnya lebih tajam dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlah itu yang tercantum dalam BPJS saja, kan masih banyak orang yang belum terangkum dalam BPJS.
Kalau kebijakan di bidang kesehatan masyarakat saja belum cukup, lalu apa lagi yang patut diperhatikan?
Salah satunya yang krusial adalah dampak terhadap para petani. Kebetulan itu yang sering jadi bumper (alasan) bahwa ini loh banyak petani tembakau yang kalau angka merokok menurun mereka bekerja apa? Nah isu-isu seperti itu kan harus diatasi juga.
Misalnya, pengalihan komoditi petani, mereka tidak lagi menanam tembakau tapi menanam komoditi lain, nah itu juga bisa dilakukan. Jadi memang semua pihak harus bekerja sama. Jadi kalau kesehatan sendiri susah, karena dia di ujungnya saja, kalau yang lain tidak diatas ya sama saja.
Apa memang begitu susah untuk menyeimbangkan kesehatan dengan kebutuhan industri?
Menurut saya, isu-nya tidak hanya pemasukan negara, tidak hanya cukai katakanlah. Artinya, kalau masalah cukai, itu bisa dinaikkan setinggi-tingginya, otomatis pemasukan akan masuk banyak. Tapi saya kira yang dipikirkan oleh Kementerian Keuangan secara umum adalah masih ada penduduk yang terdampak, dalam arti di sisi pengusaha kecil, petani, artinya dampak itu juga akan mengarah ke sana. Menurut saya itu yang harus seimbang, antara melihat dampak terhadap kesehatan dan dampak terhadap petani. Dan menurut saya memang, sebenarnya tergantung dari kemauan kita, kalau kita semua sepakat ke depan kita akan meningkatkan kesehatan dengan mengurangi rokok, artinya para petani ini harus kita garap. Kita kerjakan dari sekarang bagaimana solusinya, jadi tidak mungkin solusinya dari public health saja. Diberi peringatan mengancam kesehatan segala macam, tapi harus ada juga solusi di sisi lain. Supaya membantu kita untuk dapat segera menyelesaikan itu. Karena itu kan memang pendapatan juga sebenarnya, walaupun kalau dihitung-hitung biayanya lebih tinggi.
Lalu ada yang membandingkan untung-rugi terhadap pemasukan negara, itu bagaimana?
Kalau dihitung-hitung kan biaya merokok itu kan tidak tangible, tidak terlihat secara langsung. Jadi misalnya kalau orang berhenti merokok, ‘wah rokok itu biayanya sekian’, nah biaya-nya sekian itu kan tidak terlihat di dalam dunia moneter tidak ketahuan uangnya. Tapi kalau bicara cukai, itu langsung ketahuan jumlahnya sekian persennya dari pendapatan negara. Jadi membandingkan antara konsep yang masih intangible (tidak terlihat langsung) di masa depan dengan apa yang memang riil, sehari-hari kita terima uang untuk pemasukan negara, itu sebenarnya agak berbeda. Jadi, belum tentu semua orang bisa menghubungkan itu.
Apakah itu artinya di level policy maker (pembuat kebijakan) sendiri belum sepakat?
Sebenarnya kalau menurut saya, untuk memulai hidup sehat sih sudah sepakat semua. Cuma mungkin yang belum sepakat adalah bagaimana way out-nya, solusinya, artinya yang mau ditempuh seperti apa. Apakah industri rokoknya pelan-pelan kita tekan, atau petaninya kita alihkan, atau kita kampanye besar-besaran supaya orang tidak merokok dengan harga naik misalnya, banyak hal seperti itu yang saya kira perlu komunikasi antar semua sektor.
Tinggal solusinya yang saya kira kita harus lebih sepakat karena masing-masing kan punya tupoksi (tugas pokok dan fungsi) seperti perindustrian, tugasnya adalah menyelamatkan industri. Sehingga kita harus juga membuat perencanaan untuk industri rokok, seperti apa ke depan. Di pertanian, dia punya tugas untuk mengayomi petani tembakau. Sehingga kalau kita sepakat bahwa ke depan rokok harus dikurangi, jalannya seperti apa yang bisa dilakukan petani. Saya kira itu yang perlu dibicarakan sebenarnya.