ABC

Kebebasan Pers Indonesia Tidak Memburuk, Tapi Mengkhawatirkan

Beberapa pihak belakangan ini melihat bahwa kehidupan media di Indonesia menghadapi tantangan dalam mendapatkan kepercayaan dari publik dan sedang mengalami kemunduran.

Dan dengan di Indonesia di tahun 2018 akan berlangsung pemilihan kepala daerah (serempak) setingkat gubernur, walikota, dan bupati, dan juga akan dilangsungkannya pemilu dan pemilihan presiden di tahun 2019, kenetralan dan kebebasan media dalam menyampaikan informasi juga menjadi sorotan.

Apakah ada kemunduran kebebasan pers di Indonesia, apakah mereka menghadapi tekanan ketika para awaknya bekerja sehari-hari?

Laporan terbaru mengenai kebebasan pers yang dibuat oleh sebuah yayasan asal Amerika Serikat Freedom House, menyebutkan pers di Indonesia masih setengah bebas.

Dalam laporan berjudul Freedom of the Press 2017 tersebut disebutkan indikator seperti situasi hukum, politik, dan ekonomi di Indonesia menjadikan tingkat kebebasan persnya setara dengan negara India dan Brasil.

Menanggapi laporan soal kebebasan pers tersebut, Arif Zulkifli, Pemimpin Redaksi majalah Tempo mengatakan kebebasan pers di Indonesia sebenarnya terus membaik, terutama jika dibandingkan saat berada di bawah rezim Presiden Soeharto.

“Kalau kita baca dalam 20 tahun terakhir ya, setelah reformasi ’98, saya kira pencapaiannya itu luar biasa siginifikan. Jadi, kerja pers itu dilindungi, dalam sebuah koridor yang seharusnya memang begitu. Misalnya, pers tidak bisa secara hukum formal dikriminalisasi. Pers punya kebebasan memberitakan apapun sepanjang apapun itu menyangkut kepentingan masyarakat,” jelas Arif kepada Nurina Savitri dari ABC Australia.

“Kalau pers melakukan kesalahan, maka pers dulu akan ditutup, dibredel, sekarang tidak lagi karena ada satu mekanisme di Dewan Pers. Jadi ada perkembangan signifikan yang melindungi kerja pers itu.”

Tapi menurut Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kemajuan dalam kebebasan pers ini masih terlalu lambat.

“Saya rasa kebebasan pers tidak berjalan mundur, tapi ini sesuatu yang harus kita lewati mengingat zaman otoriter sebelumnya. Kita butuh waktu untuk beranjak dari sistem lama, meski ini sudah berjalan 20 tahun.”

Ada upaya menahan kebebasan pers

Arif dan Abdul sepakat jika ada beberapa hal-hal yang masih menghalangi kebebasan pers di Indonesia.

“Ada beberapa kejadian, peristiwa, kita katakan, yang menunjukkan bahwa pers belum sepenuhnya bebas. Misalnya apa yang terjadi dengan teman-teman di daerah jauh, yang kontrol masyarakat, solidaritas pers barangkali tidak sekuat kalau itu terjadi di tempat-tempat seperti kota besar.”

“Saya kira ada upaya untuk mengurangi kebebasan pers itu. Misalnya ya, tahu kan, di Undang-Undang MD3 yang terakhir, yang menyebutkan bahwa kritik terhadap DPR berimplikasi pada kriminalisasi terhadap mereka yang mengkritiknya, dalam hal ini termasuk wartawan.”

Dalam laporan Kompas.com pekan lalu (21/08) disebutkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan “Presiden Joko Widodo enggan menandatangani pengesahan UU MD3 sebagai bentuk protes terhadap pasal-pasal yang menuai kontroversi publik”.

Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD disahkan oleh Parlemen pada 12 Februari 2018. Pengesahan tersebut sempat disoroti publik karena dalam adanya pasal yang memberikan kesan DPR sebagai lembaga antikritik.

Kekhawatiran yang sama juga dirasakan wartawan senior televisi, Yulia Supadmo, yang pernah mengunjungi Australia atas undangan Departemen Luar Negeri Australia awal Februari lalu.

Yulia Supadmo berpendapat kebebasan pers di Indonesia adalah masalah yang kompleks.
Yulia Supadmo berpendapat kebebasan pers di Indonesia adalah masalah yang kompleks.

Foto: Koleksi pribadi

Yulia yang kini mengepalai Rajawali TV (RTV) mengatakan kebebasan pers di Indonesia adalah sebuah masalah yang kompleks.

“Saya tidak mengatakan keadaannya memburuk, tetapi ada perkembangan yang mengkhawatirkan. Ini datangnya dari undang-undang yang disahkan oleh parlemen dan memungkinkan para wartawan dipidanakan jika mereka melaporkan hal-hal yang negatif soal parlemen dan anggotanya.”

“Ini hanyalah contoh perkembangan yang tidak pernah kita lihat sebelumnya, dan tentu saja ada beberapa peraturan yang akan menjadi masalah, setidaknya perdebatan, jika wartawan dapat diajukan ke pengadilan karena laporannya, yang bertentangan dengan mekanisme sebelumnya di mana orang-orang yang merasa dirugikan oleh pers atau sebuah laporan bisa meminta agar ada laporan yang menjelaskan sebaliknya.”

Arif juga memberikan contoh lain, yakni Undang-undang Informasi dan Transaski Elektronik (ITE) yang diperkenalkan tahun 2008 yang memberikan dampak pada media secara keseluruhan.

“Yang perlu dipahami, setiap informasi digital sekarang itu akan dijerat tidak saja hanya lewat Undang-Undang Pers tapi juga lewat Undang-Undang ITE. Jadi Undang-Undang ITE awalnya untuk membatasi ruang gerak dari media-media yang tidak bertanggung jawab, tapi kita lihat pada implikasinya itu bisa juga terkena pada media-media yang mainstream.”

Kepemilikan media

Seiring semakin dekatnya pemilihan umum di tingkat lokal dan nasional, kepemilikan media kembali menjadi perdebatan yang hangat bahkan di kalangan praktisi media sendiri.

Abdul Manan sebagai perwakilan jurnalis independen berpendapat kepemilikan media memiliki dampak yang signifikan, khususnya saat pemilu dan pilkada berlangsung. Hal ini bisa nyata terlihat saat media dimiliki oleh pemimpin partai.

“Ini benar-benar terjadi, namun pada akhirnya kredibilitas mereka masih yang utama dan masyarakat yang kritis akan bisa mengetahuinya.”

Menurutnya liputan media bisa membagi opini publik jika hanya ada dua kandidat, dengan memberikan contoh pada Pemilu Presiden yang terakhir.

Arif mengatakan tidak khawatir dengan banyaknya kemunculan media saat ini, karena pada akhirnya bisa membantu warga mendapat informasi yang akurat.

“Anda tinggal pindah ke media yang lain. Jadi saya percaya betul bahwa ketidaknetralan media bisa dijawab dengan pluralisme media.”

Masa depan pers di Indonesia

Dr Ross Tapsell berpendapat masalah pers di Indonesia dialami juga di negara-negara lain.
Dr Ross Tapsell berpendapat masalah pers di Indonesia dialami juga di negara-negara lain.

Foto: Koleksi ANU

Sementara itu Dr Ross Tapsell, dosen senior dari Australian National University (ANU) yang banyak meneliti masalah media dan budaya di Asia Pasifik, khususnya Indonesia mengatakan tantangan yang dialami Indonesia adalah sama dengan yang dialami negara-negara lain di dunia.

“Tantangannya adalah membayangkan sebuah cara untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik dan lebih demokratis tanpa pers,” ujar Dr Tapsell.

Menurut Dr Tapsell, mengukur ‘kebebasan pers’ lebih mudah dilakukan sebelumnya, karena pada dasarnya adalah kemampuan wartawan profesional mengomentari dan mengkritik pemilik kekuasaan, seperti pemerintah, lembaha hukum, atau institusi keagamaan.

“Tapi kini jauh lebih kompleks dan sekarang semua saling terkait. Internet, jejaring sosial, jurnalisme warga, dan undang-undang baru seperti ITE dan MD3 menyamarkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.”

Dr Tapsell pernah meluncurkan beberapa buku terkait media di Indonesia, termasuk berjudul “Media Power in Indonesia”. Menurutnya ada kepercayaan yang berkurang terhadap media maintsream di Indonesia, karena adanya liputan yang berpihak demi kepentingan politik pemilik media.

“Ini menyebabkan banyaknya bermunculan situs ‘alternatif’ dan jejaring sosial, yang kadang disebut sebagai ‘fake news’,” jelas Dr Tapsell.

“Pemilik media televisi sebaiknya jangan menduga rating mereka akan tetap kuat. Orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu di ponsel mereka, seperti di jejaring sosial, daripada duduk pasif di depan televisi menonton berita malam.”