KDRT di Australia Dianggap Lebih Mengancam Dibanding Terorisme
Pemerintah di seluruh dunia berjuang untuk melawan ekstrimisme kekerasan, terutama karena munculnya kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS. Tapi penelitian baru menunjukkan justru lebih banyak warga Australia yang takut pada kekerasan keluarga, dibandingkan terorisme.
Sebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan tiga dari empat warga Australia setuju bahwa KDRT lebih mengancam dari serangan teroris.
Renee Carr, kelompok kesetaraan gender, 'Fair Agenda', mengatakan di tahun 2015 sudah ada 31 perempuan yang tewas terbunuh karena serangan KDRT.
"Kami pikir perlu ada dana untuk pelayanan terkait kekerasan keluarga untuk memastikan agar ada bantuan dan upaya menjaga wanita yang aman," jelasnya.
Fair Agenda telah melakukan jajak pendapat melibatkan 1000 orang. Hasilnya, 74 persen mengatakan kekerasan keluarga lebih mengancam kehidupan mereka, dibandingkan aksi terorisme.Sementara, delapan belas persen percaya teroris lebih mengancam dan delapan persen sisanya tidak memutuskan.
Carr menjelaskan, pertanyaan yang diajukan dalam jajak pendapat tersebut dilatarbelakangi dengan komentar Rosie Batty, bahwa kekerasan keluarga telah dianggap sebagai aksi teror dalam keluarga.
Rosie Batty, adalah warga Australia yang pernah mendapatkan gelar 'The Australian of the Year'. Ia telah berulang kali menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, atau KDRT di Australia lebih buruk dari aksi terorisme.
"Bisa terlihat jelas, mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sama seperti melakukan aksi tindakan terorisme dalam rumah keluarga mereka sendiri," ujar Batty.
"Pemerintah Federal Australia sebelumnya mengatakan telah menghabiskan $100 juta atau sekitar Rp 1 triliun selama empat tahun untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak," ujarnya.
Tapi Renee Carr mengatakan jumlah tersebut tidak cukup. Menuruynya ribuan perempuan di Australia tidak mendapat pelayanan berakitan kekerasan keluarga.
"Pelayanan tersebut termasuk hal-hal seperti layanan bagi mereka yang tidak memiliki rumah, sehingga membutuhkan Rp $34 juta atau Rp 340 miliar dari dana pemerintah. Sementara dana sebesar $68 juta atau sekitar Rp 680 miliar untuk pelayanan yang berkaitan dengan hubungan keluarga, program perilaku pria…," ujar Carr.