Karya Seni Rupa 20 Seniman Indonesia Pertama Kali Ditampilkan Bersama di Canberra
Untuk pertama kalinya di Australia para seniman Indonesia memamerkan karya seni rupa kontemporer selama 4 bulan di salah satu galeri seni terkenal, National Gallery of Australia (NGA) di ibukota Canberra.
Pameran dengan judul Contemporary Worlds: Indonesia dibuka hari Jumat (21/6/2019) dan akan ditutup 27 Oktober mendatang, menampilkan karya 20 seniman Indonesia, baik yang baru mulai berkarya maupun yang sudah mapan.
Ini adalah untuk pertama kalinya Australia menjadi tuan rumah untuk menunjukkan karya seniman-seniman Indonesia di abad ke-21.
Para seniman menampilkan 55 karya dengan berbagai kesenian, mulai dari seni lukis, ukir, fotografi, sinematografi, keramik, seni instalasi, tekstil, sinematografi, hingga seni gerak, ditampilkan dan dipamerkan di NGA yang merupakan salah satu galeri seni bergengsi dan ternama di dunia.
Para seniman yang ambil bagian dalam pameran adalah Zico Albaiquni, Akiq AW, Febie Babyrose, Faisal Habibi, Herbert Hans, Duto Hardono, FX Harsono, Ruddy Hatumena, Mella Jaarsma, Adi ‘Uma Gumma’ Kusuma, Jompet Kuswidananto, MES 56, I Gusti Ayu Kadek (IGAK) Murniasih, Eko Nugroho, Garin Nugroho, Octora, Yudha ‘Fehung’ Kusuma Putera, Tita Salina, Tisna Sanjaya, Handiwirman Saputra, Uji ‘Hahan’ Handoko Eko Saputro, Albert Yonathan Setyawan, Melati Suryodarmo, Agus Suwage, Julian Abraham ‘Togar’, Tromarama, I Made Wiguna Valasara dan Entang Wiharso.
Dalam pengantarnya Direktur NGA Nick Mitzevich mengatakan bahwa seni adalah salah satu cara yang bagus untuk mempererat hubungan antar warga Indonesia dan Australia.
“Seni memberikan cara yang penuh makna bagi warga Australia untuk belajar dan memahami salah satu tetangga paling penting yaitu Indonesia.” kata Mitzevich.
“Karya yang dipamerkan merupakan karya dari sebagian seniman yang paling dinamis di Indonesia saat ini yang menggambarkan tranformasi yang dialami Indonesia dalam 20 tahun terakhir.” tambah Mitzevich.
Pameran ini secara resmi diluncurkan secara bersama oleh Dubes RI untuk Australia, Kristiarto Legowo, Dubes Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, dan Nick Mitzevich, Direktur NGA.
Pameran ini menampilkan para seniman Indonesia yang berkarya sejak jatuhnya Presiden Soeharto di tahun 1998, masa yang kemudian dikenal di Indonesia dengan sebutan jaman Reformasi.
Oleh karena itu, menurut Kurator Senior Bidang Seni Asia di NGA, Carol Cains, para seniman Indonesia dalam karyanya berusaha menjelajahi dan mengkaji kembali sejarah, isu politik dan perkembangan sosial di Indonesia.
“Masing-masing seniman terinspirasi oleh pengalaman pribadi dan karya mereka menghubungkan masa lalu dan mas sekarang yang terjadi di Indonesia.” kata Cains.
Salah seorang seniman tersebut adalah FX Harsono, yang menampilkan karyanya berjudul Gazing on Collective Memory, yang sudah dibeli oleh NGA.
Seni yang digeluti oleh FX Harsono adalah mengenai identitasnya sebagai warga keturunan Tionghoa di Indonesia dalam masalah keadilan dan ketidakadilan yang dialami dan dilihatnya.
FX Harsono kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya hari Senin (24/6/2019) mengatakan karyanya bernama Gazing on Collective Memory yang dibuatnya di tahun 2016 sudah dibeli oleh NGA untuk menjadi koleksi galeri tersebut di tahun 2018.
Karya bernama Memori Kolektif ini adalah seni instalasi yang menggambarkan sejarah warga Tionghoa di Indonesia mulai dari jaman sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang.
“Memori kolektif ini berasal dari apa yang terjadi di Indonesia dimana ketika sebelum Orde Baru ada, budaya Tionghoa di Indonesia berkembang baik.” katanya.
“Namun kemudian di jaman Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, hal-hal yang berkenaan dengan Tionghoa dilarang, dan di jaman Reformasi kemudian dibebaskan lagi.”
“Di jaman reformasi kita melihat misalnya barang-barang yang datang dari China tidaklah sama dengan apa yang sudah ada di jaman sebelum Orde Baru. Inilah yang kemudian saya masukan dalam memori kolektif.” kata FX Harsono, yang merupakan generasi keenam warga Tionghoa di Indonesia.
Karya FX Harsono ini adalah serangkaian tiang bambu yang menggantung berbagai foto, juga cawan porselen, dan buku-buku pelajaran. Di atas tiang bambu itu bergelantungan kabel listrik dengan lampu guna menggambarkan perjuangan orang da kelompok Tionghoa dari dulu yang masih bertahan sampai sekarang.
Simak berita-berita ABC Indonesia lainnya di sini