Kapal Perang China Masuki Samudera Hindia di Tengah Krisis Maladewa
Sebelas kapal perang China dilaporkan berlayar ke Samudera Hindia bagian timur bulan ini, di tengah krisis konstitusional dan keadaan darurat di Maladewa.
Menurut pemberitaan portal berita Sina.com.cn, sebuah armada kapal perusak dan setidaknya satu kapal selam, sebuah dermaga transportasi amfibi 30.000 ton serta tiga kapal tanker pendukung memasuki Samudra Hindia. Media itu melaporkan tanpa menghubungkan pengiriman armada itu untuk krisis di Maladewa atau memberikan alasan.
“Jika Anda melihat kapal perang dan peralatan lainnya, kesenjangan antara angkatan laut India dan China tidaklah besar,” tulis Sina.com.cn.
Media itu tidak mengatakan kapan armada tersebut dikerahkan atau untuk berapa lama.
Persaingan India dan China atas pengaruh di Maladewa menjadi nyata setelah Presiden Abdulla Yameen menandatangani inisiatif ‘One Belt, One Road’ yang diprakarsai China untuk membangun jaringan perdagangan dan transportasi di Asia dan sekitarnya.
India, yang telah memiliki hubungan politik dan keamanan yang telah berlangsung lama hingga ke pulau-pulau sekitar dengan jarak 400 kilometer jauhnya, telah berusaha melawan kehadiran China yang meluas di negara berpenduduk 400.000 Muslim tersebut.
Pemimpin Oposisi Maladewa telah mendesak New Delhi untuk campur tangan dalam krisis tersebut.
Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan komentar.
Pada hari Jumat (16/2/2018), Tentara Pembebasan Rakyat memasang foto dan sebuah kisah tentang latihan penyelamatan yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur di akun Weibo resminya.
Awal bulan ini, China menyarankan warga negaranya untuk menghindari kunjungan ke Maladewa, yang terkenal dengan hotel mewahnya, resor selam dan laut tropis biru, sampai ketegangan politik mereda.
Presiden Yameen memberlakukan keadaan darurat 15 hari pada 5 Februari untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman terhadap sembilan pemimpin Pposisi dan memerintahkan pemerintahannya untuk membebaskan mereka yang dipenjarakan.
Ia meminta persetujuan Parlemen untuk memperpanjang masa darurat selama 30 hari, yang akhirnya disetujui meskipun ada seruan internasional untuk mencabut keadaan darurat dan memulihkan keadaan normal.
Tak hanya sekedar bantuan
China telah melakukan kesepakatan dengan negara-negara di Asia dan Pasifik sejalan dengan inisiatif ‘One Belt, One Road’ mereka untuk memperbaiki impor komoditas utama, meningkatkan infrastruktur dan jalur perdagangan di kawasan ini dan meningkatkan pengaruh diplomatiknya.
Keputusan Beijing untuk mengirim kapal perang ke wilayah Maladewa selama krisis saat ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa China bisa melakukan permainan kekuasaan serupa di kawasan Pasifik.
Mantan sekretaris Departemen Luar Negeri Fiji, Robin Nair, mengatakan bahwa situasinya menunjukkan pengaruh China yang berkembang di Pasifik bisa membuat beberapa negara menghadapi situasi sulit.
“Kami tahu bahwa di Maladewa, China telah terlibat dalam pengembangan infrastruktur mereka dan Maladewa berada dalam hutang yang besar ke China hampir $ 2 miliar (atau setara Rp 20 triliun), yang tak bisa dilunasi oleh sebuah negara kecil seperti itu.”
Nair mengatakan bahwa sementara negara-negara seperti Australia dan Selandia Baru memberikan banyak dukungan dan bantuan bencana, uang bantuan China dilengkapi dengan konsekuensi.
“Bantuan China bukan hanya sekedar bantuan, tapi juga pinjaman, pinjaman lunak,” kata Nair.
“China jauh lebih perhitungan dalam cara bereaksi. Negara ini bereaksi dengan benar-benar mengirimkan sejumlah uang ke Fiji setelah topan [Winston].”
Nair mengatakan bahwa masyarakat waspada terhadap pengaruh China di wilayah tersebut.
“Saya pikir pengaruh China di Pasifik, mungkin ada pengaruh terhadap para pemimpin dan beberapa Pemerintah tapi tidak terhadap masyarakat,” sebutnya.
“Masyarakat juga tahu dan sangat sadar akan beban utang yang dimiliki negara-negara tersebut, dan mereka juga sangat khawatir dengan kualitas manajemen dan kualitas pekerjaan di proyek bantuan tersebut.”
China telah menuai kritik di Barat karena dianggap membangun militer di Laut China Selatan yang berdekatan, di mana mereka telah membangun dan memperluas pulau serta terumbu karang.
China mengklaim sebagian besar wilayah laut itu yang secara bersamaan juga diklaim tetangga mereka yakni Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.