ABC

“Kami Tak Akan Keluar dari Wamena”: Ribuan Warga Pendatang Eksodus Karena Trauma

Gelombang eksodus warga pendatang dari Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, masih terus berlangsung sepekan pasca kerusuhan. Namun meski mengungsi untuk sementara, ada juga yang memutuskan tidak akan pernah meninggalkan di Wamena.

Eksodus warga pendatang dari Wamena

Eksodus warga pendatang dari Wamena:

  • Jumlah pengungsi di sejumlah titik pengungsian di Wamena mencapai 6.784 warga
  • Pengungsi yang sudah dievakuasi oleh TNI/Polri ke kota Jayapura sebanyak 3.213 orang.
  • Polisi tegaskan kerusuhan di Wamena tidak ditujukan ke etnis tertentu.

Data yang dirilis Kodim 1702/Jayawijaya mencatat ada 6.784 warga di Wamena yang kini tengah mengungsi ke sejumlah titik pengungsian seperti di kantor polisi, Markas Kodim, gereja dan lainnya.

Komandan Lanud Silas Papare Jayapura Marsma TNI Tri Bowo Budi Santoso kepada Kompas bahkan menyebutkan jumlah warga yang mendaftar untuk dievakuasi ke Jayapura pada hari Minggu (29/9/2019) telah mencapai 10.000 orang. Mereka umumnya warga pendatang.

“Sekarang yang daftar sudah sekitar 10.000. Ada 2.670 yang sudah diangkut ke Jayapura,” ujar Bowo di Jayapura.

Kekhawatiran warga pendatang ini merupakan buntut dari kerusuhan pada Senin (23/9/2019) di Wamena yang menyebabkan puluhan orang meninggal dunia dan terluka, mayoritas yang meninggal dunia adalah warga pendatang.

Dari total 30 korban tewas, 22 di antaranya adalah warga pendatang yang antara lain berprofesi sebagai pengemudi ojek, karyawan toko dan restoran. Mereka meninggal dunia umumnya akibat luka bacokan, luka bakar, hingga terkena anak panah.

Salah seorang warga pendatang asal Sulawesi Selatan di Wamena, Akas (50 tahun), yang kini mengungsi bersama keluarganya di halaman Polres Jayapura mengatakan warga meminta dievakuasi ke Jayapura karena sangat trauma dan masih khawatir kerusuhan akan kembali terjadi.

“Saya lihat teman-teman pengungsi mau keluar dari Wamena bersama keluarganya, tapi karena mungkin tak ada uang mereka menunggu pesawat yang gratis, sementara pesawat yang gratis itu berjubel orang antri,” kata Akas kepada jurnalis ABC Indonesia Iffah Nur Arifah.

“Pesawat TNI AURI itu cuma sampai di Jayapura, padahal mereka ada yang mau ke Sulawesi, Jawa, Sumatera, Medan. Jadi sebenarnya mereka setelah di Jayapura bingung juga, butuh bantuan untuk bisa pulang ke daerahnya,” tambahnya.

“Jadi kita tak menyangka akan seperti ini kejadiannya dan memang trauma karena waktu itu orang sedang aktivitas di toko pagi-pagi jam 8, kita tiba-tiba didatangi, diserang, jadi bingung kita mau bikin apa,” jelas Akas.

“Mereka melempar, merusak semua bangunan, mereka bawa bensin, habis semua dibakar,” tuturnya.

Data terakhir yang dirilis Mabes Polri pada Minggu (29/9/2019) menyebutkan total warga yang sudah dievakuasi oleh TNI/Polri ke kota Jayapura mencapai 3.213 orang.

Sebanyak 543 orang di antaranya masih berada di tempat pengungsian di kota tersebut.

Sementara sebanyak 40 pengungsi kerusuhan Wamena asal Jawa Timur dilaporkan telah tiba di Surabaya pada Minggu (29/9/2019).

Mereka tiba di Surabaya dengan diangkut Pesawat Hercules milik TNI yang mendarat di Semarang.

Setibanya di sana, para pengungsi diangkut ke Surabaya menggunakan bus. Mereka berasal dari beberapa daerah di Jawa Timur. Antara lain, Lumajang, Mojokerto, Sampang dan Surabaya.

Situs SuaraJatim melaporkan para pengungsi menangis dan bersyukur berhasil selamat dari aksi pembantaian terhadap warga pendatang di Wamena.

Hasanudin, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pangkas rambut di Kota Wamena menuturkan dirinya berhasil menyelamatkan diri dengan hanya membawa sepasang baju dan celana.

“Saya waktu itu kerja pangkas rambut di Sanagma. Saat terjadi kericuhan, saya langsung tutup dan lari ke Kodim. Kantor Bupati dibakar terakhir itu. Nggak semua kebakar, uang ada sedikit kebakar tinggal baju dan celana,” tuturnya.

“Semua telantar di sana, ada sisanya masih ada dari situ naik pesawat Hercules nyampai ke Timika transit ke Biak baru ke Makassar dan turun di Semarang,” tuturnya.

Sejumlah pemerintah daerah yang warganya turut mengungsi juga ada yang mengunjungi Papua untuk mengecek langsung kondisi warganya.

Seperti dilakukan Wakil Gubernur Sumatera Barat (Wagub Sumbar) Nasrul Abit yang tiba di Jayapura, Minggu (29/9/2019) untuk menjumpai perantau Minang di kota itu.

Seperti diketahui 9 orang perantau Minang meninggal dalam kerusuhan di Wamena.

“Ini bukan konflik etnis. Hindari provokasi, jangan terprovokasi. Jangan sebar informasi yang menimbulkan konflik,” ujar Nasrul Abit saat menemui warganya yang mengungsi di Jayapura, Minggu (29/9/2019).

Ia juga berencana menemui sekitar 300 warga Minang yang masih tertahan di sejumlah lokasi pengungsian di Wamena.

Sementara Pemprov Sulawesi Selatan baru berencana untuk bertolak ke Papua menemui warga perantauan asal Sulsel yang mengungsi akibat konflik dan kekerasan di sana.

Tidak incar etnis tertentu

kerusuhan di Wamena
Trauma dan khawatir kembali terjadi kerusuhan, sedikitnya 6.000 orang warga yang mayoritas pendatang meminta dievakuasi ke Jayapura.

Kabar Papua

Sementara itu Polri menepis isu pelaku kerusuhan di Wamena mengincar warga pendatang. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen M Iqbal dalam keterangannya hari Minggu (29/9/2019) mengatakan pelaku kerusuhan di Wamena bukanlah warga asli.

“Pelaku pembakaran bukan penduduk asli Wamena (orang Lembah Baliem). Mereka justru banyak membantu memberi perlindungan kepada para pendatang dengan mengamankan di rumah warga maupun gereja,” paparnya.

M. Iqbal menambahkan kepala suku Lembah Baliem (Wamena) Agus Hubi Lapago secara khusus meminta para pendatang untuk tidak mengungsi karena sangat yakin masyarakat asli Wamena sangat mencintai warga pendatang

“Karena mereka yakin para perusuh adalah kelompok di luar Wamena,” ujarnya.

M. Iqbal juga meluruskan, bahwa sasaran kekerasan pada kerusuhan sepekan lalu itu tidak hanya ditujukan kepada etnis tertentu saja yang tinggal disana.

“Pelaku mencari korban tidak ditujukan ke etnis tertentu, tapi membabi-buta,” ucapnya.

Akas, warga pendatang asal Sulawesi Selatan yang saat ini tengah mengungsi di Polres Jayapura, juga menuturkan selama tinggal di Wamena selama 50 tahun dia memastikan tidak ada gesekan sosial antara warga Papua dan non Papua.

“Secara umum pendatang tidak pernah buat apa-apa di sini. Kita tidak pernah buat reaksi karena kalau kita bereaksi katakanlah membunuh itu kita kena denda adat bayar sekian ratus juta. Jadi kita menahan diri, TNI/Polisi saja kalau membunuh harus bayar denda, apalagi kita masyarakat biasa bayar ratusan juta dapat uang dari mana,” ujarnya.

“Jadi tidak ada gesekan, kita baik hidup bersama, ini murni hanya kerusuhan kemarin saja,” tegasnya.

Warga masih trauma

Kerusuhan di Wamena
Kerusuhan di kota Wamena pada Senin (23/9/2019) menewaskan 30 orang dan ratusan rumah dan bangunan terbakar.

Antara

Mabes Polri menyatakan situasi di Wamena saat ini sudah kembali kondusif. Sambil terus berusaha melakukan evakuasi warga, TNI/ Polri memastikan keamanan warga di Wamena.

“TNI-Polri menjamin keamanan di Wamena, tidak benar jika saat ini kondisi di Wamena tidak terkendali. Situasi kondisi Wamena pascainsiden, besoknya forkompimda, tokoh-tokoh agama,tokoh masyarakat. Kepala suku dan tokoh terkait lainnya sudah beberapa kali melakukan dialog-dialog degan tujuan untuk bersama menjaga Wamena dan sekitarnya terus aman,” jelas Iqbal.

Akas juga membenarkan situasi di kota itu memang mulai berangsur pulih. Namun menurutnya pada umumnya warga masih belum berani kembali ke rumah-rumah mereka dan memilih bertahan di pengungsian.

Apalagi layanan listrik di sejumlah wilayah di Wamena belum pulih sepenuhnya.

“Situasi siang hari mulai ada perubahan sedikit, pengungsi yang rumahnya dekat dari pengungsian sudah mulai kembali ke rumahnya, apa untuk masak atau istirahat tapi kalau sore mereka mulai datang lagi. Secara umum warga masih takut, masih siaga ada kerusuhan lagi jadi mereka masih memilih di pengungsian,” ungkapnya.

Akas yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri ini mengungsi bersama isteri dan anak-anaknya ke halaman Polres Jayapura sejak kerusuhan pecah di Wamena pada Senin (23/9/2019) pagi.

Rumah dan tempat usahanya menjadi sasaran pelemparan saat kerusuhan terjadi. Dikatakannya warga yang bertahan di pengungsian juga sangat membutuhkan bantuan.

“Di sini ‘kan daerahnya dingin sekali, kita di sini tidur di lantai beralas kardus, hanya tikar tipis, tidak ada kasur. Jadi pengungsi kalau malam kedinginan, banyak dari mereka khususnya anak-anak yang mulai sakit karena masuk angin, sementara jumlah toilet terbatas,” ungkapnya.

Menghadapi kondisinya saat ini, Akas hanya bisa berharap kondisi keamanan segera pulih sehingga dia dan anaknya bisa kembali ke rumahnya dan beraktivitas kembali seperti biasa di Wamena.

Tidak seperti kebanyakan warga pendatang, pria yang berasal dari Sulawesi Selatan ini memilih tetap bertahan di kota Wamena yang sudah ditinggalinya selama lebih dari 50 tahun.

“Saya tetap bertahan di sini karena memang lebih pas di sini. Apapun yang terjadi saya akan tetap di sini, anak dan keluarga juga belum saya pindahkan,” ujar Akas.

“Kalau kita mengungsi banyak hal yang muncul, seperti berpisah sama anak dan keluarga. Jadi saya putuskan di sini saja. Kami tidak akan keluar dari Wamena,” tegasnya.

Polisi telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus kerusuhan ini. Ketiganya berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN), guru dan mahasiswa, tertangkap saat hendak membakar bangunan.

Simak berita-berita lainnya dariĀ ABC Indonesia