ABC

Kabar Mantan Pebulutangkis Indonesia: Jadi Komentator Sampai Pensiun di Perth

Masa puncak kebanyakan atlet adalah antara usia 20 sampai 30 tahunan dan setelah itu mereka masih memiliki waktu untuk melanjutkan “karir kedua” dalam kehidupan mereka.

ABC Indonesia berbicara dengan tiga mantan atlet bulutangkis Indonesia, yaitu Yuni Kartika, Lilik Sudarwai dan Elizabeth Latif yang melakukan tiga hal yang sangat berbeda, setelah berhenti bermain bulutangkis.

Bagi para pecinta bulutangkis Indonesia dan juga penonton televisi, Yuni Kartika mungkin tidak asing lagi karena walau sudah berhenti, perempuan asal Pekalongan ini tetap melakukan sesuatu berhubungan dengan bulutangkis.

Yuni menekuni karir di dunia penyiaran, mulai dari menjadi reporter olahraga sampai sekarang menjadi penyiar atau komentator terutama di pertandingan bulutangkis baik di tingkat lokal maupun internasional.

yunihuanghua_abc_200511
Yuni Kartika (berdiri) kalah dari pemain China Huang Hua (tengah) di kejuaraan Malaysia Terbuka di tahun 1992.

Foto: Afri Yanto/Facebook

Menurutnya, dia memang dari awal sudah merencanakan untuk berkiprah di bidang penyiaran televisi setelah pensiun dari bermain bulutangkis.

“Harapannya bulutangkis bisa lebih terkomunikasikan dengan baik di masyarakat dan membuat bulutangkis lebih populer lagi di Indonesia,” kata Yuni dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya, hari Rabu (4/11).

Setahun setelah berhenti bermain bulutangkis, di tahun 1997 ia sudah mulai terlibat di dunia penyiaran dan pekerjaan pertamanya di TVRI sampai sekarang masih merupakan pengalaman yang paling berarti baginya.

“Yang paling saya ingat di zaman awal-awal siaran di TVRI acara Dunia Dalam Berita,” kata juara dunia tunggal putri yunior di tahun 1991 tersebut.

“Bisa siaran bareng dengan penyiar-penyiar senior TVRI dan acara itu kan juga termasuk acara prime time pada saat itu.”

Berbicara mengenai perbedaan menjadi pemain di lapangan dengan sekarang mengomentari pertandingan bulutangkis, Yuni mengatakan dua hal itu sama-sama memiliki tantangan tersendiri.

“Ini adalah dua yang sangat berbeda, yang satu lebih banyak mengunakan fisik, dan yang satu mengunakan skill berbicara dan komunikasi.”

“Kedua-duanya sama-sama menakutkan, kalau kita tidak punya persiapan yang cukup.”

Dalam karirnya sebagai pemain bulutangkis, Yuni mengatakan prestasi yang paling dibanggakan adalah ketika menjadi bagian dari tim Indonesia yang merebut Piala Uber di tahun 1994 dan menjadi runner up di turnamen Malaysia Terbuka di tahun 1992 dikalahkan pemain China Huang Hua.

Menanggapi bibit-bibit bulutangkis di Indonesia saat ini, Yuni memiliki penilaiannya sendiri.

“Antusias anak-anak cukup baik ya, karena mereka kan selalu punya idola seperti Kevin Gideon, misalnya, jadi mereka selalu terpicu untuk bermain bulutangkis,” kata perempuan yang sekarang berusia 47 tahun tersebut.

“Hanya kalau bicara pemain putri memang agak susah. Jumlahnya yang berminat 30 berbanding 70 dibandingkan dengan pemain putra.”

Lilik Sudarwati baru menyelesaikan pendidikan di Lemhanas

Lilik Sudarwati ketika tampil dalam salah satu pertandingan internasional mewakili Indonesia.
Lilik Sudarwati ketika tampil dalam salah satu pertandingan internasional mewakili Indonesia.

Foto: Supplied

Kalau Yuni Kartika lahir tahun 1973, Lilik Sudarwati terpaut tiga tahun lebih awal, yakni dilakhirkan tahun 1970 di Gresik, Jawa Timur.

Lilik berhenti bermain bulutangkis di tahun 1992, setelah tidak terpilih untuk mewakili Indonesia di nomor tunggal putri Olimpiade Barcelona, saat bulutangkis dipertandingkan pertama kalinya di olimpiade.

“Dalam hidup kita harus menentukan pilihan, ketika saya tidak terpilih dalam tim Olimpiade Barcelona, saya memutuskan untuk keluar dari Pelatnas bulan Desember 1992,” kata Lilik kepada ABC Indonesia.

“Bulan Januari 1993 saya terbang ke Amerika Serikat untuk sekolah dan pernah di Community College selama dua tahun antara 1993-1995.”

Sekembalinya ke Indonesia, Lilik kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Psikologi, dilanjutkan hingga jenjang S2 dan S3 di bidang Hukum di Universitas Trisakti Jakarta.

Sekarang dia banyak berkecimpung di dunia pendidikan, layanan sosial dan organisasi keolahragaan seperti KONI.

Lilik sekarang menjabat Kepala Bidang Sport Science dan Penerapan Iptek KONI Pusat sejak tahun 2011.

“Selain di KONI, saya juga dosen dan baru saja saya terpilih sebagai Komisioner di BSANK (Badan Standarisasi Akreditasi Nasional Keolahragaan),” katanya.

Pekan lalu, Lilik Sudarwati juga baru menyelesaikan Pendidikan Kepemimpinan Nasional selama 7,5 bulan di Lemhannas.

Lilik Sudarwati baru saja menyelesaikan pendidikan di Lemhanas tahun 2020.
Lilik Sudarwati baru saja menyelesaikan pendidikan di Lemhanas tahun 2020.

Foto: Supplied

Jadi sekarang apa yang dilihatnya sebagai permasalahan besar dalam pembinaan olahraga di Indonesia?

“Ini sangat kuat juga terjadi di olahraga.” katanya.

Lebih lanjut Lilik mengatakan menciptakan seorang juara di bidang olahraga sebenarnya tidaklah terlalu sulit.

“Yang sulit itu berkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh komponen sehingga lebih efektif dan efisien dalam membina atlet,” katanya.

“Jika pembinaan berjalan seperti ini sulit bagi Indonesia untuk menciptakan juara-juara tingkat dunia.”

“Dan juga sport science adalah hal yang mutlak.”

Lilik Sudarwati juga mendesak agar pemerintah memberikan komitmen penuh untuk membina olahraga.

“Contohnya kalau dananya tidak banyak, kita fokus cabang olahraga individual, kirim atlet kita berlatih di luar negeri selama beberapa tahun.

“Karena menunggu dilatih di Indonesia tidak akan sampai-sampai prestasinya.”

“Banyak sekali bibit-bibit bagus di Indonesia namun ketika beranjak dewasa hilang karena iklim latihan dan sparing partner kurang,” ujar Lilik, yang juga mengatakan ketertinggalan Indonesia adalah di bidang ‘sport science’.

Elizabeth Latif menetap di Perth

Elizabeth Latif sekarang menetap di Perth (Australia Barat) sejak tahun 2014.
Elizabeth Latif sekarang menetap di Perth (Australia Barat) sejak tahun 2014.

Foto: Theresia Guntoro

Elizabeth Latif pensiun dari bulutangkis di tahun 1988, setahun setelah dia menjuarai turnamen Konika Cup di Singapura mengalahkan pemain China Gu Jiaming 1-11, 11-6, 11-6.

“Ini turnamen yang paling mengesankan bagi saya, karena di semifinal saya mengalahkan pemain China lainnya, Han Aiping,” kata Elizabeth Latif kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

Han Aiping bersama dengan Li Lingwei adalah dua pemain tunggal putri terbaik China dan juga dunia saat itu.

Setelah turnamen tersebut, Itje panggilan Elizabeth mengalami cedera dan bermaksud mengundurkan diri, namun diminta untuk bertahan selama setahun oleh pelatih tunggal putri saat itu, Minarni Sudaryanto.

Setelah berhenti bermain di usia 25 tahun, Elizabeth kemudian terjun di bidang periklanan bersama kakaknya di Jakarta dan juga belakangan memiliki bisnis pijat bersama mantan pemain Indonesia lainnnya, Susy Susanti.

Setelah kerusuhan di tahun 1998, Elizabeth dan keluarganya memutuskan untuk mendapatkan status Permanent Resident atau Penduduk tetap di Perth, ibukota Australia Barat.

“Di tahun 2001 saya melahirkan anak saya di Perth dan kemudian bolak balik Perth-Jakarta,” katanya lagi.

“Baru benar-benar pindah di tahun 2014 karena anak saya mau melanjutkan pendidikan di sini.”

Sejak berhenti bermain bulutangkis, Elizabeth banyak menghabiskan kegiatan olahraganya dengan bermain golf dan sekarang di Perth banyak terlibat kegiatan sosial di gereja.

“Sejak berhenti bulutangkis, saya gila main golf. Di Perth ada yang minta saya jadi pelatih bulutangkis namun saya tidak mau,” kata perempuan kelahiran tahun 1963 tersebut.

Elizabeth mengaku jika sekarang ia sudah merasa betah tinggal di Perth.

“Di sini udara bersih, semua teratur, tidak macet, urus apa-apa jelas.

“Kesehatan terjamin dan dokter-dokter di sini sangat manusiawi dalam menangani pasien, bukan untuk mengeruk uang pasien,” kata Elizabeth mengenai keputusannya untuk tinggal di Perth.