ABC

Jumlah Kasus Pencemaran Nama Baik di Medsos Makin Banyak

Jumlah kasus pencemaran nama baik di media sosial tengah meningkat di saat situs seperti Twitter dan Facebook mengubah siapa saja- yang memiliki koneksi internet -menjadi penerbit.

Firma hukum ‘Slater and Gordon’ memperkirakan, hampir setengah dari berkas yang mereka terima tahun lalu berhubungan dengan materi yang diunggah di media sosial.

Pengacara spesialis pencemaran nama baik di ‘Slater and Gordon’, Jeremy Zimet, memperingatkan agar masyarakat harus berpikir sebelum mereka mengunggah sesuatu di media sosial – atau menghadapi tuduhan yang serius.

"Hampir setengah dari kasus pencemaran nama baik yang diterima oleh Slater and Gordon pada tahun keuangan terakhir, berkaitan dengan materi yang diunggah di media sosial," katanya.

Potensi kerusakan lebih tinggi karena orang-orang sekarang memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak orang
Potensi kerusakan lebih tinggi karena orang-orang sekarang memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak orang

Ia menjelaskan, "Dari sejumlah laporan itu, hampir 43% terkait dengan posting di Facebook, dan sisanya berkaitan dengan Twitter, Instagram atau publikasi internet secara umum."

Sebuah status di Twitter yang diunggah pada (24/8) malam dan disiarkan di TV ABC tengah menjadi perdebatan di Australia. Status tersebut berisi kata-kata vulgar yang merujuk pada Perdana Menteri.

Jeremy mengakui, hal itu adalah wilayah abu-abu, namun percaya hal itu memiliki potensi untuk menjadi fitnah.

"Dalam contoh khusus itu, saya pikir itu lebih kasar atau vulgar, bukannya pencemaran nama baik atau mungkin bisa dibaca sebagai fitnah," ujarnya.

Ia menyambung, "Meski demikian, mungkin saja si penerbit ulang, seperti ABC, harus bertanggung jawab dalam kaitannya dengan publikasi itu."

Jangkauan semakin besar, resiko semakin besar

Pengacara dan dosen RMIT, Dr Mark Williams, mengatakan, perubahan kunci dalam kasus pencemaran nama baik selama 20 tahun terakhir, telah menjadi potensi bagi status online untuk mewabah.

"Anda selalu bisa melakukan pencemaran nama baik, seperti layaknya seseorang mengirimkan surat ke pihak ketiga. Hanya saja, sekarang jangkauannya mendunia, sementara pola pikir dari banyak orang masih cukup lokal dan pribadi," kemukanya.

Ia berpendapat, potensi kerusakan lebih tinggi karena orang-orang sekarang memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak orang.

"Kami memiliki kasus yang sangat awal pada tahun 1991 yang melibatkan Universitas Australia Barat dan dua staf mereka yang saling mengatakan beberapa hal buruk antara satu sama lain di blog," kata Dr Mark.

Ia lantas menjelaskan, "Dan pengadilan, dalam kasus itu, mengatakan, karena hanya ada 400 orang di seluruh dunia yang memiliki minat dan hal itu paling berpengaruh terhadap karir satu sama lain, pencemaran nama baik itu dinilai sangat serius, meskipun hanya menjadi perhatian 400 orang."

Dr Mark mengatakan, orang-orang yang men-tweet atau mengunggah pernyataan fitnah, sekarang, menghadapi banyak resiko yang sama seperti penerbit besar.

"Anda tak harus melakukan atau mengatakan hal-hal yang Anda tak ingin katakan, [atau] bahwa Anda tak ingin tercetak di halaman depan harian utama," sebutnya.

"Mungkin ini lebih serius karena dalam banyak kasus media sosial, itu akan langsung mengarah ke kelompok yang memiliki kepentingan dalam hal tertentu, dan hal lain tentu saja tetap dicari dan sangat sulit untuk dihapus," sambungnya.

Kasus pencemaran nama baik yang terjadi baru-baru ini antara Menteri Keuangan Australia, Joe Hockey, dan media Fairfax muncul dari beberapa materi iklan dan dua posting di Twitter.

Kasus ini akhirnya berujung denda 200.000 dolar (atau setara Rp 2 miliar).

Jeremy Zimet memprediksi, kita bisa melihat lebih banyak kasus seperti ini di masa depan.

"Ini benar-benar tergantung pada jenis publikasi dan forum-nya. Jelas sudah, publikasi dengan pernyataan yang sangat serius, atau tuduhan yang sangat serius, dikombinasikan dengan target pembaca yang besar, akan mengundang bentuk kerusakan yang lebih tinggi," kemukanya.