Jumlah Anak Australia Tak Mau ke Sekolah Meningkat Pesat Sejak ‘Lockdown’
Selama tiga tahun terakhir, anak bungsu Kath Mackay terus-menerus menolak untuk pergi ke sekolah.
“Waktu lagi tidak mau sekali, dia bisa bersembunyi di bawah selimut, menangis hingga gemetar, [dan terus] menolak untuk sekolah,” katanya.
“Ketika masih sekolah, dia punya masalah perilaku sampai kami diminta menjemputnya.”
Kath telah berkonsultasi dengan beberapa psikolog, dokter anak, dan pakar lainnya untuk mengetahui mengapa anaknya sangat tidak mau sekolah.
Namun ia belum berhasil menemukan alasan yang spesifik atau diagnosa yang tepat.
“Sulit sekali,” ujar Kath.
Namun, bukan hanya anak Kath yang memiliki masalah yang sama di Australia.
Direktur Klinik ‘School Refusal’ Bayside di Victoria John Chellew mencatat banyaknya permintaan konsultasi sejak ‘lockdown’ COVID-19 di Melbourne tahun lalu.
“Menurut data statistik, antara 2 hingga 5 persen anak menolak untuk sekolah. Tahun lalu, angkanya meningkat dua kali lipat,” kata John kepada ABC.
Sarah* adalah ibu yang anaknya, berusia 14 tahun, sudah menolak sekolah sejak tahun 2019.
“Dia kelas 7 waktu itu,” ujar Sarah dalam program radio ‘Conversation Hour’ ABC Radio Melbourne.
“Seringnya, menangis yang sampai tidak mau meninggalkan tempat tidur … sampai membuat stress.”
Ia mengaku sempat merasa kesulitan untuk mencari bantuan agar anaknya mau sekolah lagi.
Apa sebutan untuk kondisi seperti ini?
Kondisi yang dialami anak-anak dalam contoh di atas dinamakan ‘school refusal’, yaitu situasi di mana anak-anak atau remaja marah ketika harus sekolah dan secara terus-menerus mengatakan mereka tidak bisa dan menolak masuk kelas.
Ini adalah masalah emosional atau perilaku, tapi bukan diagnosa psikriatik formal.
Ada banyak alasan mengapa anak-anak menolak untuk sekolah.
Di antaranya karena masalah sosial, kecemasan, gangguan spektrum autisme, atau trauma.
Yang dialami anaknya Sarah, yang tidak mau sekolah ketika kelas 7, ini biasa.
“Transisi dari SD ke SMP adalah perubahan yang besar,” kata John dari Klinik ‘School Refusal’ di Bayside.
“Kompleksitas sosial berkembang pesat di bangku SMP.”
Selain karena baru memasuki jenjang pendidikan yang baru, John juga menyebutkan perceraian orangtua atau meninggalnya kakek atau nenek, sebagai “faktor pemicu”.
“[Penolakan untuk sekolah] adalah masalah besar yang belum dikenal publik,” katanya.
Bagaimana orangtua menagani masalah ini?
John mengatakan cara penanganan anak yang menolak untuk sekolah seperti mengerjakan “tugas detektif”.
Mereka harus berusaha menemukan masalah apa yang dialami anak dan terus mengusulkan “rencana kembali ke sekolah”.
“Untuk setiap anak, ada solusi yang berbeda,” katanya.
Kepada anak yang tidak mau sekolah, John selalu berusaha untuk membuat mereka merasa sebagai seorang kapten dari timnya dan mengingatkan jika orangtua, guru, psikolog, konselor, ada untuk memberikan dukungan.
“Yang bisa menyelesaikannya adalah respon terkoordinir dan terencana. Mungkin rumit untuk bisa sampai di sana.”
Perkembangannya bisa saja lambat
Meskipun rasanya masih tidak mungkin untuk bisa membujuk anaknya sekolah dalam beberapa hari, Sarah terus berusaha mencari solusi.
“[Anak saya] sudah mulai lebih sering sekolah tahun ini,” katanya.
Keluarga Kath juga telah “mengalami banyak kemajuan” selama beberapa tahun terakhir, namun ia mengatakan masih mengalami kesulitan memenuhi syarat kehadiran kelas.
Bahkan jika sudah ada di kelas, “interaksi dalam kelas minimal sekali”.
Nama Sarah* telah diganti untuk melindungi identitas anaknya.
Diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia