ABC

Jejak Langkah Orang Indonesia di Victoria

Sebuah buku baru yang berisi sekelumit sejarah warga Indonesia yang berada di negara bagian Victoria (Australia) diluncurkan. Buku berjudul Footsteps of Indonesians in Victoria (Jejak Langkah Orang Indonesia di Victoria) berisi cerita dari 57 orang dan buku ini dibuat oleh Ikawiria (Ikatan Warga Indonesia di Victoria).

Buku setebal 512 halaman tersebut pada awalnya dibuat untuk memperingati 50 tahun keberadaan Ikawiria di bulan Desember 2015, namun karena berbagai kendala teknis baru bisa resmi diterbitkan dan diluncurkan hari Minggu (10/7/2016) di Melbourne.
Gagasan membuat buku tersebut datang dari Ketua Ikawiria sejak tahun 2011, Iman Santosa, yang sudah lama ingin agar sejarah kedatangan warga Indonesia di negara bagian Victoria didokumentasikan.

“Secara keseluruhan, proyek ini berjalan sekitar satu setengah tahun, dari usulan untuk mengumpulkan siapa saja yang mau menulis cerita kehidupan mereka, sampai jadi buku.” kata Iman Santosa dalam percakapan dengan wartawan ABC Australia Plus Indonesia, L.Sastra Wijaya hari Sabtu (16/7/2017).

Menurut Iman Santosa, ada banyak cerita mengenai warga Indonesia sejak Ikawiria didirikan di tahun 1965 ketika hanya beberapa orang saja asal Indonesia yang tinggal di Melbourne dan sekitarnya. “Oleh karena itu untuk merayakan ulang tahun ke-50 Ikawiria bulan Desember lalu, saya mengusulkan untuk membuat sebuah buku.” tambah Iman Santosa.

Keunikan dari buku ini adalah setiap tulisan diterbitkan dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia, dengan editornya adalah Yuty Gunawan dan Iip Yahya.

“Sebagian menulis dalam bahasa Indonesia, dan kemudian kami terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga dengan sebaliknya.” kata Iman Santosa. “Buku ini tidak berisi cerita dari orang Indonesia saja, namun juga warga Australia yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Indonesia.” tambahnya.

Peluncuran Buku Footsteps of indonesian in Victoria
Konjen RI untuk Victoria Dewi Savitri Wahab (depan duduk tiga dari kiri) menghadiri peluncuran buku Jejak Langkah Orang Indonesia di Victoria.

Foto: Istimewa

Pembagian kategori dalam buku ini adalah berdasarkan tahun kedatangan warga Indonesia di Australia, dengan cerita dari tahun 1960-1970 terdapat 18 cerita dan di dari tahun 1970-1980 diisi oleh cerita dari 13 orang.

Kesulitan teknis yang dialami Iman Santosa dalam mewujudkan buku ini adalah bahwa tidak semua orang yang dihubungi bersedia menuliskan cerita kehidupan mereka. “Juga saya meminta pada awalnya untuk menulis enam halaman, namun ada yang bilang ‘wah saya tidak akan bisa menulis sepanjang itu. Kemudian saya menentukan dua halaman saja juga sudah cukup.” katanya lagi.

Iman juga mengatakan bahwa pada akhirnya tidak semua yang mereka hubungi akhirnya mengirimkan tulisan mereka.

“Dari sekitar 70-an nama yang kami hubungi, akhirnya ada 57 nama yang mengisi buku.”

Diantara mereka yang menulis di buku tersebut adalah beberapa wartawan antara lain Nuim Khaiyath, penyiar Radio Australia yang pernah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi telinga pendengar radio di Indonesia selama lebih dari 40 tahun. Nuim Khaiyath menyumbangkan tulisan berjudul “Ketika Indonesia Laksana Buah Hati Pengarang Jantung”. Selain Nuim, nama lain seperti Dewi Anggraini (dosen dan wartawan Tempo), dan Auskar Surbakti (penyiar televisi ABC) juga menyumbangkan tulisan.

Konjen RI untuk Victoria dan Tasmania Dewi Savitri Wahab juga menyumbangkan tulisan, dengan judul “Melbourne, Rumah Kedua Kami” menceritakan pengalaman Dewi Wahab ketika melanjutkan pendidikan S2 di Monash University di tahun 1990-an, dan kemudian kembali lagi ke Melbourne untuk menjadi Konjen sejak tahun 2014 sampai sekarang.

Beberapa nama lain yang mungkin dikenal dengan baik di Indonesia adalah Prof Arief Budiman dan istrinya Leila Ch Budiman, dan Prof Sangkot Marzuki.

Nama lain dari kalangan akademisi antara lain Yacinta Kurniasih, Dr Mulyoto Pangestu, Dr Nasyah Bahfen dosen di Universitas Monash di Melbourne.

Warga Australia yang memiliki hubungan dengan Indonesia yang masuk dalam buku ini adalah Joe Isaac, Hugh O’Neill, David Mitchell, Barbara Hatley, Rhyll Rivett, Margaret Kartomi, Helen Pausacker, Kevin Hartshorne, dan Scott Merrillees.

Menutup keterangannya kepada wartawan ABC Australia Plus Indonesia L. Sastra Wijaya, Iman Santosa menceritakan peristiwa sedih berkenaan dengan penerbitan buku ini.

“Ketua Ikawiria yang pertama adalah Supomo Suryohudoyo yang tinggal di Canberra. Beliau menjadi Ketua ketika Ikawiria ini berdiri pertama kali tahun 1965 namun kemudian pindah bekerja di Canberra dan pensiun di sana. Karena sudah sepuh, untuk buku ini kami mewawancarai beliau dan menuliskan pengalamannya.” kata Iman.

“Nah ketika akan diluncurkan, saya mengirim email kepada beliau mengenai buku tersebut. Sehari kemudian saya mendengar bahwa beliau meninggal. Saya tidak tahu apakah beliau sudah membaca email saya.” kata Iman Santosa.

Semua biaya pembuatan buku ini berasal dari kantong pribadi, dan untuk sementara buku ini dijual di kalangan terbatas, dengan penerbitan awal sebanyak 200 buku, dan dijual dengan harga $ 30 (sekitar Rp 300 ribu).

“Kami akan menyerahkan buku ini kepada beberapa perpustakaan penting di Australia seperti National Library di Canberra, dan Melbourne, dan juga ke KBRI di Canberra.” kata Iman lagi.