Jangan Remehkan Kesehatan Mental Pelajar Indonesia di Australia
Kesehatan mental perlu ditangani lebih menyeluruh bagi pelajar dan mahasiswa Indonesia saat menimba ilmu di Australia, ujar seorang akademis dan aktivis asal Indonesia di Australia.
Yacinta Kurniasih, Akademis Kajian Indonesia di Monash University mengatakan pelayanan untuk mahasiswa internasional saat ini sudah dilengkapi dengan bantuan psikologi, tapi masih ada yang perlu ditingkatkan.
“Pelayanan di universitas-universitas sudah menjadi lebih baik, tapi mereka harus lebih sadar adanya perbedaan bahasa dan budaya bagi pelajar internasional, termasuk Indonesia,” ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
“Sementara komunitas pelajar Indonesia, seperti PPIA perlu menyuarakan masalah kesehatan mental ini, dan pemerintah Australia harus bisa mengakui bahwa organisasi seperti ini memiliki peranan penting.”
Punya masalah dianggap memalukan
Yacinta yang sudah mengajar bahasa dan budaya Indonesia di Australia selama hampir 20 tahun mengatakan tentu ada mahasiswa Indonesia yang pernah mengalami kondisi terkait mental selama studi.
Mulai dari culture shock akibat perbedaan budaya diantara kedua negara, atau kegelisahan yang dikenal dengan istilah anxiety, hingga perbedaan dalam kultur belajar dan bekerja.
“Mereka kurang mengetahui kalau sakit harus kemana, padahal dari masalah bahasa hingga akomodasi pun sebenarnya bisa dibantu.”
Bayu Pratama adalah salah satu warga Indonesia di Melbourne yang pernah ketagihan berjudi, setelah ia pertama kali mencobanya di usia 17 tahun.
Meski ia mengaku awalnya hanya ingin coba-coba berjudi, sampai akhirnya menemukan kesenangan, Bayu menyadari berjudi juga menjadi salah satu pelariannya dari tekanan saat ia kuliah.
“Ada beban bagi saya untuk beradaptasi dengan budaya Australia dan diterima dengan masyarakat, sehingga saya mencoba hal-hal baru,” kata Bayu.
Tapi saat itu ia merasa judi bukanlah masalah, sehingga tidak membutuhkan bantuan. Jika ingin bercerita pun, ia hanya menceritakan pada teman-temannya, yang tidak bisa banyak membantu.
“Universitas memiliki pelayanan yang baik, informasi yang spesifik, tapi kita datang dari budaya lain,” ujarnya.
“Seperti berjudi misalnya, dianggap memalukan bagi keluarga, agama, dan budaya.”
Beruntung setelah tiga tahun terjerat dalam perjudian, Bayu bisa keluar dan sekarang mencoba meningkatkan kesadaran soal perilaku anak muda terkait kesehatan mental.
Kini ia aktif untuk mempromosikan footy, sepakbola gaya Australia, sebagai sport officer bersama Australia Indonesia Youth Association.
Harus tinggalkan rasa sungkan
Menurut Yacinta kebanyakan warga Indonesia terbiasa dengan rasa sungkan, karenanya saat memiliki masalah atau kekhawatiran tidak mau menceritakannya.
“Rasa sungkan ini harus dihapus jika sudah menyangkut pikiran dan kesehatan mental,” ujarnya.
“Ada baiknya kita membicarakannya dan tidak perlu khawatir atau takut untuk meminta bantuan karena hal ini dianggap lumrah di Australia.”
Satu hal yang menurut Yacinta yang perlu disyukuri dari budaya Indonesia adalah rasa persaudaraan diantara sesama komunitas Indonesia.
“Mereka bisa bersama-sama ikut arisan, makan-makan, atau pengajian, sehingga ini bisa menjadi obat,” tambahnya.
Anak muda perlu dukung satu sama lain
Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh tanggal 10 Oktober, tahun ini mengangkat tema kesehatan mental di kalangan anak-anak muda.
Dari pengalamannya, Bayu merasa anak-anak muda perlu menyadari bahwa merasa kurang enak atau ada pikiran adalah hal yang biasa.
Karenanya ia mengajak anak-anak muda untuk saling bercerita jika ada masalah.
Saling menerima dan kolaborasi diantara sesama anak muda sangatlah dibutuhkan untuk menangani kondisi terkait kejiwaan dan pikiran, tambahnya.