ABC

Jadi Target Anti Teror di Australia, Junaid Thorne Anggap Sudah Takdir

Tak lebih dari empat tahun lalu Junaid Thorne, anak muda asal Noongar, Australia Barat, magang di sebuah agen properti global di Arab Saudi dan merencanakan karir sebagai penasihat investasi di pusat keuangan Timur Tengah, Riyadh.

Pria berusia 27 tahun kelahiran Kota Perth itu kini percaya sudah takdirnya untuk menjadi penceramah radikal agama Islam yang dicurigai petugas anti-terorisme Australia sebagai pemimpin sel terorisme di pinggiran Kota Sydney.

“Ini bukan tujuan saya, bukan sesuatu yang saya upayakan,” kata Thorne dalam wawancara yang ditayangkan Program 7.30 ABC, Selasa (8/11/2016) malam.

“Sebagai Muslim kami percaya kehidupan kita telah ditentukan, kami percaya pada apa yang disebut takdir dan ini sesuatu yang Allah telah tuliskan untukku dan saya menerimanya,” ujar dia.

Meskipun Thorne lahir di Perth namun dia dibesarkan di Arab Saudi. Di sana, saudaranya ditangkap atas tuduhan terorisme pada tahun 2011.

Pada tahun 2013, Thorne secara terbuka menuntut pembebasan saudaranya dan sempat dipenjara sebelum dideportasi ke Australia, menghentikan kuliahnya di bidang keuangan.

Sejak itu, dia mendapatkan pengikut di kalangan ekstremis muda dengan menyebarkan khotbah bernada kebencian di seluruh Australia dan membuat postingan online yang ISIS.

Kamis pekan lalu, rumah Thorne digerebek polisi dan dua orang ditetapkan tersangka pelanggaran keterlibatan dalam konflik di negara lain (foreign incursion) saat tim anti teror gabungan New South Wales menggeledah enam rumah di Sydney terkait jaringan terorisme.

Polisi percaya jaringan itu coba mencari senjata dan menetapkan larangan kepemilikan senjata api buat Thorne dan rekan-rekannya, sehingga memungkinkan petugas menggeledah rumah mereka tanpa surat perintah.

‘Kami tak punya tempat di Australia’

Pejabat senior kontra-terorisme kepada 7.30 ABC menjelaskan pihaknya percaya Thorne adalah pemimpin jaringan terorisme dan sedang menyelidiki apakah Thorne berada di balik rencana dua remaja bulan lalu yang diduga akan melaksanakan pembunuhan ala ISIS di Sydney.

Thorne terancam hukuman seumur hidup jika dia didakwa dan terbukti merencanakan serangan tersebut. Namun dia mengaku tidak punya kesetiaan untuk Australia atau aturan hukumnya.

“Baik sebagai orang Aborigin maupun sebagai seorang Muslim, kami tak punya tempat di Australia,” katanya.

“Kesetiaan saya adalah untuk imanku dan agamaku serta kepada umagt Islam,” tambahnya.

“Hanya karena saya terlahir di sini, saya tak melihat diriku wajib memiliki loyalitas kepada negara yang telah menduduki tanah air ini dengan kekerasan. Yang membunuh nenek moyangku dan memperbudak mereka serta merampas tanah dan sumber daya dari mereka. Serta yang terus terlibat dalam serangan di negara lain dan menduduki negara Muslim di luar negeri,” tuturnya.

“Saya tidak melihat diriku berkewajiban menghormati hukum yang memperlakukanku seperti budak atau sebagai musuh,” kata Thorne.

Thorne diselidiki terkait rencana teror

Thorne kini sedang diselidiki atas kaitannya dengan dua remaja 16 tahun yang ditangkap di sebuah musala di pinggiran Bankstown bulan lalu, yang diduga di tahap akhir persiapan serangan teror mereka.

Junaid Thorne
Junaid Thorne, penceramah agama Islam di Perth.

ABC

Polisi menyatakan menemukan dua bayonet, yang mereka perkirakan dibeli kedua remaja itu sekitar sejam sebelumnya di sebuah toko senjata di Bankstown, dan tulisan tangan catatan kematian demi kekhalifahan.

Menurut surat perintah penggeledehan atas Thorne yang diperoleh 7.30 ABC, polisi sedang menyelidiki pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai penceramah ini “membantu, bersekongkol, berkonsultasi atau mewujudkan bentuk” dari rencana teror tersebut.

Thorne mengatakan kepada 7.30 ABC bahwa dia tidak melihat kedua remaja itu hari itu, namun menolak mengatakan apakah dia menghubungi mereka di hari-hari menjelang penangkapan tersebut.

Dia menantang polisi untuk membuktikan tuduhan bahwa dia merupakan pemimpin dari sebuah jaringan teror.

“Jika ada bukti untuk itu, coba tunjukkan jika dapat dibuktikan,” katanya.

“Apa yang menahan mereka untuk membuktikan itu? Jika hanya tuduhan seperti yang sebelumn-sebelumnya, maka ini hanya tuduhan lain dalam daftar panjang dari tuduhan sebelumnya,” ujar Thorne.

Menurut surat perintah penggeledahan, polisi sedang mencari senjata di rumah Thorne, termasuk sabuk bunuh diri, bahan peledak, senjata, bayonet dan parang, serta dokumen yang berkaitan dengan kelompok teroris di Suriah, termasuk ISIS.

Polisi tidak menemukan senjata apapun tapi menyita laptop, ponsel dan catatan tulisan tangan dari rumah Thorne.

Thorne sebelumnya pernah dipenjara selama empat bulan untuk kasus pemesanan tiket penerbangan dari Perth ke Sydney dengan memakai nama palsu.

Namun demikian, hukuman penjara Thorne yang dia jalani di penjara paling ketat di Australia yang bernama Supermax, justru semakin meningkatkan pengaruh Thorne.

Diterbitkan Pukul 14:30 AEST 8 November 2016 dari artikel berbahasa Inggris oleh Farid M. Ibrahim.