ABC

Inspirasi Tanpa Henti Dari Atlet Berprestasi Indonesia Stephanie Handojo

Tanggal 8 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional, dan salah seorang perempuan Indonesia yang sudah berprestasi internasional adalah Stephanie Handojo, atlet down syndrome yang berprestasi di cabang renang.

Nama Stephanie Handojo sudah seringkali berkumandang di gelaran olahraga internasional, mengharumkan nama Indonesia.

Lewat cabang renang, atlet down syndrome perempuan ini memacu diri menebar inspirasi. Stephanie tak sendirian gigih mengejar prestasi, ada sosok sang ibu yang setia mendampingi.

“Halo selamat siang,” sapa Stephanie Handojo ketika ABC tiba di rumahnya di bilangan Jakarta Utara.

Mengenakan kaos olahraga merah dan berkuncir, Stephanie -atlet renang Indonesia -tampak antusias menyambut kedatangan kami.

“Lewat pintu depan aja ya,” katanya sambil tersenyum.

Atlet down syndrome 27 tahun ini kemudian membawa ABC masuk ke dalam rumahnya yang asri, yang di dalamnya penuh dengan pajangan medali.

Penghargaan-penghargaan itu adalah bentuk simbolis dari prestasi Stephanie, pengakuan dari kerja keras yang ia lakukan sejak kanak-kanak, dengan dukungan penuh dari sang ibu.

Fani, panggilan akrab Stephanie, mulai serius menekuni renang di usia 8 tahun.

“Dulu waktu Fani masih kecil, dilatih sama mama untuk mengarahkan Fani supaya bagus renangnya,” katanya sembari malu-malu.

Stephanie dan obor yang sempat ia bawa saat menjadi pembawa obor di Olimpiade London 2012.
Stephanie dan obor yang sempat ia bawa saat menjadi pembawa obor di Olimpiade London 2012.

ABC; Nurina Savitri

Sang ibu, Maria Yustina Tjandrasari, mengatakan sedari dini putrinya memang telah diperkenalkan kepada olahraga ini.

“Semula sejak Fani kecil, saya latih sendiri untuk menstimulasi motoriknya, karena gerakan mendatar sangat bagus untuk perkembangan anak down syndrome dan motorik kasarnya,” tutur Yusnita.

Namun prestasi Fani dalam cabang renang tak hanya dibentuk oleh latihan yang ia jalani. Ada peristiwa traumatis yang sempat ia lalui.

“Sebelumnya Fani pernah tenggelam waktu lomba renang sehingga trauma air. Untuk mengembalikan kepercayaan dirinya susah sekali. (Fani) muntah-muntah dan mual-mual kalau lihat air kolam,” kenang Yusnita.

Fani, dan tentu saja sang ibu, memilih untuk bangkit dan beranjak dari kejadian nahas itu.

“Butuh waktu tiga tahun dengan berganti-ganti guru, itu juga tidak ada hasilnya. Dia ada syaratnya, kalau berenang maunya line 1 atau line 8 karena maunya ujung-ujung, supaya bisa pegangan ke dinding,” cerita sang ibunda.

Yusnita lalu memutuskan untuk kembali melatih Fani seorang diri.

Kala itu, banyak orang mengira Yusnita terlalu memaksa sang putri. Tapi menurutnya, dengan cara itulah Fani mau berenang lagi.

“Pertama saya gendong kakinya melingkar di pinggang saya. Saya bilang, ‘Fani ini ada mama kamu aman’. Saya bilang kamu bisa!! akhirmya Fani berdiri.

Dari yang dangkal saya minta Fani renang ke pinggiran kolam. Sebelum sampai tembok pinggiran kolam, saya tarik menjauh lagi.”

Stephanie bersama sang ibu, Maria Yustina, di Los Angeles, AS.
Stephanie bersama sang ibu, Maria Yustina, di Los Angeles, AS.

Supplied

Lambat laun Fani kembali memupuk kepercayaan diri dan mampu mencapai jarak renang 50 meter dalam waktu 4 bulan.

Berbagai kejuaraan lokal, nasional dan internasional-pun ia ikuti, dan puncaknya di tahun 2011, Fani berhasil meraih medali emas di Special Olympics World Summer Games 2011 di Yunani.

Di ajang ini, Fani menjadi peraih medali emas pertama Indonesia untuk cabang renang.

Setahun kemudian ia didapuk menjadi pembawa obor Olimpiade London setelah melewati seleksi ketat dengan menyingkirkan 12 juta anak dari 20 negara.

Lagi-lagi Fani menginspirasi, ia menjadi satu-satunya anak berkebutuhan khusus dari 19 anak lainnya yang terpilih.

“(Senang nggak waktu terpilih?) Iya senang,” imbuhnya.

Olahraga renang telah membuka cakrawala Fani terhadap dunia.

Beratus teman baru ia dapatkan tiap kali bertanding, dan lewat cabang ini pula-lah Fani sempat mewujudkan mimpi untuk bertemu sang idola, Michael Phelps, atlet renang Amerika Serikat.

Kini, ia-pun mengembangkan sayap ke cabang olahraga lain, yakni bowling. Tahun lalu, Fani membawa pulang medali emas dan perak di Kejuaraan Bowling Asia Ten Pin Manila.

Patahkan stigma

Sebagai perempuan dengan kebutuhan khusus, Fani mengaku pernah mendapat perlakuan buruk dari rekan sebayanya. Ia sempat diremehkan dan diejek karena kondisinya.

“Waktu di sekolah umum, ada yang mengolok-olok dan bully Fani. Dengan kata-kata yang tidak sopan. Akhirnya dikasih tahu sama guru saya kalau Fani itu atlet berprestasi,” ujar atlet down syndrome yang sempat bersekolah di jurusan pariwisata ini.

Atas pengalamannya sebagai atlet down syndrome dan kegigihannya mengejar prestasi, Fani didaulat sebagai International Global Messenger atau Duta Penyampai Pesan inklusi dan respek terhadap anak-anak tunagrahita di seluruh dunia oleh organisasi Special Olympics International.

Bagi Yusnita, upayanya untuk selalu memotivasi Fani ditujukan demi kepentingan sang putri sendiri. Apalagi mengingat stigma masyarakat mengenai penyandang disabilitas.

“Harapan saya pada Fani bisa hidup senang dan mandiri secara finansial dan sukses. Bisa memberi motivasi pada teman-temannya seperti Fani. Supaya tambah banyak anak-anak down syndrome yang mandiri dan berprestasi dan akhirnya bisa merubah stigma di masyarakat.”

Stephanie saat menjadi pembawa obor Olimpiade London 2012.
Stephanie saat menjadi pembawa obor Olimpiade London 2012.

Supplied

Ikuti berita lain di situs ABC Indonesia.