ABC

Inovasi Berbasis Teknologi dari Indonesia Untuk Menangani Virus Corona

Sejumlah ilmuwan di Indonesia beserta beberapa masyarakat telah menghasilkan sejumlah penemuan berbasis teknologi untuk membantu tenaga kesehatan dalam menangani penularan virus corona.

KP Inovasi Teknologi

  • Teknologi yang digunakan tidak harus mengeluarkan uang banyak, menurut salah satu inovator
  • Robot yang diciptakan diharapkan dapat memudahkan pekerjaan tenaga medis yang berisiko
  • Sebuah aplikasi untuk memantau pergerakan diharapkan dapat digunakan secara nasional

Salah satunya adalah Dr. Syarif Hidayat, dosen STEI Institut Teknologi Bandung (ITB), yang mengaku tidak mau tinggal diam setelah menyadari kepanikan akibat COVID-19 yang melanda warga sekitarnya.

Melalui bantuan dana yang ia terima dari Masjid Salman ITB, Dr. Syarif memulai kontribusinya dengan mencoba membuat sebuah ventilator, atau alat bantu pernafasan ICU primitif.

Ia kemudian menunjukkan karyanya kepada beberapa dokter untuk mengecek efektivitasnya.

Melalui proses tersebut, Dr. Syarif menyimpulkan untuk menolong para tenaga medis dan pasien di tengah pandemi COVID-19 secara efektif, ia tidak perlu menciptakan ventilator serumit yang beredar di rumah sakit.

Dr. Syarif Hidayat
Dr.Syarif Hidayat mengatakan kini ia dikejar target untuk bisa menghasilkan ratusan ventilator dalam dua atau tiga minggu.

Supplied

“Lebih bagus kita membuat alat sederhana yang dapat dibuat secara cepat dan massal, serta dapat digunakan dokter umum dan perawat untuk mencegah memburuknya kondisi pasien,” kata Dr Syarif kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Target 600 ventilator dalam dua minggu

Setelah disempurnakan, belasan ventilator yang bernama Vent-I akhirnya didistribusikan dan kini sudah digunakan oleh beberapa rumah sakit di Bandung.

“Secara umum mereka [pihak rumah sakit] merasa terbantu dan sangat senang dengan kemungkinan, terutama di dalam jangka panjang, bahwa ternyata kita punya kemampuan untuk menyediakan alat kesehatan dengan harga yang bersaing.”

Komitmen untuk memproduksi Vent-I dari Dr. Syarif masih berlanjut dan turut didukung oleh puluhan anggota perguruan tinggi di Bandung.

Ventilator manufacturing
The process of assembling ventilator also involves volunteers.

Supplied

Dr Syarif mengatakan saat ini ada sejumlah donatur yang telah menitipkan dananya di Masjid Salman agar bisa segera diproduksi dan disebarluaskan.

“Saat ini dana yang terkumpul menyebabkan saya berhutang kira-kira 600 unit ventilator untuk segera dikirimkan,” ujarnya,

Untuk mengejar target produksi dalam dua atau tiga minggu, anggota perguruan tinggi yang sebagian besar merupakan relawan ini, juga bekerja di akhir pekan.

Robot untuk mengurangi interaksi dengan pasien

ROBOT RAISA
Robot RAISA ciptaan Tim Robot Institut Teknologi Surabaya sedang bekerja di bagian High Care Unit Rumah Sakit Universitas Airlangga, Surabaya.

Supplied

Sementara itu, di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS UNAIR), Surabaya, sudah beroperasi sebuah “robot servis untuk ‘highly infectious patient'”, yang dikendalikan dengan pengontrol jarak jauh, bernama robot RAISA.

Robot yang beroperasi di bagian ‘High Care Unit’ (HCU) merupakan hasil kerjasama antara Tim Robot Institut Teknologi Surabaya (ITS) dengan pihak RS UNAIR.

“Sampai sekarang, robot RAISA sudah dalam tugas rutin di ruang [pasien] infectious. Robot ini [berjalan] dari kamar ke kamar, membunyikan bel, kemudian pasien membuka pintu, dan mengambil makanan,” kata I Ketut Eddy Purnama, Ph.D., dekan FTEIC ITS.

Untuk memenuhi kebutuhan pihak rumah sakit di tengah pandemi COVID-19, mereka juga telah menciptakan robot lain khusus bagi pasien di ruang Intensive Care Unit (ICU), bernama robot RISA BCL.

ROBOT RAISA 2
Salah satu tujuan dari robot Raisa adalah agar mengurangi interkasi antara dokter dan perawat dan pasien yang tertular virus corona.

Komunikasi Publik ITS

“Kalau di ruang HCU, pasien masih bisa berdiri, olahraga, dan aktivitas sehari-hari. Kalau di ICU sama sekali tidak boleh bergerak karena terpasang ventilator, vital sign monitor, kateter, dan infus,” kata Ketut kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Jadi kami kembangkan versi ICU, yang dilengkapi kamera ‘surveillance’ [untuk memonitor] sebagai pengganti mata dokter dalam mengawasi pasien.”

Menurutnya, robot RISA BCL bisa menoleh ke empat sisi dan melakukan ‘zoom’ dari 10 cm hingga 5 km, sehingga dapat meringankan pekerjaan para dokter yang bertugas mengawasi pasien dan harus mengenakan APD sebelum masuk ke ruang ICU.

Robot disinfeksi dengan sinar ultraviolet

ROBOT AUMR Full
Robot ini bisa melakukan tugas disinfeksi di sebuah ruangan tanpa menggunakan cairan pembersih.

Koleksi Telkom University dan LIPI Bandung

Selain robot RAISA, terdapat juga robot karya warga Indonesia lainnya dengan fungsi yang berbeda, yaitu untuk mendisinfeksi ruangan isolasi menggunakan sinar UVC atau Ultra Violet type-C.

Robot tersebut bernama ‘Autonomous UVC Mobile Robot’ (AUMR) yang diciptakan oleh Telkom University dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bandung.

Ravindra Ditama, atau Tama, manajer teknik dari tim robot mengatakan penggunaan sinar ultraviolet dalam proses disinfeksi lebih efektif dibandingkan menggunakan cairan.

“Cara kerja [AUMR] adalah dengan memancarkan sinar UVC, sehingga DNA virus akan mati dengan tidak mereplikasi dirinya,” kata Tama kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Awalnya kami juga berpikir untuk menggunakan desinfektan cairan, tapi cairan tersebut untuk tidak tahan lama dan dapat meninggalkan bekas, seperti ketika disiram ke benda, benda itu akan berjamur.”

Sejak dua bulan lalu, tim yang beranggotakan 11 orang sudah menciptakan enam buah robot AUMR. Robot ini sudah diuji di tiga rumah sakit dan diharapkan dapat segera beroperasi.

Aplikasi memantau penyebaran virus

Inisiatif untuk menolong upaya menangani penularan virus corona juga muncul di benak Ahmad Alghozi, alumni D3 Teknik Informatika Telkom University, yang menciptakan sebuah aplikasi ponsel dengan fitur ‘tracking’, ‘tracing’, dan ‘fencing’.

Dinamakan Fightcovid19.id, aplikasi tersebut dapat diakses semua pengguna Android, khususnya mereka yang datang dari daerah terjangkit, Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan pasien positif COVID-19.

Setelah berhasil mengurangi penyebaran kasus di Bangka Belitung, aplikasi tersebut mendapatkan perhatian dari Pemerintah Pusat di Jakarta.

“Tujuh hari setelah implementasi, Provinsi Bangka Belitung melihat efektivitas dari aplikasi ini. Di awal Mei, di Kabupaten Belitung mencatat empat positif, empat sembuh, dan nol meninggal,” kata Alghozi kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Sekarang, saya sudah di Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 nasional. Rencananya, aplikasi ini akan diimplementasikan di seluruh Indonesia.”

AHMAD ALGHOZI
Sebelum mengembangkan aplikasi, Ahmad Algozi mengaku jika ia awalnya khawatir dengan kondisi kesehatan keluarganya.

Supplied

“Saya tidak mengklaim saya nasionalis, tapi memang pada kenyataannya saya tidak ingin keluarga saya terjangkit. Jadi saya ingin melakukan pencegahan, bukan penanganan.”

Tidak hanya ilmuwan yang perlu berpartisipasi

I Ketut Eddy Purnama dari Institut Teknologi Surabaya mengatakan kalangan perguruan tinggi Indonesia tidak tinggal diam di tengah pandemi virus corona dan turut berempati dengan para dokter, masyarakat, maupun pihak rumah sakit.

“Mereka berlomba-lomba berinovasi,” kata Ketut yang menyaksikan perguruan tinggi aktif mengusulkan ide-ide produk inovasi.

Sementara itu, menurut Dr. Syarif Hidayat dari STEI Institut Teknologi Bandung, tidak hanya ilmuwan yang harus aktif menolong di tengah pandemi COVID-19.

Alghozi, misalnya yang bukan seorang ilmuwan tapi ia mengaku tetap menolong melalui keahliannya di bidang teknologi dengan membuat aplikasi untuk ponsel.

“Teknologi itu tidak harus mengeluarkan uang banyak. Teknologi justru harus membantu semuanya biar bisa cepat, merata, dengan ‘logos’,” kata dia.

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia