ABC

Inilah Alasan Kondisi Pasien Corona Bisa Tiba-tiba Memburuk di Minggu Kedua

Sekitar 15 persen orang yang terinfeksi virus corona harus mendapatkan perawatan intensif di rumahsakit. Mengapa kondisi sejumlah pasien ini umumnya memburuk di minggu kedua setelah menunjukkan adanya gejala?

Seperti yang dialami seorang pasien COVID-19 di Kepahiang, Bengkulu, yang telah menjalani isolasi sejak Selasa pekan lalu (21/4).

Menurut laporan media setempat, tiga warga Desa Tebat Monok yang dinyatakan positif dan dirujuk ke RSUD Kepahiang, terdiri atas ayah, ibu dan anak.

“Ibu dan anak dalam kondisi stabil, namun sang suami atau ayah dalam perburukan kondisi gangguan pada saluran pernapasan atas,” kata Kepala Dinas Kesehatan Bengkulu, Herwan Antoni.

Para pakar menggambarkan hal ini sebagai “ambruk di minggu kedua”.

“Mereka akhirnya dirawat di rumahsakit, dan sekitar tiga hari kemudian, mereka harus masuk di unit perawatan intensif,” kata Mark Nicholls, spesialis perawatan intensif dari Australian and New Zealand Intensive Care Society

Kondisi serupa dialami Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang tadinya dikabarkan hanya mengalami gejala ringan COVID-19, hingga akhirnya dimasukkan ke ICU.

Meski kebanyakan orang yang terinfeksi COVID-19 hanya mengalami gejala ringan dan akhirnya sembuh dalam waktu satu atau dua minggu, namun tercatat ada 15 persen yang harus dirawat di rumahsakit. Lima persen di antaranya kritis.

Mungkin bukan virusnya, tapi respon imun

Para pakar medis menyebutkan dalam beberapa kasus terutama ketika kondisi pasien memburuk belakangan, penyebabnya bisa jadi bukan karena virusnya. Tapi justru karena respon tubuh terhadap virus.

Artinya, jumlah oksigen pada aliran darah Anda menurun, sehingga organ tubuh kekurangan oksigen.

Ketika sistem kekebalan tubuh mendeteksi adanya penyerang seperti SARS-CoV-2, ia memicu serangkaian respon untuk menahan dan membasmi infeksi.

Salah satunya, pelepasan protein pensinyalan kecil yang disebut sitokin, yang biasanya menyebabkan peradangan.

Dalam kebanyakan kasus, respon imun bekerja dengan cara memadamkan infeksi dan respon peradangan tidak bekerja.

Tapi terkadang sistem kekebalan tubuh secara keliru menjadi berlebihan dan tetap aktif lama setelah virus tak lagi menjadi ancaman.

Alasan mengapa kondisi menurun

Sangat sulit untuk mengetahui sejauhmana sistem imun seseorang menyebabkan kerusakan dalam kasus COVID-19.

“Sistem imun pada kebanyakan orang memiliki peran yang sangat bermanfaat,” kata Dr Julian Elliot, direktur klinis Satuan Tugas COVID-19 di Australia.

Orang yang mengalami penyakit COVID-19 yang lebih serius biasanya memiliki tanda-tanda peningkatan peradangan, terutama di paru-paru.

Pneumonia merupakan infeksi paru-paru di mana kantung udara meradang dan dapat terisi oleh cairan. Ketika penyakit berkembang, pneumonia biasanya menjadi lebih buruk.

“Pada tahap banyak peradangan di paru-paru, seringkali memiliki kadar oksigen sangat rendah, sehingga harus dibantu ventilator,” jelas Dr Elliot.

Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dari pneumonia COVID-19 yaitu kemungkinan bisa memburuk tanpa mereka sadari.

Biasanya pneumonia membuat orang merasa tidak nyaman di bagian dada atau kesulitan bernapas. Tapi sejumlah pasien COVID-19 justru tak merasakan sesak napas, bahkan ketika kadar oksigennya turun.

Artinya, dalam kasus COVID-19, meski tingkat oksigen dalam tubuh seseorang cukup rendah, ia tidak merasa terengah-engah.

Itulah yang mungkin menjelaskan mengapa sejumlah pasien dengan gejala ringan, tiba-tiba kondisinya mengalami penurunan drastis.

Obat anti peradangan

Reaksi kekebalan tubuh yang berlebihan atau Badai Sitokin membantu menjelaskan mengapa ada orang mengalami reaksi yang parah terhadap COVID-19, sedangkan yang lain relatif ringan.

Mereka yang berusia lebih tua, memiliki kondisi medis kronis atau sistem kekebalan tubuh yang terganggu, umumnya bisa mengalami lebih parah saat terinfeksi COVID-19.

“Dalam kasus-kasus orang berusia muda yang kondisinya parah, kemungkinan respon imun yang terlalu aktif sebagai penyebabnya. Tapi itu mungkin pula terjadi pada orang tua,” kata Dr Elliot.

Menurutnya, belum diketahui mengapa orang tertentu memberikan respon imun yang lebih aktif dibandingkan orang lain.

Untuk mengobati respon imun berlebihan ini, mungkin saja dokter menganjurkan obat anti-inflamasi yang secara luas menumpulkan sistem kekebalan tubuh, seperti kortikosteroid, atau memblokir sitokin tertentu.

Namun risikonya bisa terlalu menekan sistem kekebalan tubuh saat melawan infeksi.

“Itu sebabnya perlu penelitian karena perawatan ini memiliki risiko,” kata Dr Elliot.

Saat ini sudah ada ujicoba obat COVID-19 yang menyelidiki peran obat yang menekan respon imun.

Simak ulasan terkait COIVD-19 lainnya di ABC Indonesia.