ABC

Ini Cerita Warga Asal Indonesia Mengenai Situasi di Prancis dalam Sepekan Terakhir

Keadaan di Prancis dilaporkan lebih tenang setelah beberapa hari terakhir dilanda kerusuhan yang dipicu oleh kematian seorang remaja di tangan polisi.

Selama lima hari berturut-turut di berbagai kota terjadi kerusuhan dan bentrokan dengan petugas keamanan di mana polisi telah menahan ribuan orang.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) mengatakan bahwa tidak ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban dari kerusuhan di Prancis. Pihaknya juga telah memberikan sejumlah imbauan kepada WNI yang ada di sana.

"Dalam hal ini kami sudah melakukan koordinasi ke KBRI Paris dan juga KJRI Marseille, telah berkoordinasi dengan otoritas setempat dan juga dengan simpul masyarakat Indonesia. Hingga saat ini tidak ada WNI yang menjadi korban dari kerusuhan yang ada," ujar Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha saat ditemui di Gedung KPU (02/07).

Ia mengatakan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia atau KBRI Paris dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia atau KJRI Marseille selalu memantau kondisi terakhir dari situasi keamanan yang ada di Prancis.

'Iklim sosial tidak menyenangkan'

Rizal Halim sudah menetap di Paris sejak tahun 1994, sekarang bekerja di bidang pemasaran internasional di salah satu pusat perbelanjaan fesyen di kota Paris.

Dia mengatakan kepada ABC  Indonesia bahwa secara pribadi tidak merasakan langsung kerusuhan di tempat tinggalnya.

"Saya pribadi tinggal di dalam Paris, bagian kota tuanya, di distrik saya dan distrik tempat saya bekerja tidak terjadi kerusuhan," katanya.

Namun menurutnya di Paris kota tua sendiri sempat terjadi penjarahan satu toko sepatu Nike dan Zara di daerah Les Halles.

Menurut Rizal, penjarahan yang terjadi membuat sebagian orang marah karena itu tidak ada hubungannya dengan kematian remaja tersebut.

"Menurut saya kematian remaja ini memang cukup mengejutkan dan bukan yang pertama kali ada korban penembakan setelah menolak untuk diperiksa oleh polisi ," katanya.

Peristiwa tewasnya remaja yang bernama Nahel, seorang warga keturunan Aljazair  yang berusia 17 tahun tersebut terjadi di Nanterre, sekitar 13 km dari pusat kota Paris.

"Ini terjadi di daerah yang tidak terlalu makmur dan korbannya bukan putih sehingga menambah kecurigaan rasial dalam kasus ini," kata Rizal lagi.

Sebelum kerusuhan yang melanda Prancis ini, terjadi serangkaian unjuk rasa oleh kalangan yang lebih luas memprotes usulan pemerintah untuk menaikkan usia pensiun menjadi 64 tahun dari 62 tahun.

Dan menurut Rizal, hal tersebut membuat iklim sosial di Prancis akhir-akhir ini tidak menyenangkan.

"Saya pribadi  merasakan iklim sosial yang tidak menyenangkan," katanya.

"

"Tapi situasi ini tidak membuat saya takut, hanya saja saya tidak setuju dengan penjarahan toko dan juga perusakan sebagian institusi terutama yang berguna untuk masyarakat sosial."

"

'Situasi di malam hari lebih membuat was was'

Antariksa bersama istri dan anaknya yang berusia empat tahun baru pindah dari kawasan Millthorpe di negara bagian New South Wales (Australia) ke Paris 10 bulan lalu untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah seni  École nationale supérieure des Beaux-Arts, Paris.

"Di Paris kami tinggal di distrik 14, di Cité Internationale Universitaire de Paris, wilayah hunian khusus untuk mahasiswa, peneliti, seniman dan dosen," katanya kepada ABC Indonesia.

Karena wilayah tersebut merupakan kawasan tertutup, dengan adanya petugas keamanan dan gerbang keluar-masuk yang selalu dijaga, Antariksa mengatakan keadaan di permukiman tersebut relatif aman saat terjadi saat terjadi demonstrasi besar selama Januari-Maret terkait pensiun dan juga saat kerusuhan beberapa hari terakhir ini.

Menurutnya kegiatannya secara pribadi di siang hari berlangsung normal.

"Yang saya lihat dan alami sendiri selama beberapa hari terakhir ini kerusuhan tidak terjadi di dalam [dan] tengah kota Paris," katanya.

"Saya  hanya melihat patroli polisi yang lebih intens dari hari-hari biasanya, tetapi tidak lebih intens daripada ketika terjadi pemogokan besar menentang kebijakan usia pensiun Maret yang lalu."

Kalau di siang hari situasi menurutnya tidak mengkhawatirkan, Antariksa merasakan adanya perbedaan suasana di malam hari selama sepekan terakhir.

"Beberapa hari terakhir ini transportasi umum dihentikan operasinya pada jam 9 malam," katanya.

"Sehingga dibanding hari-hari biasa, suasana di dalam kota menjadi lebih sepi selepas jam 9 malam."

Antariksa juga mengatakan pada jam-jam tersebut penjaga atau pemilik toko atau restoran biasanya menyarankan pelanggan untuk segera pulang ke rumah.

"

"Pada situasi seperti ini, saya merasa sedikit was-was. Khususnya ketika saya sedang di luar pada malam hari bersama istri dan anak kami yang baru berumur 4 tahun," katanya lagi.

"

Dampaknya terhadap keluarga migran di Prancis

Eka Moncarre adalah warga asal Indonesia yang sudah tinggal di Prancis selama 29 tahun dan sekarang ini mengelola sebuah tempat bernama La Maison de L'Indonesie yang berada di pusat kota Paris. 

Tempat berjualan makanan, cafe dan barang-barang asal Indonesia. 

Menurutnya walau terjadi kerusuhan di berbagai permukiman di pinggiran kota Paris, keadaan di pusat kota relatif aman.

"Hari Minggu dilaksanakan Carnival Tropical karena saat ini musim panas dan mulai Senin dimulai Paris Season Week," katanya kepada ABC Indonesia.

"Hari ini tidak ada bakar-bakar lagi, setelah tiga ribuan orang ditangkap, dan 45 ribu petugas keamanan dikerahkan untuk mengatasi situasi," kata Eka hari Selasa (04/07) pagi waktu setempat.

Dalam pengamatannya, Eka Moncarre mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi tidaklah berhubungan langsung dengan kematian remaja 17 tahun tersebut.

Dan yang menurutnya buruk adalah dampak kerusuhan tersebut terhadap kelompok migran sendiri di Prancis.

"

"Yang dirusak atau dibakar juga sebagian toko-toko kecil milik warga migran di sini." katanya lagi.

"

Menurut angka resmi dari pemerintah, usia rata-rata dari 3.354 orang yang ditangkap dalam sepekan terakhir adalah 17 tahun.

Para pakar mengatakan bahwa kerusuhan ini dilakukan oleh para remaja yang tinggal di kawasan pemukiman dan rumah susun yang merasa tidak puas dengan pemerintah Prancis karena para remaja tersebut yang mayoritas berasal dari keluarga migran dari Afrika Utara seperti Aljazair dan Maroko melihat bahwa pemerintah melakukan diskriminasi terhadap mereka.

Kawasan tempat tinggal mereka di Prancis dikenal dengan sebutan -"banlieues" di mana 57 persen anak-anak yang tinggal di komunitas seperti ini hidup dalam kemiskinan sementara angka rata-rata kemiskinan di Prancis adalah 21 persen.

Menurut laporan BBC mengutip lembaga pemikir Institut Montaigne, warga yang berasal dari kawasan pemukiman seperti ini 75 persen kemungkinannya untuk tidak mendapatkan pekerjaan.