ABC

Industri Fashion Australia Didesak Ungkap Pabrik Pembuat Produk Mereka di Luar Negeri

Sejumlah perusahaan pakaian di Australia seperti Oroton dan Seed menuai kritik lantaran tidak bersedia mengungkapkan dimana produk pakaian mereka diproduksi.

Dua laporan yang ditulis oleh Baptist World Aid dan Oxfam yang didapatkan oleh program 7.30 menunjukan perusahaan mana saja yang mengetahui dengan baik supply chain mereka yang kompleks.
 
Oroton diberi skor  "D", sementara Seed, Best dan Less and Lorna Jane diberi nilai "F" alias sangat buruk pada laporan tersebut/
 
Sementara Target, Kmart dan brands yang dimiliki oleh kelompok usaha Specialty Fashion semuanya mendapat skor baik setelah tiga tahun lalu dikecam karena tidak terlalu mengetahui supply chain atau perusahaan yang mengerjakan produk pakaian mereka.
 
Kritik mengenai perusahaan pemasok atau supply chain ini mencuat setelah peristiwa runtuhnya Gedung Rana Plaza di Bangladesh tiga tahun lalu yang menewaskan lebih dari 1.130 orang pekerja pabrik.
 
Peristiwa ini mengungkap buruknya kondisi kerja para buruh pabrik pakaian di Bangladesh lantaran gedung pabrik mereka tidak memenuhi standard yang ditetapkan oleh Otoritas Kebakaran dan Keselamatan Bangladesh.
 
Peristiwa ini juga memicu gerakan kesadaran akan keselamatan dan kesejahteraan para buruh di pabrik pembuat pakaian bagi industri fashion ternama.
 
Meski demikian, pemilik merek pakaian terkenal Oroton, Lorna Jane dan Seed  tetap tidak bersedia membuka informasi ke publik mengenai darimana produk pakaian mereka berasal atau dibuat.
 
Dengan tidak mengetahui supply chain mereka, kelompok pegiat HAM mengatakan terbuka peluang besar untuk mengeksploitasi para pekerja dan kondisi kerja yang melelahkan.
 
"Kami mendorong perusahaan-perusahaan semacam Oroton, Lorna Jane dan Seed untuk lebih bersikap transparan untuk memungkinkan kami mengetahui kalau perusahaan pemasok mereka kuat dan hak-hak para pekerjanya terlindungi,” kata Gershon Nimbalker, penulis dari Laporan Industri Fashion Australia oleh Baptist World Aid ini. 
 
Salah seorang pekerja, Kohinur Akter, seorang penjahit baju berusia 25 tahun yang menjahit baju untuk jaringan supermarket Australia, Target, di Bangladesh dan hanya mendapat upah $7 per hari.
 
Upah yang didapatnya masih diatas kebutuhan minimum sehari-hari namun masih terlalu murah sehingga kehidupannya masih sulit.
 
"Upah Saya tidak cukup tapi apa lagi yang bisa Saya perbuat,” ungkapnya kepada proga, 7.30 ABC dari rumahnya di Dhaka.
 
"Beberapa pabrik memang menyediakan waktu lembur tapi mereka juga memberikan target yang semakin banyak juga,” katanya.
 
Meski mengaku menikmati pekerjaannya, namun Akter mengatakan dia banyak mendapat tekanan di tempatnya bekerja.
 
"Terkadang mereka memberikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang, kami jadi punya beban kerja yang sangat besar. Mereka biasanya melakukan hal seperti itu, ketika mendapat tekanan untuk memenuhi target,” 
 
Dr Helen Szoke dari Oxfam mengatakan perusahaan fashion di Australia tidak punya alasan untuk tidak mengetahui perusahaan pemasok produk mereka.
 
"Pelaku perdagangan pakaian di Australia memiliki tanggung jawab untuk benar-benar mengetahui siapa sebenarnya yang membuat pakaian mereka dan dari survey kami menunjukan kalau konsumen di Australia peduli dengan isu ini,” tambahnya.
 
Oxfam melakukan survey kepada 1000 konsumen yang menunjukan lebih dari 89% dari mereka bersedia membayar lebih demi memastikan keselamatan para buruh di pabrik-pabrik pakaian.