ABC

Industri Fashion Australia Didesak Akhiri Eksploitasi Buruh di Luar Negeri

Para pekerja pabrik di Bangladesh yang mungkin telah membuat kaos Anda di Australia bisa jadi hanya menghasilkan uang sekecilnya senilai 39 sen per jam.

Itulah pesan serius yang berasal dari laporan non-profit organisasi Oxfam Australia “What She Makes” yang dirilis hari ini.

Deloitte Access Economics dilibatkan oleh Oxfam untuk menganalisis rantai pasokan garmen Australia dan menghitung proporsi biaya garmen yang berakhir di kantong orang yang membuatnya.

Analisa ini menemukan dalam rantai pasokan rata-rata Australia, hanya 4 persen dari harga sebuah item pakaian yang dibayarkan kepada pekerja di luar negeri.

Oxfam report
Dalam rantai pasokan rata-rata di Australia, hanya 4 persen dari harga sebuah item pakaian yang dibayarkan kepada pekerja di luar negeri.

Oxfam

Itu hanya 40 sen dari kaus seharga $10 (Rp104 ribu)

Penelitian Deloitte ini juga menemukan di Bangladesh, di mana upah buruh jauh lebih rendah, hanya 2 persen dari harga pakaian tersebut yang sampai ke pekerja yang membuatnya.

Perusahaan Australia seperti Target Australia, Cotton On, Kmart, Big W, H & M, Pacific Brands dan Just Group semua menggunakan pabrik luar negeri sebagai pemasok, termasuk pabrik di Bangladesh.

China adalah tujuan utama sumber [pengadaan garmen] untuk Australia, diikuti oleh Bangladesh yang menyediakan sekitar 9 persen dari pakaian yang dijual di Australia.

Fatimah, warga Bangladesh berusia 25 tahun menghasilkan 43 sen per jam bekerja di sebuah pabrik yang membuat pakaian untuk Big W, H & M dan merek global lainnya.

Pekerja Garmen di Bangladesh
Kebanyakan pakaian di Australia dibuat di China, diikuti oleh Bangladesh.

Supplied: Oxfam Australia

Laporan Oxfam itu mengatakan bahwa Fatimah sering tidak punya makanan dan tidur di lantai beton di sebuah apartemen dengan 10 orang lainnya.

Pekerja garmen H&M
Laporan Deloitte menemukan rata-rata pekerja akan mendapatkan upah hanya 4 sen dari sebuah kaos $10.

Supplied: Oxfam Australia

Direktur Eksekutif Oxfam Australia, Helen Szoke mengatakan meski biaya hidup di negara-negara tertentu lebih rendah, gaji yang dibayarkan di industri garmen masih tidak memungkinkan seorang pekerja untuk menutupi biaya kebutuhan hidup dasarnya, seperti makanan dan perumahan.

“Ini terutama para pekerja wanita yang bekerja di Bangladesh, Vietnam dan Indonesia yang tidak dapat membeli bahan kebutuhan dasar seperti makanan dan rumah yang aman. Namun mereka harus bekerja berjam-jam, seringkali enam hari dalam seminggu, menghasilkan pakaian yang dikenakan orang Australia di punggung mereka,” kata Helen Szoke.

Dia mengatakan pengecer terbesar di Australia harus memastikan pekerja di luar negeri memiliki pendapatan yang mencukupi untuk hidup mereka.

“Deloitte memperkirakan bahwa jika perusahaan-perusahaan besar berhasil memenuhi seluruh biaya upah yang layak bagi pekerjanya, itu hanya akan meningkatkan harga pakaian yang dijual di Australia sebesar 1 persen,” kata Helen Szoke.

Dia mengatakan biaya itu harus diserap oleh perusahaan dan tidak diteruskan ke pembeli.

Pekerja Garmen tidur di lantai
Oxfam mengatakan Fatima tidur di lantai di sebuah apartemen berbagi dengan 10 pekerja lainnya.

Supplied: Oxfam Australia

Industri busana Australia menghasilkan lebih dari $ 27 miliar atau Rp282 triliun sepanjang tahun lalu.
“Merek itu memiliki kekuatan untuk memastikan para pekerja mereka dibayar cukup untuk hidup dengan bermartabat,” kata Helen Szoke.
Upah minimum di Vietnam setara dengan 64 sen per jam. Di China upahnya 93 sen dan di Bangladesh serendah hingga 39 sen per jam.

Namun, laporan Organisasi Perburuhan Internasional baru-baru ini menemukan bahwa sebagian besar pekerja di sektor garmen, alas kaki dan tekstil di negara-negara yang mengekspor ke Australia dibayar di bawah upah minimum.

Target, Kmart, Woolworths Group, Cotton On dan the Just Group semua mencantumkan lokasi pabrik mereka di situs mereka.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.