ABC

Indonesia Reekspor 18 Kontainer Sampah Ke Australia 4 Bulan Terakhir

Sejak bulan Juni lalu, Indonesia mengirim balik 18 dari 103 kontainer sampah asal Australia yang masuk ke wilayahnya. Indonesia juga membantah mengalihkan pengiriman sampah terkontaminasi ke negara Asia lainnya seperti yang ditudingkan jaringan aktivis lingkungan dalam laporannya.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Indonesia (DJBC), selama empat bulan terakhir hingga 30 Oktober 2019, ada 358 kontainer atau peti kemas berisi sampah dari Australia yang masuk ke Indonesia.

Jumlah itu mewakili sekitar 16,3 persen dari total peti kemas sampah yang masuk ke Indonesia dan dihentikan otoritas Bea Cukai melalui 5 pelabuhan di Jawa dan Riau.

Dari jumlah kontainer asal Australia itu, hanya 18 kontainer yang dinyatakan bersih atau terbebas dari kontaminasi limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Mayoritas sisanya, yakni 237 peti kemas, belum dilengkapi dengan pemberitahuan kepabeanan.

Sementara 103 kontainer lainnya dinyatakan terkontaminasi limbah B3. Dari kontainer yang tercampur ini, baru 18 di antaranya yang sudah dikirim kembali atau di-reekspor ke Australia, sedangkan 85 sisanya masih menunggu proses reekspor.

Pemerintah Indonesia mengatakan, pada prinsipnya, pihak mereka masih bisa menerima impor sampah selama memenuhi kriteria dan spesifikasi terkini yang sudah diatur.

Untuk memastikan hal itu, sebut Heru, maka Pemerintah Indonesia melalui DJBC, KLHK dan Kementerian Perdagangan melakukan verifikasi. Namun mereka berharap seleksi ketat sampah yang akan diimpor sudah benar-benar terjadi di tahap awal.

“Kita memang berharap bahwa surveyor di negara asal itu sebenarnya sudah bisa menyeleksi sejak dari awal, jadi tidak perlu sampai ke negara Indonesia,” kata Heru.

Di sisi lain, tindakan Indonesia mereekspor sampah terkontaminasi mendapar sorotan dari jaringan aktivis lingkungan yakni Nexus3 dan Basel Action Network (BAN).

Dalam keterangan pers-nya pekan lalu, jaringan tersebut menuding Pemerintah Indonesia mengalihkan 43 peti kemas sampah terkontaminasi asal Amerika Serikat ke sejumlah negara Asia lainnya seperti India (38), Korea Selatan (3), Thailand (1) dan Vietnam (1).

“Dengan menggunakan teknik pelacakan pengapalan, Basel Action Network, sebuah group pemantau perdagangan limbah global, menemukan bahwa sebagian besar peti kemas tersebut, alih-alih dikirim balik ke negara asal, malah dialihkan ke negara-negara lain,” tulis mereka dalam pernyataan resmi.

Dirjen Bea Cukai serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Dirjen Bea Cukai serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membantah Indonesia alihkan reekspor sampah ke negara Asia lain (31/10/2019).

Supplied

Menanggapi tudingan tersebut, Indonesia mengatakan puluhan peti kemas yang disebut BAN memang sedang berada di sejumlah negara Asia.

“Yang ini kan business to business (antar bisnis) dulu reekspor, makanya tidak pakai Konvensi Basel.”

“Tapi ini kan lagi pada transit, tapi kalau betul-betul dia transit selama-lamanya di situ bukan di negara asal, baru kita nanti pakai mekanisme Konvensi basel dengan notifikasi resmi, tapi melalui Kemlu (Kementerian Luar Negeri),” jelas Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, dalam konferensi pers bersama (31/10/2019).

Vivien menambahkan, pihak importir juga bisa terkena sanksi administratif.

“Dua, untuk pidananya dia bisa dilakukan upaya penegakan hukum pidana.”

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap aturan ini akan terkena sanksi pidana minimal 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun.

Sementara untuk denda materi dikenakan paling sedikit Rp 5 Miliar dan paling banyak Rp 15 Miliar.

Saling meragukan klaim

LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, Ecoton, membantah klaim Pemerintah Indonesia terkait 46 peti kemas yang disebut tengah ‘transit’ di beberapa negara Asia.

“Temuan BAN menyatakan lain lho.”

“Lagipula perlu ada perlu transparansi jalur pengembalian dan perlu keterlibatan pemantauan independen,” kata Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, kepada ABC.

Temuan sampah terkontaminasi yang masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok September lalu.
Temuan sampah terkontaminasi yang masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok September lalu.

Supplied

Laporan BAN menemukan hanya 12 dari total 58 kontainer sampah terkontaminasi dari Amerika Serikat yang benar-benar dikembalikan ke negara asalnya. Sementara sisanya justru dikirim ke negara lain dengan 3 perusahaan ekspedisi perkapalan yang berbeda.

Prigi mengaku Ecoton sebagai lembaga yang selama ini mengadukan dan memantau pergerakan sampah terkontaminasi tidak pernah diberi respon tertulis oleh KLHK perihal reekspor sampah-sampah tersebut.

“Belum lagi akses dokumen pengembalian yang tidak terakses,” ujarnya.

Prigi juga mencermati tidak adanya pemberian sanksi terhadap importir ataupun eksportir yang melanggar aturan.

“Seharusnya ada pencabutan izin,” sebutnya.

Liana Bratasida dari Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menjelaskan kepada ABC perihal tata cara reekspor yang dilakukan anggota-anggotanya.

“Perusahaan hanya bisa reekspor kalau sudah ada persetujuan dari Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Bea Cukai.”

“Bagaimana bisa seenaknya diubah negara asal penerimanya,” tanya Liana.

Ia justru meminta berbagai pihak terkait reekspor sampah ini mencari tahu tentang adanya protes dari negara penerima sampah reekspor.

“Ada enggak yang protes ke Indonesia? dicek saja kebenarannya.”

Namun ABC menerima keterangan tertulis dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) India yang menunjukkan keterkejutan mereka terhadap penemuan kontainer sampah terkontaminasi tersebut.

“Di India, kami pikir kami telah melarang impor limbah plastik. Ternyata sekarang kami menemukan banyak yang masuk melalui pintu belakang,”

“Pengiriman dari Indonesia ini harus menjadi subjek penyelidikan internasional,” tutur Dharmesh Shah, Koordinator GAIA di India.

Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.