ABC

Indonesia Perlu Outward Looking Untuk Selesaikan Masalah Dunia

Mahasiswa PhD asal Indonesia di Monash University di Melbourne, Noor Huda Ismail sering mendapat undangan untuk menjadi pembicara di forum internasional berkenaan dengan masalah terorisme. Noor Huda mengatakan WNI lainnya perlu melakukan hal yang sama.

Dalam kajian hubungan internasional, perilaku penduduk Indonesia sering disebut: “an inward-looking nation” atau sebuah negara yang penduduknya lebih tertarik pada isu-isu dalam negeri.

Barangkali karena penduduk kita banyak, maka masalah yang dihadapi pun menjadi sangat beragam dan tumpah tindih. Energi kita otomatis terkuras menyikapi masalah dalam negeri yang seakan-akan terus muncul.

Lawan dari corak di atas adalah “an outward-looking nation” atau negara yang penduduknya tertarik pada isu di dunia luar negara mereka.

Biasanya negara seperti ini berpenduduk sedikit dan kaya seperti Swiss. Negara ini berpenduduk sekitar 8 jutaan tapi mempunyai GDP per kapita  $ 84, 070, nyaris 9 kali lipat GDP Indonesia yang berada di angka $ 9, 270.

Noor Huda menjadi salah satu pembicara dalam acara di Jenewa. (Foto: GCSP)
Noor Huda menjadi salah satu pembicara dalam acara di Jenewa. (Foto: GCSP)

Corak tersebut terasa ketika saya diminta menjadi pembicara tamu di Geneva Center for Security Policy, sebuah ‘think thank’ yang didanai pemerintah Swiss.

Diskusi publik kali ini menyoal perkembangan mutakhir isu terorisme global.

Tidak dari kurang dari 150-an peserta yang terdiri dari 30an negara hadir dalam diskusi tersebut. Mereka adalah para mantan diplomat senior, wartawan, analis keamanan dan beberapa perwakilan lembaga international yang berkantor di Jenewa.  

Diskusi berlangsung sangat dinamis dan mencerahkan. “Strategi seperti apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi ancaman dari para foreign fighters (orang-orang yang terlibat dalam konflik di Syria dan Iraq)? Apa yang perlu kita lakukan bagi mereka yang kembali?” tanya salah satu wartawan.

“Kenapa kita tidak pernah membicarakan hubungan antara terorisme dan perilaku korup elit politik di sebuah negara? Saya pernah bertugas sebagai duta besar di beberapa negara Afrika. Elit politik yang korup memberikan oksigen bagi lahirnya teroris!” tambah seorang penanya dengan geram. Ia mantan diplomat senior Swiss.

Satu persatu pertanyaan saya jawab dengan memberikan ilustrasi bagaimana Indonesia yang ‘an inward-looking nation’ itu menghadapi berbagai permasalahan yang justru bisa dijadikan referensi untuk menyelesaikan isu global tersebut.

Saya tidak perlu malu jika keliru dalam pengucapan bahasa Inggris (pronunciation). Kadang saya harus diam sejenak untuk berfikir mencari ungkapan bahasa Inggris (vocabulary) yang tepat untuk membungkus ide kompleks saya.

Tidak terlahir sebagai ‘native speaker’ (penutur asli) bahasa Inggris itu sebenarnya bagus.Peal dan Lambert (1962), peneliti multilingual, melihat hubungan antara kecerdasan dan kemampuan berbahasa.

Kedua peneliti ini mengklaim bahwa orang yang berbicara lebih dari satu bahasa itu mempunyai “meta-linguistic awareness” (kesadaran berbahasa) yang hal ini berpengaruh dalam memecahkan masalah di luar kerumitan bahasa.

Bahkan mereka juga percaya bahwa belajar bahasa akan mempengaruhi gaya hidup dan personalitas orang. Mereka yang belajar bahasa asing itu menjadi lebih terbuka, kreatif, percaya diri dan toleransi terhadap bahasa baru.

Acara di Jenewa ini kembali menyadarkan pentingnya kita sebagai bangsa untuk lebih kreatif “menjual Indonesia” ke dunia internasional meskipun dengan kemampuan bahasa Inggris yang tidak seperti ‘native’ (penutur asli).  Bahasa itu hanya alat komunikasi.  Tapi, ‘content’ lah yang jauh lebih penting.

WNI harus lebih banyak tampil di forum internasional kata Noor Huda Ismail. (Foto: GCSP)
WNI harus lebih banyak tampil di forum internasional kata Noor Huda Ismail. (Foto: GCSP)

Sebagai aktifis sosial dan akademis, maka peran saya adalah menggunakan studi kasus yang terjadi di Indonesia untuk menjelaskan berbagai fenomena global. Pendekatan seperti ini bisa terus dikembangkan di Indonesia karena dua hal.

Pertama karena kegiatan “applied research” (riset aplikatif) ini akan mendorong lahirnya sebuah industri yang berbasis ilmu pengetahuan atau  “knowledge-based industry”.

Kedua, industri ini dapat membuka peluang bagi para akademisi, peneliti dan aktifis sosial untuk percaya diri mengembangkan “indigenous studies” (kajian-kajian lokal) dengan prespektif global.

Saya yakin sudah ada banyak kajian-kajian penting yang dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Namun sayangnya karya mereka itu hanya tersimpan di perpustakaan dan kurang dihargai oleh para pemangku kebijakan negara kita sendiri.

Banyak WNI yang mampu ‘berbicara’ di kancah dunia dari berbagai macam profesi. Namun jumlah itu masih kalah jika dibandingkan dengan India, Pakistan, Singapura  atau bahkan Malaysia.

Josep Nye (2004), dosen hubungan internasional dari Harvard University melihat potensi dari kelompok masyarakat ini dengan istilah “soft power”. Bagi Nye, mereka dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara dengan kemampuan persuasi mereka.

Dalam industri musik pop, fenomena Gangnam Style yang dipopulerkan oleh musisi Korea Selatan, Psy adalah salah satu contoh yang nyata. Di sinilah, KBRI harus bisa berperan menjadi ‘marketing’ yang lincah bagi jenis industri yang tampaknya belum tergarap dengan baik ini.

Setelah selesai diskusi selama dua jam siang itu, panita kemudian menyalami saya dan berkata: “Tolong luangkan waktu lagi untuk diskusi dengan kami pada bulan Juli tahun ini. Peserta di sini sangat antusias dengan paparan anda”.

Saya jawab permintaan panitia itu sambil membayangkan dua anak saya, Hiro (7) dan Salman (5) di Melbourne yang sudah menunggu bapaknya pulang dengan membawa coklat dari Jenewa: “Saya tidak bisa memberikan kepastian sekarang. Saya harus diskusi dulu dengan istri karena bagi saya,  ‘happy wife is happy life’

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Noor Huda Ismail saat ini sedang menyelesaikan PhD Politik dan Hubungan Internasional di Monash Universtiy. Noor Huda juga pernah menerbitkan buku berjudul Temanku Seorang Teroris, pengalamannya sekolah di sebuah pesantren di Jawa Tengah  bersama dengan salah seorang pelaku bom bunuh diri di Bali. Ia dapat  dihubungi di noorhuda2911@gmail.com.