ABC

Indonesia Masih Tertinggal Dalam Jaring Produksi Global

Indonesia dinilai gagal memanfaatkan tren perdagangan global seperti jaringan produksi internasional (GPN). Nilai keterlibatan Indonesia dalam GPN masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Timur.

Prema Chandra Athukorala, pengamat ekonomi dari Fakultas Kebijakan Publik Crawford, Australian National University (ANU) mengatakan ketertinggalan Indonesia dalam jejaring produksi internasional telah mengakibatkan Indonesia sulit mengembangkan ekspor ke pasar global.

Hal itu terlihat dari lambatnya pertumbuhan kinerja ekspor Indonesia dalam 3 dekade terakhir dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur, seperti Thailand, Bangladesh, India dan raja pasar saat ini, China.

Berbicara dalam Forum Kebijakan Hadi Soesastro 2018 pekan lalu di Gedung Pusat Studi Strategis dan Internasioan (CSIS) Jakarta yang diikuti peluncuran buku Indonesia berjudul ‘The New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignity’, Prema Chandra Athukorala, mengatakan salah satu penyebab utama ketertinggalan ini adalah karena kegagalan Indonesia masuk dalam jejaring pasokan global untuk barang-barang mekanik dan elektronik.

“Di sektor mekanik dan elektronik yang lebih dinamis, Indonesia justru tertinggal dari China dan negara-negara di Asia Timur."

“Perbandingan yang paling signifikan mungkin Vietnam, perusahaan besar seperti Samsung, Intel, perusahaan besar memilih beroperasi di Vietnam. Akibatnya kinerja ekspor mereka saat ini sangat baik.”

Sebaliknya Indonesia justru memilih memperkuat posisinya di sektor yang belakangan mengalami tekanan proteksi seperti perlengkapan olahraga dan tekstil.

“Nilai ekspor Indonesia di perlengkapan olahraga dan produk tekstil/apparel memang meningkat tapi pada saat yang sama pasarnya  juga menurun.”

“Indonesia sekarang hanya kuasai 1,9 % dari total ekspor apparel dunia, kalah jauh dari Bangladesh yang nilai ekspornya melonjak pesat dari 2%  sepuluh tahun menjadi 5,9% saat ini.”

Kehilangan momentum

Prema-Chandra Athukorala
Ekonom Australian Natioan University (ANU) Prema-Chandra Athukorala menilai Indonesia perlu membenahi iklim bisnis dan investasi agar lebih menarik.

ABC: Iffah Nur Arifah

Lebih lanjut Athukorala mengatakan Indonesia telah melewatkan peluang besar untuk masuk dalam jejaring produksi global.

“Ketika tingkat upah dan sewa lahan meningkat di Singapura, banyak perusahaan ingin datang ke Indonesia.”

“Perusahaan national semi konduktor Fairchild ingin membuat pabrik di Indonesia pada pertengahan tahun 80-an, tapi tidak jadi karena isu buruh.”

“Mereka akhirnya memilih pergi dan memperluas produksi mereka di Malaysia dan Thailand.”

Ia menambahkan padahal secara geografis Indonesia lebih ideal dijadikan basis produksi perusahaan multinasional karena dekat dengan Singapura, yang merupakan hub kargo udara dan kapal.

Namun lagi-lagi Indonesia dinilai gagal memanfaatkan peluang ini.

“Saya pernah berbicara dengan Foxcon, produsen komponen elektronik terbesar di dunia yang merakit telepon selular Iphone, mereka mengatakan mereka ingin membangun pabrik mereka di Indonesia, tapi ada masalah sewa lahan.”

“Mereka pun membatalkan rencananya berinvestasi di Indonesia,”

Kabar batalnya Foxconn Technology Group membangun pabriknya di Indonesia sempat menjadi sorotan.

Foxconn sudah mengutarakan minatnya beroperasi di Indonesia sejak tahun 2013, dimana Foxconn ketika itu berminat membuka pabrik di kawasan industri Cikande, Serang.

Saat itu, Foxconn meminta disediakan lahan seluas 100 hektar, terutama di luar pulau Jawa, namun ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Alhasil, pada 2017 lalu Foxconn memilih membatalkan rencananya dan berpaling ke India yang menyediakan lahan seluas 1.500 hektar.

Dengan luas sebesar itu, Foxconn membangun pabrik, fasilitas riset dan pengembangan (R&D, Research and Development), serta memperkerjakan lebih dari 50.000 karyawan.

Berkaca dari kegagalan ini, Athukorala menilai Indonesia perlu segera membenahi hambatan-hambatan perdagangan terutama masalah buruh, layanan dan iklim bisnis dan investasi di dalam negeri.

Ia secara khusus menyoroti  soal tingginya biaya service link di Indonesia yakni biaya-biaya yang timbul dari transaksi bisnis mulai dari transportasi, rezim tarif hingga aturan hukum.

“Biaya service link di Indonesia jauh lebih tinggi dari negara-negara lain di Asia. contohnya Vietnam."

Karena rezim tarif di Indonesia sangat rumit, prosedur bea cukai tidak berjalan lancar dan  prosedur hukum terkait persetujuan bisnis juga berbelit-belit.”

Pembangunan infrastruktur sudah tepat

Haryo Aswicahyono
Haryo Aswicahyono, ekonom CSIS menilai pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan dan bandara akan kurangi beban biaya logistik.

ABC: Iffah Nur Arifah

Sementara itu pengamat ekonomi dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Haryo Aswicahyono membenarkan kesimpulan yang disampaikan rekannya Athukorala.

Menurutnya Indonesia memang belum seterbuka negara-negara lain dalam menghadapi tren perdagangan global saat ini.

“Indonesia masih sangat restriktif dibandingkan negara-negara lain di Asia. Soal tenaga ahli misalnya.”

“Salah satu ciri GPN adalah pergerakan tenaga ahli harus mudah, itu terkait UU Imigrasi, tapi di Indonesia, UU kita membatasi sekali tenaga ahli bekerja di Indonesia. Begitu juga sektor jasa.”

Aswocahyono juga mengatakan jaringan produksi sangat bergantung kepada kepastian rezim perdagangan dan konektivitas yang baik.

Oleh karena itu ia mengapresiasi upaya yang sudah dilakukan pemerintah saat ini terutama dalam mendorong pembangunan infrastruktur.

“Upaya yang dilakukan saat ini arahnya sudah benar, terutama upaya membenahi infrastruktur dengan membangun pelabuhan, jalan, bandara, itu akan sangat membantu mengurangi biaya logistik industri dan ketersambungan.” katanya.