ABC

Indonesia Harus Buka Impor Beras Untuk Turunkan Harga

Indonesia selayaknya membuka keran impor untuk komoditi pokok seperti beras guna menurunkan harga di dalam negeri. Adanya produk impor akan membuat persaingan lebih terbuka dan meningkatkan ketersediaan komoditi seperti beras bagi petani miskin.

Dengan reformasi seperti itu, barulah Indonesia bisa mencapai kedaulatan pangan dan bisa meningkatkan kesejahteraan pangan bagi sebagian penduduk yang masih miskin yang sebenarnya selama ini menjadi korban karena harga beras yang terlalu tinggi di Indonesia dibandingkan harga di pasar internasional.

Hal ini dikemukakan oleh Dr Arianto Patunru dan Rainer Heufers dari Australian National Unversity (ANU) di Canberra dalam tulisan mereka yang dimuat dalamablog East Asia Forum berjudul: Indonesia is hungry for a better food policy (Indonesia Haus akan Kebijakan Pangan yang Lebih Baik) minggu lalu.

Arianto Patunru adalah tenaga pengajar di ANU yang berasal dari Indonesia.

Dalam paparannya, Arianto dan Rainer mengatakan bahwa meski adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup baik selama puluhan tahun terakhir, ada sekitar 19,4 juta warga Indonesia yang masuk dalam kategori sangat miskin yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari.

Indeks Keamanan Pangan Dunia tahun 2017 menempatkan Indonesia berada di peringkat 69 dari 113 negara, dan peringkat itu tidak banyak berubah selama lima tahun terakhir.

“Terus berlangsugnya keadaan ini menunjukkan Indonesia mengalami masalah kedaulatan pangan serius,” tulis mereka.

Salah satu cara yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ini adalah meningkatkan ketersediaan pangan lewat peningkatan produksi beras dan mengembangkan jenis padi unggul, namun strategi tersebut terbukti belum efektif sejauh ini.

Dalam pembicaraan dengan wartawan ABC Australia Sastra Wijaya hari Kamis (5/4/2018), Dr Arianto Patunru mengatakan ada pemahaman keliru yang ada di Indonesia mengenai apa yang dimaksudkan dengan kedaulatan pangan.
“Konsep kedaulatan pangan sebenarnya sudah tidak sejalan dengan kondisi sekarang, karena konsep itu sendiri paradigmanya lebih ke nasional sebagai bangsa keseluruhan, bukan individual,” kata Arianto.

“Nah sekarang bahan makanan sudah banyak berkembang, dan lebih banyak diproduksi oleh negara lain.”

“Oleh karena itu, kedaulatan pangan itu harus mengacu kepada individu, bukan lagi nasional misalnya kelompok rakyat yang tidak bisa mendapatkan beras dengan harga terjangkau, termasuk di antara mereka adalah para petani sendiri.” kata Arianto.

Menurut Arianto yang mendapatkan gelar PhD dari Universitas Illinois di Amerika Serikat, ada juga kesalahpahaman bahwa Indonesia itu adalah negara yang kaya dengan sumber alam, sehingga impor dianggap sebagai sesuatu yang tidak seharusnya dilakukann.

“Padahal kalau dilihat dari datanya dalam 100 tahun terakhir, Indonesia itu lebik banyak melakukan impor dibandingkan mencukupi kebutuhan sendiri,” katanya.

“Paling hanya ada 6-7 tahun ketika ekspor lebih tinggi dari impor, dan kalau kita lihat di masa itu apa yang kita sebut dengan swasembada sebenarnya bukan karena produksi yang melimpah di dalam negeri, namun karena kita menutup pasar dari luar, sehingga yang terjadi adalah harga beras yang tinggi di dalam negeri, lebih tinggi dari di luar,” tambahnya lagi.

Oleh karena itu Arianto dan Rainer mengatakan bahwa solusi yang bisa dilakukan Indonesia adalah meningkatkan persaingan di pasar makanan dalam negeri, dengan membuka pasar bagi produk impor yang lebih murah harganya.

Petani tidak diuntungkan karena harga beras yang mahal di dalam negeri

Dr Arianto Patunru dari ANU di Canberra
Dr Arianto Patunru dari ANU di Canberra

Foto: Istimewa

Menurut Arianto, meski harga beras di dalam negeri tinggi, petani tidaklah menikmati keuntungan dari kebijakan swa sembada pangan tersebut.

“Dua pertiga dari petani di Indonesia adalah net comsumer. Artinya produksi beras yang mereka hasilkan lebih kecil dari yang mereka konsumsi. Jadi mereka masih harus membeli beras sehingga mereka sendiri juga menderita karena harga beras yang mahal di dalam negeri,” kata Arianto kepada Sastra Wijaya.

Ini disebabkan karena sebagian besar petani di Indonesia hanya memiliki lahan yang kecil.

“Petani yang memiliki lahan kurang dari seperempat hektar di Jawa Tengah hanya mendapatkan penghasilan Rp 500 ribu per orang per bulan.”

“Kebijakan swasembada pangan dimaksudkan untuk melindungi petani. Namun pada kenyataannya yang mendapatkan keuntungan besar adalah pedagang tengkulak, pemilik penggilingan beras, dan pedagang besar,” kata Arianto lagi.

Ditambahkan oleh Arianto dan Rainer dalam tulisan mereka, bahwa di akhir tahun 2012 harga beras di dalam negeri 65 persen lebih tinggi dari harga beras di pasar intternasional karenanya membuat jutaan orang jatuh ke jurang kemiskinan karena harus menghabiskan uang lebih banyak guna membeli beras.

“Kebijakan swasembada besar pada awalnya dilakukan Indonesia untuk melindungi dari naik turunnya harga beras internasional.”

“Harga beras internasional naik lebih dari 100 persen di tahun 2007-2008, sementara di dalam negeri harga beras relatif stabil.”

“Namun stabilitas tersebut tidak berlangsung lama, dan menguras dana, karena di tahun 2007 Indonesia mengimpor 1 juta ton beras di tahun 2007, tiga kali lebih banyak dibandingkan rata-rata tiga tahun sebelumnya.”

Harga beras domestik kemudian naik tajam lagi di bulan Desember 2009 ketika harga beras dunia menurun. Dan di akhir tahun 2012, harga beras di Indonesia 65 persen lebih tinggi dari harga internasional.

Namun mengapa pemerintah Indonesia tidak mau mengambil keputusan untuk membuka kran impor beras?

Menurut Arianto, secara politik Presiden Jokowi (dan juga pemerintahan sebelumnya) sulit untuk mengambil keputusan membuka impor sepenuhnya, karena tindakan ini dianggap tidak populer bagi sebagian kalangan.

Oleh karena itu, Arianto menyebutkan bahwa reformasi yang perlahan-lahan bisa dilakukan.

“Misalnya menentukan rentang harga untuk intervensi misalnya x% plus minus harga internasional. Ketika harga domestik keluar dari rentang tersebut, pemerintah boleh intervensi misalnya dengan impor ketika harga domestik di atas batas atas atau melakukan operasi pasar membeli beras ketika harga domestik di bawah batas bawah,” saran Arianto Patunru.