Indonesia Berharap Tingkatkan Penjualan Produk Unggulan di Single’s Day
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan akan bergabung dalam festival belanja online terbesar ‘Single’s Day’ di China dengan menjual produk asal Indonesia.
‘Single’s Day’ pada awalnya dirayakan oleh sekelompok mahasiwa lajang di Universitas Nanjing, tanggal 11 November 1993 dan sejak itu telah menjadi festival belanja terbesar di China dan dunia.
Usai bertemu dengan pendiri sekaligus direktur utama Alibaba, Jack Ma di pertemuan Bank Dunia dan IMF pekan lalu di Bali, Indonesia telah setuju untuk menjual lima produk unggulan.
Produk-produk yang akan dijual kepada para pemburu diskon online di China adalah kopi luwak, kerupuk udang, biskuit, mie instan, serta sarang burung walet.
“Diharapkan dapat meningkatkan penjualan produk Indonesia secara online ke pasar China, sekaligus memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor Indonesia,” kata Tjahya Widayanti, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri.
“Pada akhirnya meningkatkan nilai ekspor Indonesia ke China serta mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia dan China,” tambahnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Australia.
Single’s Day hanyalah sebuah marketing
Warga Indonesia yang tinggal China menyambut baik upaya pemerintah Indonesia untuk mempromosikan produk lokal ke China.
“Menurut saya bagus juga untuk promosi barang-barang ini,” ujar Julluis Wiraputra yang sedang belajar Bahasa China di Universitas Quandong. “Beberapa sudah ada disini, tapi warga China kurang mengerti kegunaan produknya.”
Saat dihubungi ABC, Julluis mengaku pernah merasakan meriahnya hari berbelanja ‘Single’s Day’.
“Saya sudah menunggu sejak pukul 11 malam dan mulai mencari-cari barang,” katanya. “Setelah pukul 12:00 [pergantian hari ke 11 November], akses situsnya tersendat, yang sudah dibayar bisa gagal kebeli.”
Mahasiswa lainnya asal Indonesia di China adalah Ade Ditayanti, yang juga menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di provinsi Shandong, juga merespon soal produk yang akan dijual.
“Saya pernah kasih kopi luwak dan mie goreng instan, mereka senang sekali, jadi sepertinya ada pangsa pasarnya disini,” kata Ade.
Tapi Ade menjelaskan tidak ada kaitannya antara ‘Single’s Day’ dengan menjadi lajang.
“Tidak berarti saya lajang dan merayakannya dengan berbelanja.”
“Saya bisa belanja kapan saja, karena di hari-hari lain juga diskon, tapi tidak sebesar diskon di hari ‘Single’s Day’,” ujarnya.
Jadi kesempatan untuk Asia Tenggara dan Australia
Eva Huang, seorang dosen hukum bisnis dari University of Sydney di Australia mengatakan kepada ABC jika ada arti khusus dari pemilihan ‘Single’s Day’ atau Hari Lajang.
Menurutnya 11 November terpilih karena angka ‘1’ dalam bahasa Cina memiliki arti kesendirian.
Dari hari belanja ‘Single’s Day’ tahun lalu Alibaba berhasil meraup lebih dari Rp 330 triliun dalam 24 jam penjualan di platformnya. Jumlah ini melebihi gabungan penjualan ‘Black Friday’ dan ‘Cyber Monday’ di Amerika Serikat.
Jaringan ‘e-commerce’ terbesar di Asia Tenggara, Lazada, juga ikut membawa hari belanja ini dengan menawarkan sejumlah penawaran yang menarik.
“‘e-commerce’ di Asia Tenggara telah berkembang pesat dan akan terus meningkat dalam beberapa tahun kedepan,” ujar Lazada Group kepada Erwin Renaldi.
Sementara itu di Australia, pakar ritel ternama Gary Mortimer mengatakan ‘Single’s Day’ juga baik untuk produsen asal Australia untuk membawa produknya ke pasar online di China.
“Ada permintaan yang banyak untuk produk-produk buatan Australia … baik di Alibaba atau pun bukan,” ujar Gary, yang juga pengajar Business School di Queensland Univeristy of Technology.
“Kita juga melihat ritel milik komunitas China di kota-kota besar Australia memanfaatkan hari tersebut.”
“Saya tahu di kawasan Sunnybank, di Brisbane yang memiliki komunitas China terbesar, kita akan melihat ritel milik warga China juga mempromosikan ‘Single’s Day’,” ujarnya.