ABC

India Mulai Geser Australia di Pasar Daging Indonesia

Masuknya daging kerbau beku asal India ke pasar daging di Indonesia berdampak pada penurunan permintaan sapi Australia sekitar 60 persen.

Indonesia merupakan pasar ternak sapi terbesar Australia, dengan jumlah pada kisaran 700.000 ekor sapi dalam beberapa tahun terakhir.

Namun naiknya harga sapi Australia ke tingkat tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat lonjakan harga daging sapi di pasar Indonesia.

Akibatnya, pada tahun 2016 Pemerintah RI pun membuka keran impor daging kerbau beku asal India dengan pertimbangan memenuhi kebutuhan daging dengan harga terjangkau.

Masuknya daging beku tersebut menyebabkan penurunan drastis sapi Australia. Tahun lalu misalnya, Indonesia hanya mengimpor 280.000 ekor sapi Australia.

Eksportir Kevin Mulvahil dari South East Asian Livestock Services (SEALS) kepada ABC menjelaskan kondisi ini mempengaruhi industri peternakan sapi di Australia.

“Bukan hanya eksportir dan produsen, tapi juga semua pihak yang terkait dengan mata-rantai pasokan,” ujarnya.

“Dengan penurunan angka ekspor maka pangkalan ternak, perusahaan pengakutan dan penyedia jasa lainnya akan mengalami pengurangan pendapatan sebab mereka sangat bergantung pada ekspor ternak sebagai sumber pendapatan utama,” jelasnya.

Daging kerbau India “mematikan kami”

Australian cattle penned in an Indonesian feedlot.
Permintaan sapi Australia di Indonesia menurun lebih dari separuh sejak masuknya daging kerbau beku asal India.

ABC Rural: Lydia Burton

Bukan hanya kalangan industri Australia yang merasakan dampak siatuasi ini. Tempat-tempat penggemukan sapi di Indonesia juga tergantung pada sapi dari Australia.

Menurut Nyoman Budiasa, manajer penggemukan Juang Jaya Abdi Alam (JJAA) di Lampung, menyamakan situasi sulit saat ini dengan situasi sulit saat ada larangan ekspor ternak di Australia.

“Ini masa tersulit kedua dengan permintaan penurunan permintaan daging sapi sekitar 60 persen. Masa tersulit pertama terjadi pada 2011 ketika Australia melarang ekspor ternak,” katanya kepada ABC.

Hal senada diungkapkan Paulus Hadi Subroto yang mengelola penggemukan sapi di Sumatera Utara. Dia menggemukkan sekitar 9.000 ekor sapi pertahun yang umumnya berasal dari Australia.

Saat ditanya mengenai dampak masuknya daging kerbau beku terhadap usahanya, Paulus mengatakan hal itu “membunuh kami”.

“Daging kerbau beku yang masuk ke Indonesia membunuh industri peternakan. Bukan hanya industri ternak impor secara langsung, tetapi pertenak skala kecil juga merasakan dampaknya,” kata Paulus.

“Para tukang daging mengurangi jumlah ternak yang mereka beli dari tempat penggemukan,” katanya.

“Berapapun kita kurangi harganya, kita tidak bisa mengalahkan daging kerbau beku,” tambahnya.

Daging asal India tak bisa dibedakan

Salah satu permasalahan utama bagi industri peternakan Australia yaitu daging kerbau beku asal India dijual bercampur dengan daging sapi segar asal Australia di pasar daging Indonesia.

Daging kerbau asal India tidak diidentifikasi sebagaimana mestinya, sehingga konsumen tidak tahu pasti bahwa yang mereka sebenarnya bukanlah daging sapi Australia, yang selama ini dianggap sebagai daging kualitas terbaik.

Regina Hartono, Direktur PT Hade Dinamis Sejahtera di Jawa Barat, mengakui adanya dampak masuknya daging kerbau asal India.

Regina Hartono standing under a shed with cattle penned up behind her.
Fasilitas penggemukan sapi di Jawa Barat ini telah mengurangi permintaan sapi Australia sebagai akibat dari masuknya daging kerbau beku asal India.

ABC Rural: Lydia Burton

“Sejak diizinkannya daging asal India, agar tetap kompetitif kami harus mengikuti harga mereka. Artinya kami perlu menurunkan harga,” katanya.

“Tahun ini kami hanya menjual daging sapi Australia seharga Rp40.000. Kami membeli ternak ini dari Australia ketika dengan $ 3,10 perkilo ditambah pajak, sama dengan sekitar Rp 45.000 – Rp 46.000 perkilo,” jelasnya.

Faktor lain yang turut berpengaruh adalah penetapan Pemerintah RI mengenai harga tertinggi daging sapi untuk memastikan keterjangkauan harga.

Regina mengatakan hal ini membuat perusahaannya mengurangi pesanan ternak dari Australia.

“Kami tidak terlalu optimis. Itu sebabnya kami hanya mengimpor 1.000 ekor sapi per bulan. Jika kondisinya lebih baik kami akan mengimpor lebih banyak,” katanya kepada ABC.

“Tahun lalu kami mengimpor 1.500 ekor sebulan. Kami bukanlah pemain besar karena baru memulai pada tahun 2016. Kami tumbuh secara bertahap. Tetapi terkait masalah harga ini pertumbuhan kami sangat lambat,” paparnya.

Meskipun harga sapi Australia telah turun lebih 50 sen perkilo sejak awal 2018, kalangan industri asal Indonesia dan Australia menghendaki pengurangan daging kerbau beku asal India. Atau setidaknya, daging kerbau tersebut diidentifikasi secara jelas di pasar daging.

“Kami belum melihat tanda-tanda impor daging kerbau India melambat,” kata Regina.

“Kami ingin agar impor daging asal India diatur sehingga tersedia lebih banyak ruang bagi pelaku penggemukan. Jika mereka terus saja mengimpor, tidak akan ada ruang bagi kami untuk bertahan di pasar daging,” katanya.

“Saya melihat sendiri sekitar tiga penggemukan ternak sudah tutup karena masa yang sulit saat ini,” jelas Regina Hartono.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.