ABC

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Kini Lebih Rendah Dari Timor Leste

Indonesia meraih skor 37 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International Indonesia (TII), menempatkannya di peringkat 102 dari 180 negara.

Skor IPK Indonesia kini setara dengan Gambia, sebuah negara di benua Afrika, dan lebih rendah dari Timor Leste dengan skor IPK 40 dan berada di peringkat 86.

Dengan peringkat ini artinya Indonesia telah turun dari urutan 85 dengan skor 40 yang dicapai di tahun 2019.

Di kawasan Asia Tenggara, Singapura menjadi negara dengan skor IPK tertinggi yakni 85, yang menempatkannya di peringkat 3 dunia, sementara Kamboja menjadi yang terendah dengan skor 21 di peringkat 160.

Sejumlah faktor penyebab penurunan

Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, J Danang Widoyoko, menurunnya IPK mengindikasikan terjadinya korupsi dipicu kebijakan yang terfokus pada ekonomi dan investasi namun mengabaikan faktor integritas.

Termasuk dalam hal penanganan pandemi COVID-19 saat ini.

Danang menjelaskan penurunan terbesar dipicu oleh korupsi yang “masih lazim” dilakukan oleh pebisnis kepada penyedia layanan publik untuk mempermudah kegiatan mereka, salah satunya adalah memberi suap pejabat.

Di tahun 2020, Edhy Prabowo yang pernah menjabat sebagai menteri kelautan dan perikanan ditangkap dengan tuduhan suap izin ekspor benih lobster.

Julia P Batubara, mantan menteri sosial juga ditetapkan tersangka oleh KPK dengan dugaan suap pengadaan barang dan jasa terkait bantuan sosial COVID-19 dan membuat banyak pihak meminta Pemerintah mengubah skema pemberian bantuan.

Mensos sosial juliari batubara
Juliari Batubara yang pernah menjabat sebagai menteri sosial ditahan KPK pada awal Desember lalu atas dugaan suap bantuan sosial penanganan COVID-19 di Jabodetabek.

Antara Foto, Galih Pradipta

Dalam pernyataan TII, Danang menyebutkan korupsi juga terjadi “secara mendalam” dalam sistem politik di Indonesia, dengan turunnya poin pada variabel terkait demokrasi.

Tapi Indonesia mencatat kenaikan dua poin terkait dengan hukum, yang menurut Danang bisa dilihat sebagai “upaya perbaikan pada penegakan supremasi hukum.”

Selain IPK secara umum, Transparency International juga bahwa menemukan negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi terbukti tidak terlalu mampu menangani pandemi COVID-19.

“COVID-19 bukan hanya [sekedar] krisis kesehatan dan ekonomi. Namun juga krisis korupsi dan demokrasi,” ujar Delia Ferreira Rubio, Ketua Dewan Pengurus Transparency International di Berlin saat peluncuran Corruption Perception Index, Kamis (28/01) kemarin.

Lembaga DPR
Lembaga politik seperti DPR berperan dalam menentukan indeks perspesi korupsi di Indonesia.

Foto: Wikimedia Commons

Bukan hal yang mengejutkan

Menanggapi hasil riset TII, Menteri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan penurunan IPK ini menjadi “yang terparah” yang dialami Indonesia.

Ia menjelaskan alasannya karena sejak 1997 IPK Indonesia selalu mengalami kenaikan perlahan atau minimal stagnan.

Namun, Mahfud mengaku tidak kaget dan sudah memperkirakan penurunan skor Indonesia.

“Saya memang sudah merasakan, nampaknya kalau dari sudut persepsi, … memang di tahun 2020 ini, [IPK] itu akan sekurang-kurangnya stagnan, kalau tidak turun. Sejak awal saya sudah berpikir begitu.”

“Sebagai persepsi it’s okay, karena itu selalu muncul. Meskipun ketika bicara soal data, apa yang dilakukan, berapa uang yang diselamatkan pada tahun pertama itu. Tentu bisa disimpulkan secara hati-hati,” ujar Mahfud dalam konferensi pers virtual.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 yang turun ini juga ditanggapi oleh juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman.

“Pada intinya, Presiden Jokowi tegas untuk menciptakan pemerintahan antikorupsi,” kata Fadjroel, di Jakarta, Kamis (28/01).

“Presiden selalu menekankan kepada kementerian dan lembaga serta seluruh pelaksana kebijakan dan program pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi dan mendukung lembaga penegakan hukum untuk menindak para pelaku korupsi sesuai regulasi, tanpa pandang bulu,” tambahnya.

Secara terpisah, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko juga mengatakan komitmen Pemerintah dalam pemberantasan korupsi tidak akan berkurang, yang dinyatakan melalui pembangunan sistem pencegahan bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Sistem pencegahan korupsi dari hulu ke hilir bernama Strategi Nasional Pencegahan Korupsi [Stranas PK] bisa membentuk sistem yang menutup celah korupsi,” ujar Moeldoko, Kamis (28/01).

Korupsi jadi bentuk nyata ‘penyalahgunaan kekuasaan’

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera sekaligus Anggota Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, Bivitry Susanti mengingatkan berbagai indikator, termasuk IPK, harus dimaknai lebih dalam lagi.

Menurut Bivitry, dalam memaknai penurunan skor IPK Indonesia, korupsi harus dilihat bukan sebagai sebatas tindak pidana korupsi atau kerja-kerja KPK, tetapi juga berkaitan dengan situasi penegakan hukum, lembaga penegak hukum, pelaporan dan kritik, dan peran lembaga-lembaga politik dan partai politik.

“Dan dalam situasi yang begitu hiruk-pikuk, kita kemudian harus berbicara juga soal kebebasan sipil dan kebebasan media.”

“Karena misalnya untuk pelaporan dan kritik sampai dengan korupsi bisa diusut dan lain sebagainya, butuh ruang-ruang untuk kebebasan sipil, butuh ruang-ruang untuk kebebasan media, … yang memungkinkan korupsi untuk dikritik, diberitahu, diselidiki, masuk proses hukum, dibongkar, dan lain sebagainya.”

Ia menambahkan, IPK adalah pengingat tentang kondisi korupsi di Indonesia yang masih harus terus dibenahi, sementara korupsi sendiri bisa dibaca sebagai wujud konkret penyalahgunaan kekuasaan.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dan Erwin Renaldi