ABC

Impor Sapi Australia Tahun Ini Turun Drastis

Konsultan peternakan Dr Ross Ainsworth menyatakan situasi yang dialami para importir ternak dan perusahaan penggemukan sapi impor di Indonesia saat ini sangat buruk.

Tahun ini ekspor ternak sapi dari Australia utara ke Indonesia telah mengalami penurunan secara signifikan. Indonesia merupakan pasar ekspor sapi terbesar bagi Australia.

Tingginya harga sapi di Australia, ketatnya aturan harga daging sapi di Indonesia, serta alternatif sumber protein yang lebih murah, kesemuanya berkontribusi terhadap melemahnya permintaan tersebut.

Menurut Dr Ainsworth yang berbasis di Jakarta, perusahaan penggemukan sapi saat ini kesulitan menghasilkan keuntungan.

“Pada umumnya importir berada dalam situasi merugi. Mereka dengan terbuka mengakui tidak dapat menghasilkan keuntungan dalam kondisi pasar saat ini,” katanya.

“Biayanya hampir $ 1 per kilogram untuk mengirimkan ternak dari Australia Utara ke Indonesia. Jadi jika harganya $ 3,30 (per kg) di Australia, yang secara konsisten berlaku dari Darwin ke Indonesia tahun ini, maka harganya sekitar $ 4,30 untuk sampai ke sini,” kata Dr Ainsworth mengenai biaya per kg impor sapi dari Darwin ke Indonesia.

“Kemudian, proses penggemukannya adalah proses yang sangat efisien. Menambah beratnya 150 kilogram dengan biaya cukup rendah. Tapi kemudian harus menjual hewan tersebut seharga $ 4 per kilogram, setelah membelinya dengan harga $ 4,30,” tuturnya.

"Pemerintah (Indonesia) menegaskan bahwa perusahaan penggemukan tidak boleh menaikkan harga," jelasnya lagi.

“Jadi, kecuali Anda bisa menambah berat ternak dengan biaya sangat murah, maka Anda tidak bisa mendapatkan keuntungan kalau menjualnya dengan harga lebih murah,” katanya.

Dr Ainsworth mengatakan ada risiko beberapa perusahaan penggemukan terpaksa ditutup.

“Saya tidak tahu seperti apa kerugiannya. Tapi saya yakin mereka mengalami kerugian dan cepat atau lambat bisnis yang terus merugi tidak dapat bertahan dan harus ditutup,” katanya.

“Secara umum hal itu tampaknya merupakan akibat logis dari semua ini menurut pandangan saya,” paparnya.

Pengaruh daging kerbau India

Sejak diperbolehkannya daging kerbau India masuk ke Indonesia akhir tahun 2016, permintaan daging sapi Australia telah mengalami penurunan sekitar dua kali lipat.

Pemerintah RI mengizinkan impor daging kerbau asal India sebagai upaya mencari sumber protein yang lebih murah.

Hal ini terlepas dari adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa daging impor yang berasal dari negara-negara yang rentan terhadap penyakit kaki dan mulut (PMK) hanya boleh diimpor dalam keadaan darurat pasar. Saat ini keadaannya jelas tidak darurat.

Dr Ainsworth, yang merupakan penulis laporan South-East Asian Beef Report, menjelaskan dalam tempo tiga sampai enam bulan daging kerbau India telah menguasai 50 persen pasar untuk produk daging low-end.

"Angka yang kami dengar untuk harga daging kerbau India adalah $ 8 per kilogram (sekitar Rp 80 ribu), sedangkan produk daging Australia dan daging lokal segar di pasar basah dijual dengan harga sekitar $ 12 per kilo," katanya.

Namun Dr Ainsworth tetap yakin daging kerbau India tidak akan bisa lagi merebut pangsa pasar lebih besar di Indonesia.

“Tampaknya daging kerbau India telah mencapai keseimbangan pasar. Saya tidak melihat alasan mengapa Pemerintah Indonesia ingin mengubah hal itu. Jadi saya kira akan tetap seperti sekarang,” katanya.

Masa depan suram

Sementara itu, Dr Ainsworth memperkirakan saat ini ada sekitar 170.000 ekor sapi di berbagai perusahaan penggemukan di Indonesia. Jumlah tersebut sekitar setengah dari total daya tampung yang ada.

Namun pertanyaan yang muncul di kalangan perusahaan tersebut adalah bagaimana penyaluran sapi-sapi tersebut nantinya?

“Pemilik ternak tersebut cukup khawatir bahwa mereka mungkin tidak dapat menjual ternaknya saat telah menjadi gemuk pada November dan Desember ini,” kata Dr Ainsworth.

“Jadi secara keseluruhan industri ekspor ternak Australia cukup suram karena pelanggan mereka berada dalam posisi sangat lemah. Bagi para importir keadaannya lebih buruk lagi karena perusahaan mereka berisiko mengalami kegagalan,” jelasnya.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.