ABC

Imbas Penyalahgunaan Cagar Alam di Balik Banjir Bandang Sentani

Banjir bandang yang melanda wilayah Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, telah berlangsung sepekan dan membuat lebih dari 9600 orang mengungsi. Untuk menghindari bencana serupa berulang, relokasi semua pemukiman yang berada di wilayah banjir dan cagar alam Cyclop-pun mulai direncanakan.

Alam menjawab tindakan destruktif manusia. Sejak sekitar 7 tahun belakangan, wilayah Danau Sentani dan cagar alam Cyclop makin banyak ditinggali pemukim.

Para pendatang ini menempati wilayah hutan yang tak seharusnya tersentuh manusia. Mereka membuka lahan baru yang banyak diisi dengan perkebunan tradisional.

Sebelum banjir bandang terjadi 17 Maret pekan lalu, ada sekitar 600 kepala keluarga yang bermukim di sekitar Danau Sentani. Belum lagi, lebih dari 2000 warga yang tinggal di daerah yang kini terdampak parah.

“Terakhir banjir di Sentani 2007. Korbannya tidak sampai 10, mungkin ada 4 atau 5,” kata Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, kepada ABC.

Banjir bandang kali ini diikuti dengan kenaikan level permukaan air Danau Sentani setinggi 2 meter, sebut Mathius. Akibatnya semua rumah di sekitar danau terendam, dan hanya menyisakan bangunan gereja dan Gedung sekolah, yang memang terletak di dataran lebih tinggi.

Menurut Bupati, curah hujan yang tinggi turut menjadi faktor penyebab banjir. Meski demikian, Mathius tak menampik kerusakan lingkungan sebagai faktor yang sangat penting.

“Ini kan kondisi di Papua, banyak masyarakat kami di beberapa kabupaten di pegunungan itu banyak warga masyarakatnya yang turun ke Jayapura.”

“Tetapi dari segi ekonomi, tidak bisa lah ada di kota dan untuk bertahan hidup mereka berkebun di daerah-daerah yang sebenarnya tidak boleh,” jelas Mathius.

Para pengungsi banjir sentani yang tinggal sementara di kantor Bupati Jayapura.
Para pengungsi banjir sentani yang tinggal sementara di kantor Bupati Jayapura.

Supplied; Pemkab Jayapura

Area bermukim yang makin melebar, hingga masuk wilayah hutan, itu juga bisa dilihat dari potret populasi di sana.

Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, ada peningkatan drastis dari jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura.

“Susah kita deteksi juga karena migrasi datang pergi datang pergi dan tinggalnya juga dari satu keluarga berpindah ke keluarga lain. Jadi penduduk yang ada (sekarang) ini 252.000 sekian ya.”

“Kira-kira 10 tahun lalu masih 100 ribuan-lah, kenaikannya cukup besar. Bukan itu saja, ada migrasi dari luar Papua juga,” ungkap Mathius.

Dalam hitungan hari sejak banjir bandang terjadi, pemerintah setempat -mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi -langsung mewacanakan rencana relokasi

Menanggapi rencana relokasi tersebut, Pace Charles -Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan sebaiknya solusi mencegah terjadinya banjir tak hanya berhenti di relokasi.

“Yang paling penting, kalau kita berkaca dari rencana tata ruang wilayah tadi, adalah bagaimana komitmen Pemerintah, pertama dalam penertiban Kawasan (cagar alam) tersebut,” sebut Charles kepada ABC.

Ia juga menekankan perlunya perhatian terhadap hak ulayat masyarakat adat.

“Misalnya masyarakat adat Sentani, mereka tetap mengklaim bahwa ada wilayah adat mereka di sepanjang kawasan Cyclop.”

Lebih lanjut Charles mengungkapkan, ada negosiasi antara pendatang di Kabupaten Jayapura dengan masyarakat adat terkait pemukiman.

“Sehingga ketika mereka menempati wilayah-wilayah itu, mereka tidak hanya tinggal saja, mereka membayar. Ada yang membayar fee kepada masyarakat adat setempat, pemilik hak ulayat.”

Di situlah, papar Charles, Pemerintah harus hadir untuk memfasilitasi proses-proses tersebut, bahkan menjelaskan dampak terhadap lingkungan ketika cagar alam diusik.

Sejak terjadi pekan lalu, banjir bandang Sentani telah menelan 104 korban tewas.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, masih ada sekitar 79 orang yang belum ditemukan dan 9691 orang mengungsi yang tersebar di 18 titik pengungsian.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.