Ilmuwan Queensland Kembangkan Vaksin Anti-Alergi Makanan
Vaksin alergi makanan pertama di dunia segera bisa jadi kenyataan. Saat ini, para ilmuwan di Queensland tengah meneliti protein dalam ikan, kerang dan telur yang menyebabkan reaksi merugikan.
Kelompok Penelitian Imunologi Molekular di Universitas James Cook sedang mengembangkan pengobatan alergi makanan di Laboratorium Penelitian Alergi Molekular, di universitas tersebut.
Profesor Andreas Lopata adalah ilmuwan yang menganalisa struktur molekul protein yang menyebabkan reaksi alergi terhadap 40 jenis ikan, banyak di antaranya dikonsumsi di Australia.
Tujuannya adalah untuk memodifikasi protein sehingga mereka bisa digunakan sebagai agen terapi, atau vaksin.
"Imunoterapi, atau terapi terhadap alergen makanan, Anda bisa bayangkan hampir seperti vaksin, sehingga itu bukan pengobatan akut seperti epi-pen," jelas Profesor Andreas.
“Pengobatan ini jauh lebih canggih,” tambahnya.
Karena protein alergi beragam yang terdapat pada hewan dan makanan, vaksin berbeda perlu dikembangkan untuk berbagai jenis ikan dan makanan.
Tapi Profesor Andreas mengatakan, vaksin generasi pertama bisa dikembangkan dalam waktu empat tahun.
“Itu akan menjadi yang pertama di dunia karena belum ada yang tersedia secara komersil saat ini,” sebutnya.
Ia mengungkapkan, “Kami harus punya terjemahan awal yang sangat baik dari temuan kami dalam soal diagnosa makanan.”
Peneliti kembangkan tes alergi
Analisa ini juga digunakan untuk menciptakan cara menguji ikan mana yang membuat seseorang menderita alergi.
Profesor Andres mengatakan, diagnosa saat ini sebagian besar didasarkan pada ikan cod, yang tak dikonsumsi secara umum di Australia.
"Itu berarti pasien datang dengan beberapa jenis alergi terhadap ikan tetapi tak jelas jenis ikan apa -apakah itu ikan cod, apakah itu ikan hake, apakah itu ikan barramundi atau apakah itu makarel," utara Prof Andreas.
Sampel darah dan informasi dari sekitar 200 anak dengan alergi ikan diambil dari Rumah Sakit Westmead Children di Sydney, untuk membantu mengembangkan tes komprehensif.
Profesor Andreas mengatakan, tes itu bisa siap dalam waktu dua tahun.
“[Ini akan] membantu dokter dan praktisi untuk benar-benar mendiagnosa pasien dengan baik. Masyarakat berpikir alergi ikan bukanlah hal umum tetapi kami memiliki 200 anak, lebih dari 200 anak-anak malahan, yang punya beberapa jenis alergi terhadap ikan,” kemukanya.
Ia lantas menyambung, “Kami kini membantu mengembangkan diagnosa baru karena yang ada saat ini sangat sulit untuk digunakan, karena seringkali salah.”
Penelitian, yang didanai oleh badan Kesehatan Nasional dan Dewan Penelitian Medis Australia, ini sekarang sedang diperluas ke pengamatan terhadap makanan lain. Para peneliti juga fokus pada pengembangan imunoterapi terhadap kerang dan telur.
Dewan penelitian tersebut, baru-baru ini, menghibahkan tambahan 318.768 dolar (atau setara Rp 3,18 miliar) ke universitas untuk penelitian dan pengembangan lebih lanjut.