Ilmuwan Australia Ciptakan Robot yang Bisa Basmi Gulma dan Sebar Pupuk
Queensland University of Technology (QUT) Australia menyatakan berhasil mengembangkan robot pembasmi gulma atau rumput liar yang sepenuhnya otonom dan bisa memangks biaya pengendalian gulma hingga 90 persen. Jika diterapkan, temuan ini berpotensi menghemat 1,3 miliar dollar pertahun di sektor pertanian negara itu.
Robot ciptaan ilmuwan di QUT ini diberi nama AG BOT II, seukuran mobil golf, dilengkapi dengan rig untuk penyemprotan bahan kimia dan menyebarkan pupuk.
Ketua program robotika pertanian QUT, Professor Tristan Perez, menjelaskan robot ini juga dilengkapi kamera yang memungkinkan untuk mengidentifikasi gulma secara real time dan memutuskan cara terbaik untuk membasminya.
“Robot ini menggunakan gambar dari kamera, dan dengan adanya program kecerdasan buatan (artificial inteligence) yang telah dilatih dengan berbagai contoh, dan berdasarkan itu lalu memeriksa fitur tertentu,” kata Prof. Perez.
“Dari situ robot ini kemudian mengklasifikasikan jenis gulma yang ada di gambar,” katanya.
"Berdasarkan informasi tersebuyt robot ini membuat keputusan apakah untuk membasmi gulma dengan bahan kimia atau dengan metode mekanis," jelas Prof. Tristan Perez.
Dikembangkan dengan investasi $ 3 juta dari Pemerintah Queensland, AG BOT II yang bertenaga surya ini diharapkan bisa membantu mengatasi masalah semakin memburuknya resistensi herbisida.
Sejumlah spesies gulma diketahui semakin memiliki resistensi terhadap bahan kimia dengan skala luas seperti glifosat dan paraquat melalui proses seleksi, dimana tanaman yang rentan memang mati tapi tanaman dengan gen resistensi yang terjadi secara alamiah justru tetap hidup.
Setelah beberapa generasi rumput liar atau gulma, gen resistensi tersebut menjadi dominan, membuat para petani harus menemukan alternatif yang seringkali mahal dalam membasmi gulma.
Cara Baru Atasi Gulma
Sementara itu, di wilayah perkebunan gandum Australia Barat, tanaman lobak liar ternyata telah memiliki resistensi terhadap setidaknya empat kelompok herbisida.
Beberapa petani di sana menebar humus sedalam 30 cm hanya untuk menghentikan siklus pertumbuhan gulma tersebut.
Menurut Prof Perez, robot AG BOT II ini bukan hanya tidak hanya menawarkan pilihan bagi petani yang tidak bisa lagi gunakan bahan kimia. Namun juga bisa mencegah resistensi baru yang muncul dalam populasi gulma.
“Robot beroperasi pada kecepatan rendah, dan ini memungkinkan cara baru atasi gulma,” katanya.
“Jika robot menemukan gulma yang dia tahu telah tahan herbisida, maka robot itu bisa menanganinya secara mekanis,” jelasnya.
“Atau hal lain yang juga bisa dilakukan adalah mengandalkan berbagai bahan kimia pada robot. Dan tergantung jenis gulmanya, Anda putuskan bahan kimia mana yang digunakan,” katanya.
QUT memperkirakan harga robot berkisar $ 20 ribu (sekitar Rp 200 juta). Juga diperkirakan beberapa robot dipakai bersamaan pada setiap lahan untuk mempercepat pemberantasan gulma, dan dengan sendirinya menggantikan traktor dan peralatan pertanian mahal lainnya.
Robot ini juga bisa mengurangi herbisida terbuang ke Great Barrier Reef dengan mengurangi penggunaannya penerapakan yang sangat tepat.
Sejumlah Kemungkinan Penerapan
Drektur utama Austchilli, perusahaan cabai terbesar di Australia, David de Paoli, melihat langsung ujicoba robot itu di daerah Bundaberg belum lama ini.
Menurut dia, dalam operasinya robot ini bisa diterapkan untuk beberapa kemungkinan.
“Dari pengamatan hama hingga pembasmian gulma, penyemprotan, hingga penebaran bahan kimia dan pupuk, jika dipikir-pikir sulit dipercaya apa yang dapat dilakukan oleh robot ini,” ujarnya.
Menurut David de Paoli, meskipun dia tidak yakin berapa banyak penghematan yang bisa dicapai dengan menggunakan AG BOT II, namun penting untuk mulai memikirkan proses pertanian yang tepat untuk menghemat biaya.
“Tentu saja ada penghematan. Sebab kini semuanya mahal, pupuk, penyemprotan, pengairan, penyiangan, dan pemeliharaan peralatan,” ujarnya.
“Begitu memulai proses pertanian yang tepat dan mulai memotong biaya, Anda akan kaget berapa banyak yang bisa Anda hemat dalam setahun,” kata de Paoli.
Dia mengaku melihat sendiri dampak resistensi herbisida di lahan pertaniannya. Kini para petani sedang mencari cara alternatif untuk memerangi masalah ini.
“Biaya buruh terlalu mahal untuk diturunkan mencabuti secara manual setiap gulma di lahan Anda. Jadi ini adalah pilihan kami sebelum sampai ke akhir persoalan,” katanya.
Tapi De Paoli mengatakan para peneliti masih belum sepenuhnya mampu meyakinkan dia perlu mengeluarkan uang membeli robot AG BOT II.
“Saya bilang ke mereka saya tidak akan keluarkan uang. Tapi pergilah ke lahan saya, ikuti proses di sana, bekerja dengan bagian komersial kami, yaitu mereka yang setiap hari bekerja menghadapi masalah,” katanya.
“Kita akan mewujudkannya melalui kerjasam antara bagian komersial dan pihak akademisi. Tapi sebelum itu, mereka tak akan kemana-mana,” ujarnya.
"Terapkan di dunia nyata dengan dua pengalaman yang menyatu. Pengalaman teknologi dan pengalaman orang lapangan. Lalu saya akan membeli robot itu," kata David de Paoli.
Prof Perez menjelaskan tahap berikut dari proyek ini adalah mengembangkan dua atau tiga robot yang akan diuji di lahan pertanian industrial.
“Kami mendiskusikan hal ini dengan mitra komersial karena kami ingin membuat desain baru robot ini, yang merupakan versi komersialnya. Sehingga kami dapat memastikan penetrasi pasar dan adopsi dari robot ini,” katanya.
“Bahwa ini merupakan solusi yang baik dengan harga yang terjangkau bagi petani,” tambah Prof. Perez lagi.
Diterbitkan Pukul 14:00 AEST 24 Oktober 2016 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.