ABC

‘Ibu, Ini Anakmu’: Kisah Anak Timor Leste yang Diambil Tentara Indonesia

Pernah diambil oleh seorang tentara Indonesia saat masih berusia delapan tahun, ingatan Alis mengenai keluarganya di Timor Leste sudah memudar. Lalu, suatu hari datanglah seseorang mencari dirinya.

"Hati saya hancur karena telah meninggalkan ibuku di gereja," ujar Alis.

"Saya merasa bersalah sebab bila saya tak meninggalkannya, mungkin saya akan berada di sisinya saat beliau meninggal dunia."

"Mungkin saja saya beruntung dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Namun ibu dan ayah, yang telah kehilangan anaknya, tentu saja sangat menderita."

Di bawah bayang-bayang gedung Gereja Katolik berdinding cerah di Ainaro, Timor-Leste, Kalistru, beranjak menuju jalan desa. Dia masih kanak-kanak berusia delapan tahun. Tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa dia tidak akan pernah lagi melihat ibunya sejak itu.

Ini kejadian di tahun 1977, ketika Timor-Leste masih dalam situasi perang. Dua tahun sebelumnya, tentara Indonesia masuk dan menduduki wilayah bekas jajahan yang ditinggalkan Portugis. Terlalu muda untuk ikut dalam perjuangan seperti saudara-saudaranya, Kalistru selalu berada di sisi ibunya di tengah situasi kacau ketika itu.

The church at Ainaro.
Outside the church at Ainaro, Timor-Leste, Alis Sumiaputra was taken by an Indonesian soldier.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Kalistru dan kawan-kawannya tak menyadari adanya sekelompok tentara Indonesia yang telah menunggu saat dia meninggalkan gereja hari itu. Mereka begitu asyik bermain di jalanan. Lalu seorang tentara mendekati anak-anak itu dan menanyakan apakah dia bisa ikut bermain bersama mereka.

“Kalian tahu ibukota Indonesia, Jakarta?” ujar tentara itu. “Tidak tahu,” jawab mereka. “Kalian mau pergi ke sana?”

Mereka masih kanak-kanak yang terlalu lugu untuk menganggap tentara Indonesia sebagai musuh. Tentu saja mereka senang diajak berpetualang ke kota besar. Tak berselang lama, anak-anak ini pun sudah berada dalam mobil Jeep milik tentara menuju ke Kota Dili.

Begitu senangnya sampai-sampai Kalistru tak lagi ingat untuk memberitahu orang tua dan keluarganya. Ibunya masih beribadah di dalam gereja ketika itu.

Perlu 42 tahun sebelum Kalistru bisa berdiri di depan gereja itu lagi, kembali ke sana sebagai orang tua, dengan rasa bersalah dan penyesalan mendalam atas apa yang terjadi saat itu.

Generasi yang dicabut dari akarnya

Diperkirakan lebih dari 4.000 anak-anak Timor Leste dicerabut dari akarnya selama penduduk Indonesia antara tahun 1975 dan 1999. Beberapa LSM menyebut jumlahnya bahkan lebih besar lagi.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk kemerdekaan Timor-Leste di tahun 2002 menyimpulkan sekitar dua pertiga anak-anak diambil oleh tentara Indonesia tanpa persetujuan orang tuanya.

Sebagian anak-anak ini dipekerjakan di markas tentara atau diambil sebagai pembantu. Banyak dari mereka, seperti Kalistru, diambil begitu saja atau dijanjikan mendapat kehidupan yang lebih baik di luar Timor-Leste. Dibesarkan sebagai orang Indonesia, atau diterlantarkan jauh dari kampungnya, mereka inilah anak-anak Timor Leste yang dikenal sebagai generasi yang dicabut dari akarnya.

A portrait of Sumia Atmaja.
The Indonesian soldier who took Alis, Sumia Atmaja, adopted him into his family. He was 'good and kind,' says Alis.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Salah seorang tentara Indonesia yang bertugas di Ainaro saat itu adalah Sumia Atmaja. Dia menyelundupkan Kalistru dan anak-anak lainnya ke atas kapal perang RI di Dili, berangkat menuju Jakarta. Dari sana, dia membawa Kalistru ke kampungnya sendiri di Jawa Barat dan mengangkatnya sebagai anak.

Kalistru dipaksa mengganti namanya menjadi Alis Sumiaputra. Dia pun dibesarkan dalam sistem pendidikan Indonesia dan masuk Islam, meninggalkan keyakinan Katolik yang dianut orang tuanya di Timor-Leste.

Perlahan-lahan dia pun melupakan bahasa ibunya, bahasa Tetum. Pada saatnya, Alis akhirnya melupakan hampir semua hal dari masa kanak-kanaknya di Ainaro, bahkan melupakan keluarganya sendiri.

Kini dia dikenal sebagai Alis, menikah dan hidup di desa lain, tak jauh dari desa tempatnya tumbuh di Cigalontang, Jabar.

Saat ini, Alis bekerja sebagai petani padi di Tanjungkarang, bersama istri, seorang anak dan telah dikaruniai seorang cucu.

Alis banyak dikenal orang di desa itu dan rajin pergi ke masjid.

“Alhamdulillah saya bahagia bersama keluargaku,” ujarnya.

Kehidupan Alis di Indonesia bukan kehidupan sengsara. Tentara yang mengambil dia, kata Alis, adalah “orang baik”, dan membesarkan dirinya seperti anak sendiri.

“Dia bilang, kamu bukan orang lain, kamu anak saya. Setelah bertemu ibu angkat saya dan empat anaknya, kami pun sudah seperti saudara kandung. Hubungan kami begitu baik.”

Alis and his sisters and mother laughing.
Alis Sumiaputra with his adopted sisters and mother (centre), and his wife (far left), in Indonesia before his journey home to Timor-Leste.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Alis with mother and sisters.
'We were like real brothers and sisters,' Alis says of his Indonesian siblings.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Alis's grandson.
Alis says his life in Indonesia has been fortunate. He's now a grandfather.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Women in Alis's village.
Women in Alis's village in West Java, Indonesia.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Alis laughing.
Alis was accepted and loved by his Indonesian family. Other stolen children were not as fortunate.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Namun pada 2019, 42 tahun setelah dia dibawa pergi, ingatan Alis mengenai masa silamnya muncul kembali, ketika ayah angkatnya meninggal dunia dan seseorang yang tak dikenalnya datang bertamu.

“Hatiku selalu merindukan orang tuaku sejak ayah angkatku meninggal,” ujar Alis.

"Saat itulah saya teringat semua saudaraku. Dan begitulah ketika Nina datang mencari saya."

Nina Pinto, tamu yang datang mencari Alis, juga adalah anak Timor Leste yang dicabut dari akarnya. Dia berasal dari keluarga di Viqueque, pesisir selatan Timor-Leste.

Orang tua Nina merupaan “Liurai”, bangsawan setempat di sana. Namun status sosial tinggi ini tidaklah sebanding dengan penjajah Indonesia.

Nina baru berusia lima tahun ketika seorang tentara melihatnya dan menyampaikan ke orang tuanya bahwa Nina akan dibawa ke Jakarta sebagai anak tentara itu.

Di sinilah, di pantai Laga, di utara Timor-Leste, Nina mengalami perpisahan memilukan dengan ibu dan ayahnya. Kenangan yang terus menghantuinya.

Itu terjadi pada suatu siang yang terik di tahun 1979. Kapal perang Indonesian sudah menunggu di lepas pantai untuk membawanya pergi.

Orang tua Nina berusaha keras mencegah tentara yang mengambil Nina, mengikutinya hingga ke pantai dan meminta supaya anak mereka dikembalikan.

Namun karena takut ditembak, mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan gadis kecil itu direnggut dari tangan mereka.

“Kamu ingat ya,” ujar ayah Nina, “jika kita tak bisa bertemu lagi, saya harap kamu jangan pernah lupakan saya. Jangan lupakan ayahmu.”

“Tak apa-apa, ayah,” ujar Nina. Lalu ibunya mengecupnya di dahi. “Nina, pergilah. Saya yakin kita akan bertemu lagi.”

Kehidupan Nina di Indonesia tidaklah sama dengan yang dialami Alis. Dia tinggal bersama keluarga tentara tersebut dan dipaksa berganti nama menjadi Lina. Tak lama berselang, dia pun sadar bahwa dirinya akan dijadikan pembantu.

“Saya dibangunkan jam 3 pagi. Saya seperti pembantu, melayani mereka semua, mencuci baju, memasak, segala kerjaan rumah,” katanya. “Setelah selesai barulah saya boleh ke sekolah.”

Nina merindukan keluarganya. “Namun saya tak bisa apa-apa. Saya tak berdaya.”

Tak lama kemudian, ayah angkatnya mulai menggerayanginya. “Sejak kecil, dia sudah sering menyentuh saya,” ujarnya. “Di sana -sini, seperti ini dan itu,” katanya sembari memperagakan sentuhan ke tubuhnya. “Pernah dia bilang saya tak boleh mengecewakan dia.”

Nina Pinto.
Nina Pinto diperlakaukan buruk oleh keluarga tentara Indonesia yang mengambilnya. Dia melarikan diri saat berusia 17, kembali menggunakan nama Timor dan kembali ke memeluk Katolik.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Nina dilarang bicara soal Timor-Leste. Mungkin yang paling keji, ketika tentara itu menyampaikan bahwa orang tuanya sudah mati. “Tapi saya pikir mustahil. Saya percaya mereka masih hidup. Tapi bagaimana mencari mereka?”

Pada akhirnya, justru keluarga Nina yang menemukannya kembali. Ibunya telah berdoa selama 30 tahun. Keluarga Nina akhirnya berhasil menemukannya melalui bantuan TNI dan pada tahun 2009, saat seorang pria yang mirip dengan Nina tiba di kediamannya. Itulah saudara Nina.

Nina sudah lama meninggalkan keluarga angkatnya. Tentara itu juga sudah meninggal. Nina sendiri sudah berkeluarga. Beberapa hari setelah kedatangan saudaranya, ibu Nina pun tiba dari Timor-Leste.

Nina with her mother.
Nina's mother had prayed for their reunion for 30 years. Nina has visited her mum's home in Viqueque, Timor-Leste, many times since they were reunited in 2009.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Nina with her family.
Nina is now married with a family of her own.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Nina holds her mother's hand.
'I believe we will see each other again,' Nina's mother said at their parting in 1979.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

Nina with her mother.
Nina now works for AJAR, an organisation that reunites stolen children with their families.

Foreign Correspondent: Phil Hemingway

"Karena saya masih anak-anak saat pergi, ibuku bilang, mau nggak kamu dipangku sama ibu? Jadi saya pun duduk di pangkuannya dan kami lalu bercerita tentang kehidupan kami masing-masing."

Kegembiraan bertemu keluarganya dibarengi dengan kesedihan karena Nina tahu ayahnya baru saja meninggal setahun sebelumnya. Sampai detik terakhir, sang ayah berpesan ke sang ibu untuk tidak putus asa mencari anak mereka.

“Dia bilang ke ibuku, Nina masih hidup. Kamu harus mencarinya. Dia mirip denganmu. Kamu harus menemukannya.”

Menemukan yang hilang

Sejak pertemuan mereka kembali di tahun 2009, dan di sela-sela kunjungan ke ibunya di Viqueque, Nina menjadi relawan ‘Asia Justice and Rights’ (AJAR), sebuah LSM yang melacak anak-anak Timor yang dibawa paksa ke Indonesia. Melalui aktivitasnya di AJAR, Nina akhirnya menemukan Alis di desanya di Jabar.

Nina shakes hands with Francisco Guterres.
Nina meets the President of East Timor, Francisco Guterres.

Supplied: Armin Septiexan/AJAR

“Dia kaget karena ada orang yang mencarinya,” ujar Nina. “Saya jelaskan saya dari Timor Leste, berusaha menemukanmu. Keluarga di sana mencari kerabat mereka yang hilang. Saya jelaskan soal upaya menyatukan kembali orang-orang seperti dia dengan keluarga mereka di Timor-Leste.”

Dari 4.000-an anak-anak Timor-Leste yang diambil, hanya sebagian kecil yang telah dipertemukan kembali dengan keluarga mereka. Sudah empat dekade sejak Alis meninggalkan tanah Timor, tapi dengan bantuan AJAR dan Nina, dia sudah menelepon beberapa saudara kandungnya.

“Nina menunjukkan saya foto dan itu membantu saya mengingat kembali,” kata Alis. “Setelah sekian lama, akhirnya saya ingat keluargaku.”

Terjalinnya kembali hubungan dengan kelurganya juga membuat Alis sedih. Pasalnya, kedua orang tuanya sudah lama meninggal, begitu pula dua saudaranya. Tapi itu tidak menyurutkan keinginannya untuk bersatu kembali dengan keluarganya.

AJAR pun mengatur reuni sekali setahun untuk sekelompok warga Timor yang ingin kembali.

Alis adalah satu dari 14 orang anak Timor Leste yang diambil dan kini bersiap pulang ke kampungnya untuk pertama kalinya.

Di sebuah pertemuan di Bali sebelum melanjutkan perjalanan ke Timor-Leste, Alis mendengarkan kisah menyakitkan dari anak-anak lainnya yang senasib.

Sebagian besar di antara mereka mengalami pelecehan atau ditelantarkan oleh orang Indonesia. Banyak wanita yang diperkosa oleh tentara, bahkan ketika mereka anak-anak. Yang lainnya menjadi korban penyiksaan atau kekerasan.

Saat ini, sebagian besar anak-anak Timor yang diambil paksa bergelut dalam kemiskinan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak karena tak mendapatkan pendidikan memadai. Sebagian besar tak memiliki status WNI, sehingga tidak berhak memiliki tanah atau paspor.

“Saya sangat tersentuh, sedih,” ujar Alis. “Saya bersyukur karena kecintaan orang tua angkatku, turut membantu saya mengenyam pendidikan dan dukungan finansial. Saya bersyukur kepada Allah atas keberuntungan saya.”

“Tapi menyakitkan mendengar nasib kawan-kawan saya, yang sangat berbeda dengan kehidupan saya di Indonesia.”

Pulang

Menjelang perjalanan pulang, terasa adanya kegembiraan sekaligus kegelisahan. Tak seorang pun dari mereka tahu apa yang diharapkannya ketika kembali ke Timor-Leste. Beberapa di antaranya bahkan takut keluarganya sudah tidak ada lagi.

Alis holds his passport.
Alis saat menunggu keberangkatan ke Timor Leste untuk pertama kalinya setelah meninggalkan kampungnya di sana pada saat berusia delapan tahun.

Supplied: Armin Septiexan/AJAR

Alis juga tampak gugup. Bukan hanya karena dia belum pernah naik pesawat sebelumnya. Alis telah terpisah dari keluarganya selama beberapa dekade dan tidak tahu apa yang diharapkan. Dia tak tahu lagi bahasa Tetum.

“Saya ingin bertemu kembali dengan saudaraku. Itu yang pertama,” katanya. “Yang kedua, aku ingin pergi ke kuburan orang tua kami. Saya ingin berziarah ke kuburan ibu dan ayahku.”

Ketika pesawat sudah berada di atas Dili, mereka pun kian tegang. Begitu melangkahkan kaki di landasan bandara, seorang perempuan di antara mereka, langsung mencium tanah Timor Leste. Ia tampak menangis.

A man walks down stairs from a plane.
A man blows kisses to awaiting relatives as he returns to Timor-Leste since being stolen as a child.

Supplied: Armin Septiexan/AJAR

A man embraces his Timorese family in Dili.
A man embraces his Timorese family in Dili.

Supplied: Armin Septiexan/AJAR

A man hugs his relative.
It's an emotional homecoming for many who have not returned to East Timor since they were children.

Supplied: Armin Septiexan/AJAR

A man hugs a relative.
Some feared their families would not show up at the airport in Dili, only to be welcomed by multiple generations.

Supplied: Armin Septiexan/AJAR

Terjadi pertemuan yang diwarnai isak-tangis bagi mereka yang keluarganya langsung menjemput di Dili. Setelah terpisahkan sekian lamanya, mereka telah dipersatukan kembali.

Saudara-saudara Alis tak mampu membiayai perjalanan ke Dili, jadi mereka menunggu di Ainaro. Nina menemani Alis ke sana.

“Dia senang melihat keluarganya,” katanya. “Dia merasa bingung karena dia pergi saat masih kecil. Dia hanya ingat beberapa keluarganya.”

Butuh setengah hari perjalanan darat ke desa yang terakhir kali dilihat Alis saat masih berusia delapan tahun. Kenangan pun bermunculan selama perjalanan itu.

“Dalam perjalanan pulang dari Ainaro kita akan melewati jembatan panjang, mendaki,” kata Alis.

“Dulu kami naik kuda. Sekarang tentu saja semuanya berbeda. Pasar, ladang tempat mereka menyimpan kuda, saya ingat.”

“Aku ingat bagaimana ranting pohon kopi menjulur ke sungai. Lebih jauh lagi, di situlah kerbau merumput.”

“Dan juga, ada gunung besar, Kablake. Saya ingat.”

Akhirnya, mobil itu tiba di sebuah desa kecil dan berbelok ke jalan berdebu. Alis sampai di rumahnya. Sepupu dan adik laki-lakinya, Antonio, yang pertama menyambut, memeluk Alis dengan hangat. Antonio masih bayi ketika Alis menghilang.

Tapi saudara perempuan dan sepupunya yang lebih tua tidak kuasa menahan air mata. Florinda, Bernadeta dan Laurencia masih remaja ketika Alis diambil tentara.

Alis is greeted by Antonio.
Alis is greeted by Antonio.

Foreign Correspondent

Alis.
Alis reconnects with family in his boyhood village of Ainaro.

Foreign Correspondent

Children in Ainaro watch on as Alis is welcomed home.
Children in Ainaro watch on as Alis is welcomed home.

Foreign Correspondent

Laurencia embraces Alis.
'He is our blood, and because he's our blood, we welcome him gladly,' says Alis's eldest sister Laurencia.

Foreign Correspondent

Sister welcomes Alis.
One of Alis's younger sisters welcomes him home. 'How are you, big brother?'

Foreign Correspondent

A woman cries.
Some of Alis's siblings and cousins were just babies when he was taken.

Foreign Correspondent

"Selama beberapa dekade, kami pikir dia sudah mati," kata Laurencia, saudara perempuannya yang tertua. "Kami tidak marah padanya."

“Ketika perang, suara peluru berdesing seperti suara jagung yang meledak di atas kompor. Ada juga pesawat yang menembak dari udara.”

“Semua orang lari, tidak memikirkan orang tua atau keluarga mereka. Kami naik ke Gunung Kablake dan bersembunyi di sana.”

“Hari ini dia kembali. Dia sudah tua, seperti kami ini.”

Keluarga Alis mengadakan upacara tradisional untuk menyambutnya. Alis dihadapkan dengan hal yang bisa menyakitkannya. Setelah berdamai dengan yang hidup, sekarang Alis harus berdamai dengan yang sudah meninggal.

Ia dibawa ke kuburan orang tuanya di lereng bukit di pinggiran desa. Kembang kuburan menari-nari diterpa angin sore yang kering.

Ibu Alis, Clara, meninggal tiga tahun lalu. Ayahnya Francisco, meninggal bertahun-tahun sebelumnya.

“Inilah anakmu, akhirnya kembali ke Timor-Leste,” kata Alis sambil membungkuk di batu nisan orang tuanya.

“Ayahku sayang. Ibuku sayang. Ketika kalian meninggal, saya tidak ada di sampingmu. Aku anakmu, Kalistru Momode, memohon ampunanmu.”

Bagi Nina, sudah lebih dari satu dekade sejak dia akhirnya bisa pulang ke Timor-Leste dan bersatu kembali dengan ibunya sendiri. Dia tahu butuh proses bagi Alis untuk benar-benar bisa pulang. Dia harus kembali ke sana berkali-kali untuk menjalani penyembuhan.

“Seseorang seperti Alis, dia tinggal bersama keluarga yang mencintainya. Semua saudara lelaki dan perempuan angkatnya, menyayanginya,” katanya.

"Tapi meskipun mereka mencintainya, ada saat-saat di mana Alis menyadari dirinya orang asing. Dia bukan putra dari orang yang mengambilnya."

Terakhir kali Alis melihat ibunya berada di dalam gereja di Ainaro saat berusia delapan tahun. Bangunan megah berwarna putih itu hampir tidak berubah sejak Alis naik ke Jeep tentara.

Di bawah bayangan gereja, menapaki tangga ke pintu yang melengkung, pikiran Alis kembali ke tahun 1977 dan bagaimana orang tuanya mengalami penderitaan.

"Pasti sangat menyakitkan bagi mereka kehilangan anak yang dicintai."

"Saya sangat sedih pulang ke kampung kelahiran saya dan melihat gereja ini. Itulah terakhir kali saya melihat ibuku."

"Jika hal serupa terjadi dengan saya, tentu saja saya akan mencari sampai menemukan anakku. Saya tak akan berhenti mencari."

Tayangan program Foreign Correspondent berjudul ‘Stolen Children’ disiarkan malam ini Pukul 20:00pm waktu Australia Timur (17:00 WIB) di ABC TV, atau Anda bisa menonton rekamannya di iview, serta di akun Facebook dan YouTube Foreign Correspondent.

Kredit

  • Reporter: Anne Barker
  • Produser: Alex Barry
  • Kamera: Matt Davis dan Phil Hemingway
  • Produksi Digital: Matt Henry
  • Fotografi: Phil Hemingway
  • Penerjemah: Farid M. Ibrahim

Foto-foto tambahan dari AJAR.