ABC

‘Harus Punya Skill’: Suka-Duka Mencari Kerja di Australia Barat

Setelah berkali-kali melamar kerja di berbagai restoran di Kota Perth, Australia Barat, Novie Collier akhirnya memutuskan untuk membuka usaha kue. Kini dia sibuk memenuhi pesanan pelanggan, apalagi saat-saat menjelang musim Natal seperti sekarang.

Novie datang ke Australia sejak tahun 2009 dan menikah dengan seorang warga setempat. Suaminya kini bekerja sebagai masinis pada perusahaan kereta api.

“Setelah menjadi PR, saya ikut belajar di TAFE. Tadinya mau mengambil kursus hospitality tapi bayarnya sangat mahal saat itu,” katanya.

Sejak datang ke Perth, Novie mengaku tidak ingin tinggal diam di rumah dan bergantung pada penghasilan suaminya saja.

movie batik cake.jpg
Novie Collier, warga asal Indonesia di Australia Barat, kini menjalankan usaha membuat kue. Salah satu kreasinya berupa kue bermotif batik.

Kiriman: Istimewa

“Saya telah melamar berbagai kerjaan di restoran. Tapi lebih banyak ditolak,” ujar Novie kepada jurnalis ABC Farid M. Ibrahim, Rabu (6/11/2019).

Tak berputus asa, Novie kemudian mengambil kursus membuat kue dan setelah selesai, dia pun mengurus izin ke Council (pemerintah setempat) untuk membuka usaha kue.

Selama menjalankan usahanya ini, Novie mengaku pernah dua kali dihubungi pihak berwenang, menanyakan apakah usaha ini memenuhi aturan atau tidak.

“Mereka menghubungi saya katanya karena ada yang menyampaikan mengenai usaha saya ini. Tapi mereka justru mengatakan tidak usah khawatir karena semua aturan dipenuhi,” katanya.

Di Indonesia, Novie pernah bekerja sebagai direktur salah satu perusahaan furnitur yang berada di Jepara. Dia bekerja di sana selama 10 tahun.

Kemudian dia pindah ke Bali dan mengurusi perusahaan Perancis yang membuat sarana skate park selama enam tahun.

“Saat itu saya banyak membantu urusan legal dan dokumen perusahaan-perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang ada di Indonesia,” jelasnya.

Kualifikasi Pekerja Migran

Kisah seperti Novie ini ternyata dialami oleh banyak migran atau pendatang di Australia. Hari Jumat (1/11/2019) lalu, riset terbaru yang dilakukan Bankwest Curtin Economics Centre di Australia Barat mengungkapkan sekitar 715 ribu migran bekerja di bidang yang tak sesuai kualifikasinya saat masih berada di negara asal.

Para migran yang mengalami dampak terburuk dari situasi ketidakcocokan kualifikasi ini umumnya berasal dari China, Jepang dan Korea.

Riset ini menemukan bahwa 48 persen migran dari negara-negara yang tidak berbahasa Inggris umumnya memiliki kualifikasi pendidikan tinggi.

Selain itu, mereka juga lebih banyak bergelar pascasarjana dan terus mengembangkan keterampilan tambahan begitu tiba di Australia.

Sementara migran dari negara-negara berbahasa Inggris, menurut riset ini, cenderung memiliki keterampilan yang sesuai dengan pekerjaan mereka.

Menurut laporan Sydney Morning Herald, Direktur Bankwest Curtin Economics Centre Alan Duncan menilai ketidakcocokan keterampilan ini berdampak pada rendahnya berpenghasilan sepertiga pekerja migran saat ini.

Duncan memperkirakan jika ketidakcocokan kualifikasi dan pekerjaan ini diatasi, maka hal itu akan meningkatkan ekonomi nasional sebesar 6 miliar setiap tahun.

“Jika kita ingin mewujudkan potensi ekonomi sepenuhnya, maka kita harus memanfaatkan keterampilan dan bakat semua warga Australia, termasuk para migran,” katanya.

Bagi Novie Collier sendiri, anggapan bahwa di Australia itu gampang mencari kerja merupakan anggapan yang tidak sepenuhnya benar.

“Intinya orang di sini harus punya skill,” ujarnya.

Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.