ABC

Hari AIDS : Usia Panjang Bukan Lagi Angan Semata Bagi Penderita HIV

Ketika seluruh dunia serentak memperingati Hari AIDS, tiga warga Australia menceritakan kegembiraan mereka bisa menikmati usia panjang yang tidak pernah mereka angankan sebelumnya sebagai penderita HIV.

 

Dua pria dan seorang wanita asal Adelaide ini sekarang menjadi pelatih pada lembaga Positive Life di Australia Selatan. Ketiganya mengajarkan para perawat lansia mengenai isu yang mereka hadapi ketika merawat lansia penderita HIV.
 
Gagasan pelatihan ini dilatarbelakangi kemungkinan seseorang tetap akan mampu bertahan hidup lama setelah didiagnosis mengidap HIV.  Kondisi ini pada 40 tahunan lalu akan sangat berbeda, dimana sekali divonis terpapar virus tersebut maka seseorang dipastikan akan segera menjemput kematian akibat AIDS.
Seorang pria asal Adelaide, Steven Dewhirst masih mengingat dengan jelas reaksi pertamanya ketika mendengar dirinya terdiagnosa positif HIV.
"Prognosis saya tidak baik. Ketika saya pertama kali didiagnosis positif HIV saya langsung bertanya pada dokter berapa lama saya bisa hidup dan dokter itu melihat jam tangannya, dan reaksi itu tidak membuat saya yakin akan bisa hidup lama,” katanya.
Pria Adelaide lain, Geoff Hood, mengatakan dia juga tidak berharap bisa mampu bertahan hidup selama ini.
"Saya juga merasakan hal yang sama dan saya tidak ingin berpikir akan mati dalam waktu beberapa tahun lagi, tapi itulah memang hal yang terbersit pertama  kali dipikiran saya,” katanya.
"Tidak akan berusia panjang merupakan diagnosis umum bagi penderita HIV positif ketika itu,”
 
Merasa bersalah karena mampu berusia panjang
 
Bagi Dewhirst bisa berusia panjang menghadirkan tantangan baru.
"Pada awal mengetahui saya positif HIV, saya menghabiskan seluruh tabungan untuk berobat,” katanya.
"Sebelum tahun 1996, saya menghabiskan uang hingga $120,000 (lebih dari 1 milyar rupiah) untuk membayar segala pengobatan,”
Beruntung saat ini skema subsidi obat dari pemerintah juga turut mencakup penderita HIV seperti dirinya, sehingga bebannya sedikit terbantu dalam membeli obat. Namun tetap saja karena harus meminum 30 butir pil setiap hari maka sebagai pensiunan dia tetap mengaku kesulitan secara keuangan. Apalagi dia mendapat 13 serangan kanker dan sudah berkali-kali divonis akan meninggal.
Mantan guru Geoff Hood mengatakan dirinya terinfeksi HIV berdekatan dengan ditemukannya pengobatan yang lebih baik dan dirinya menjadi bagian dari percobaan awal obat AZT.
"Saya beberapa kali sempat merasa bersalah, kenapa saya bisa hidup lama dan baik-baik saja, saya benar-benar tidak tahu apakah ini karena faktor keberuntungan genetik saja atau karena faktor lain, sementara kakak saya meninggal beberapa tahun lalu karena kanker usus dan saya sempat merasa sangat sedih karena berpikir mengapa saya masih hidup dan mengapa dia yang lebih dulu menjemput ajal?.” Kisah Hood.
Penderita HIV dan diskriminasi
Sementara bagi seorang wanita penderita HIV asal Adelaide, Katherine Leane memiliki cerita lain. Dirinya divonis positif HIV berbarengan ketika mengetahui dirinya tengah mengandung.
"Sepertinya saya tidak akan pernah lupa hari itu..saya terkejut, merasa hampa sekaligus tidak percaya karena saya baru mengetahui kalau saya positif HIV dan saya hamil pada saat yang bersamaan," katanya.
Selama tahun 90-an, pengobatan baru berhasil mengubah HIV dari penyakit yang penderitanya sudah pasti divonis mati, menjadi penyakit kronis yang bisa dikelola.
 
Leane mengatakan dirinya merasa penderita HIV perempuan lebih sulit mengungkapkan status HIV-nya, karena dia takut anak-anaknya akan mengalami diskriminasi.
Meskipun tidak satupun dari anak maupun cucunya yang terpapar virus HIV, dan dia juga tidak menyangka akan bisa berusia panjang untuk sempat menceritakan status HIV kepada cucunya.  Namun ia tetap merahasiakan status HIV tersebut dari keluarganya.
 
"Beban merahasiakan status itu sangat berat dan karena saya sama saja dengan memberikan pesan yang salah kepada anak-anak saya, bahwa HIV adalah sesuatu yang memalukan untuk mereka atau sesuatu yang harus mereka benci dan hadapi dengan emosi negative lainnya," katanya.
"Saya pikir jika saya ingin mereka tahu bagaimana menghadapi diskriminasi yang sayangnya masih dihadapi penderita HIV maka saya harus menunjukkan kepada mereka dengan contoh."
Pelajar belajar langsung dari penderita HIV
Namun dimana Steven Dewhirst, generasi muda saat ini mendapat pesan-pesan yang lebih positif terhadap penderita HIV. Hal itu dirasakannya karena selama lebih dari satu dekade,  Steven Dewhirst kerap diundang oleh Kampus Immanuel oleh seorang pastor untuk berbicara didepan para pelajar mengenai HIV/AIDS.
"Pada awal tahun 80-an tidak ada yang menyangka seorang penderita HIV akan bisa memberikan ceramah karena pertemuan semacam ini tidak akan pernah terjadi,” kisahnya.
"Ada anak-anak satu ruangan dengan saya penderita HIV, maka orang tua mereka akan berpikir jika saya batuk atau kentut maka anak-anaknya akan tertular HIV,” katanya.
Pastur di sekolah tersebut menilai pertemuan yang menghadirkan Dewhirst bisa menjadi cara yang lebih baik untuk mengajarkan murid mereka mengenai HIV ketimbang dari tenaga medis yang pernah mereka datangkan sebelumnya.
Penderita HIV yang kini mulai memiliki keriput di wajahnya mengaku merasa sangat beruntung bisa berusia panjang.
"Ada sesuatu yang istimewa dengan mampu berusia panjang,” kata Dewhirst.
"Saya sangat bahagia bisa  bertambah usia, umur saya sekarang 54 tahun tapi saya merasa seperti masih berusia 20 tahun saja,” tuturnya bahagia.
"Ya terkadang memang hidup sangat sulit, tapi tidak terpikir sedikitpun untuk mengganti kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama dengan apapun di dunia ini,” tegasnya.