ABC

‘Hanya Bisa Menangis’: Warga Australia Bertahan dengan Biaya Hidup yang Makin Mahal

Semakin mahalnya biaya hidup membuat banyak keluarga di Australia kesulitan dan harus mengubah rencana hidupnya. Ada yang hanya bisa menangis menghadapi kesulitan ini.

Salah satunya dialami Vinu Shankar Ganesun dan keluarga.

Setahun lalu, mereka mulai merasakan lonjakan harga-harga di Australia, mulai dari kenaikan harga bensin hingga sayur-mayur. Mereka kini bertanya-tanya, apakah tidak sebaiknya kembali saja ke India, negara asalnya.

Vinu termasuk di antara ratusan warga Australia yang menanggapi seruan ABC untuk berbagi cerita dan pengalaman mengatasi kenaikan suku bunga serta harga barang dan jasa sehari-hari.

Sebagian warga mengaku telah memangkas biaya rumah tangga semampunya, tapi Bank Sentral Australia (RBA) terus menaikkan suku bunga sampai sembilan kali lipat, dibarengi indeks harga konsumen yang meningkat 7 persen.

Vinu, istrinya Akila, dan dua anak mereka yang masih kecil menghadapi kenaikan biaya hidup ini seperti kebanyakan warga Australia.

Belanja mingguan mereka ke supermarket dan pasar semakin mahal, Akila juga menghabiskan $200 seminggu untuk biaya bensin pulang-pergi ke tempat kerjanya. Mereka tinggal di Wyndham Vale, di pinggiran barat Kota Melbourne.

Sebagai migran, keluarga ini juga memiliki pengeluaran khusus karena harus mengirimkan uang ke India untuk menghidupi keluarga mereka, atau membiayai kunjungan orang tua mereka ke Australia.

Vinu menyebut semua kesulitan ini terjadi setelah majikannya, serta majikan istrinya, tidak menilai kualifikasi mereka yang diperoleh di India.

"Kami beruntung karena kami berdua bekerja, jadi masih bisa melewatinya," ujarnya.

Hampir 12 bulan kemudian, keluarga ini menemukan berbagai cara memangkas biaya hidup.

Akila menemukan pekerjaan baru yang dekat dengan rumahnya, jadi tidak perlu lagi mengeluarkan banyak keluar uang untuk membeli bensin.

Ayah Vinu meninggal mendadak, jadi keluarganya mengajukan visa tinggal permanen untuk ibunya dan prosesnya akan menelan biaya ribuan dolar.

"Kami melewati sebagian besar badai ini," ujar Vinu.

Vinu mengatakan mereka harus memangkas anggaran keluarga lebih banyak lagi. 

Terlebih karena bunga cicilan rumah di Australia yang kian meningkat.

Jika mereka tak sanggup lagi menghadapi badai keuangan, Vinu mengaku tak menutup kemungkinan jika mereka harus pulang ke India.

"Jika ibu saya harus tinggal terpisah, kami tidak punya pilihan. Kita tidak akan meninggalkan seorang ibu berusia 70 tahun di negara lain sendirian, bukan?" tuturnya.

'Saya hanya bisa menangis'

Di bagian lain Kota Melbourne, warga bernama Beth juga mengkhawatirkan cicilan bunga rumahnya.

Perempuan berusia 60 tahun ini berpenghasilan sekitar $60.000 setahun, sebagai pekerja di sektor pendidikan, memiliki rumah sendiri, tapi dia juga satu-satunya orangtua bagi putrinya yang memiliki disabilitas.

Beth meminta namanya disamarkan, karena dia mengaku malu jika ada rekan kerjanya mengetahui tentang situasinya.

Tahun lalu, ia mengaku memotong gaya hidup "mewah", seperti membeli kopi, muffin, dan minuman soda untuk putrinya.

Sekarang dia juga sudah jarang membeli daging, menggunakan transportasi umum ke tempat kerja, hanya menggunakan mobilnya jika benar-benar perlu.

Beth beralih ke beberapa perusahaan listrik untuk mendapatkan harga membayar listrik yang sedikit lebih murah.

"Saya menanam sayuran sendiri, tapi gagal total," ujarnya.

"Kami tidak membeli kue-kue lagi. Tidak lagi makan di luar. Kami tidak pergi kemana-mana."

"Bunga KPR saya tidak berubah sampai Maret mendatang. Tapi setelahnya saya tidak tahu. Apakah saya mampu membayar cicilan bulanan dengan bunga setinggi sekarang?"

Beth mengaku pergi ke Centrelink, lembaga pemerintah penyalur tunjangan sosial, untuk mendapatkan kartu perawatan kesehatan untuk dirinya, tapi diberitahu jika ia telah mendapat tunjangan terlalu banyak.

"Saya bilang, kalian pasti bercanda. Tapi mereka memanggil saya sebagai seorang pekerja miskin," tuturnya.

"

"Saya keluar dari kantor itu dan saya hanya bisa menangis."

"

Ada yang merasa beruntung

Tapi tidak semua warga yang dihubungi ABC mengaku mengalami kesulitan akibat biaya hidup semakin mahal.

Christine Kelly, pensiunan yang merupakan warga Pribumi Aborigi dari suku Wiradjuri, mengatakan hidupnya berjalan sangat baik saat ini karena tidak punya tanggungan apa pun.

Uang sewa rumahnya dibayarkan ke dewan tanah Aborigin setempat, tidak mengalami kenaikan.

Dia juga kadang melakukan pekerjaan sampingan.

"

"Saya sudah menabung dan rencananya akan liburan ke Bali,” kata Christine.

"

"Memang saya mengurangi banyak pengeluaran. Bahkan untuk belanja sekantong kecil bahan makanan hari ini habis $42."

Dia menyebut menghemat uangnya dari membeli bahan makanan dan hiburan.

Dia juga telah mengurangi kebiasaan bermain judi, yang menghabiskan $50 seminggu.

"Saya tidak merasa hidupku sekarang lebih buruk," katanya.

Berkat kedisiplinannya, Christine menghemat sekitar $150 seminggu untuk perjalanan tiga pekannya ke Bali.

"Saya masih bisa keluar makan malam atau makan siang, atau bermain bingo pada hari Jumat. Itu hadiah buat diri saya."

Situasi keluarga yang tidak membaik

Di Sydney Barat, keuangan Lauren dan suaminya jauh lebih rumit.

Dengan anak balita, dua anjing, dua kucing, dan seekor kadal untuk dirawat, keluarga ini kesulitan meski Lauren berpenghasilan lebih dari $100.000 setahun dengan bekerja di industri keuangan, sementara suaminya bekerja di sektor pelayanan.

Tahun lalu, Lauren mengaku pendapatan mereka sebagian besar dihabiskan untuk biaya sewa tempat tinggal, penitipan anak, dan pembayaran utang, dan setiap kenaikan harga berarti ada sesuatu yang harus dipotong.

Kini dia mengatakan situasi keuangan keluarganya mereka tidak membaik sejak itu.

"Sama sekali tidak ada uang lebih yang tersisa," katanya.

"Apa yang akhirnya kami lakukan untuk hiburan adalah pergi ke taman, kami banyak jalan-jalan yang gratis."

Lauren mengatakan kenaikan harga makanan sangat memberatkan.

Meski tidak memiliki KPR, kenaikan suku bunga telah berdampak pada pinjaman pribadi yang dia ambil dari bank.

Februari lalu mereka harus mengambil pinjaman jangka pendek untuk membeli mobil dengan bunga 47 persen.

Dia mengaku telah menghemat ratusan dolar untuk belanja mingguan dengan cara belanja ke supermarket yang lebih murah.

Anak balitanya mengenakan pakaian bekas dari keponakannya, sementara Lauren dan suaminya tak pernah membeli pakaian baru.

"Saya hidup dengan pakaian hamil yang sudah ketinggalan zaman dan pakaian usang dari sebelum anak saya lahir," katanya.

Lauren berharap pengembalian pajak tahunan dan bonus dari pekerjaan akan membayar sebagian besar pengeluaran mereka.

"Jika ini tidak berhasil, langkah kami selanjutnya adalah pindah ke rumah orang tua."

Dirangkum dan diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News yang selengkapnya dapat dibaca di sini.