‘Hanya 3 Dolar Sejam’: Liburan Sambil Kerja di Australia Tak Seindah yang Dibayangkan
Liburan sambil bekerja di Australia melalui program Working Holiday Visa (WHV) ternyata tak selalu seindah yang dibayangkan. Sebagian pemegang WHV justru mendapat penghasilan hanya 3 dolar perjam.
Situasi penghasilan yang jauh di bawah ketentuan upah minimum ini, ternyata bukanlah sesuatu yang ilegal atau melanggar hukum.
Setiap tahun sekitar 150.000 orang asing datang ke Australia dengan visa WHV. Jika mereka ingin memperpanjang masa tinggal di tahun kedua, maka ada ketentuan untuk kerja minimal 88 hari di wilayah regional.
Hal itulah yang dialami Winnie Phillips, yang kini tinggal di Sydney. Bulan lalu, dia masih bekerja di perkebunan stroberi di Caboolture, Queensland.
Wanita asal Kota London ini baru saja mendapatkan visa WHV tahun keduanya, setelah menghabiskan waktu tiga bulan memetik dan mengemas buah-buahan.
Winnie mengaku telah mendengar bagaimana pekerjaan seperti itu sulit dan bisa berbahaya, sehingga dia coba mencari tahu.
“Saya membaca ulasan-ulasan online, misalnya tempat-tempat yang tak boleh dikunjungi,” katanya kepada ABC.
Dari beberapa grup Facebook dia membaca cerita-cerita horor tentang kehidupan pemegang WHV di wilayah pedalaman.
“Saya pun berpikir apakah benar-benar ingin melakukannya,” ujar Winnie.
Karena tak punya pilihan lain jika ingin tetap tinggal di Australia, dia pun berangkat meninggalkan Sydney menuju ke Queensland.
Kejutan pertama yang didapati Winnie yaitu upah yang rendah. Seperti kebanyakan pekerja di sektor pertanian, Winnie mendapatkan penghasilan berdasarkan “upah per satuan”.
Sistem penggajian seperti ini merujuk pada upah yang dihitung sesuai dengan volume produk yang dihasilkan atau dikemas. Bukan berpatokan pada jam kerja.
“Iklannya menyebut penghasilan 400 hingga 500 dolar per minggu. Kita harus mengemas 2.000 stroberi sehari untuk mencapai itu,” ujarnya.
Karena penghasilannya seringkali sangat rendah, Winnie pun kesulitan membayar sewa tempat tinggal sebesar 160 dolar per minggu.
Bahkan menurut pengakuannya, ada saat-saat ketika dia hanya bisa menghasilkan 27 dolar sehari, atau 3 hingga 4 dolar sejam. Penghasilan ini hanya seperlima dari ketentuan upah minimum.
Situasi seperti yang dialami Winnie ini bukan berarti pihak pemilik pertanian yang mempekerjakannya telah melanggar hukum.
Menurut Dr Stephen Clibborn dari University of Sydney, sulit untuk membuktikan bahwa para pekerja WHV itu dibayar rendah.
“Banyak petani dan penyalur tenaga kerja telah mengikuti aturan. Tapi jelas banyak juga yang tidak,” katanya.
Dijelaskan, tarif gaji berdasarkan volume produk yang dihasilkan hanya dapat ditetapkan jika ada perjanjian tertulis.
Selain itu, tarifnya pun harus 15 persen di atas upah minimum, bagi yang bisa dihasilkan oleh pekerja kompeten.
“Jika Anda seorang pemetik pada hari pertama, biasanya Anda belum kompeten,” katanya.
“Jadi bila Anda hanya dapat menghasilkan satu atau dua peti sehari, dengan bayaran 40 dolar per peti, yang berarti kurang dari upah minimum, tapi mungkin itu tidak melanggar,” jelas Dr Clibborn.
Karena ketentuan gaji seperti inilah yang menyulitkan lembaga-lembaga pengawas dalam membuktikan adanya pelanggaran.
“Untuk memastikan apakah upah diterapkan dengan tepat, diperlukan sumber daya yang besar,” kata Dr Clibborn.
“Intinya mereka turun ke lapangan melihat langsung pekerja selama berjam-jam,” katanya.
Dia mengatakan kondisi seperti ini menciptakan ketimpangan yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha yang memang memiliki niat buruk.
“Ini gampang dieksploitasi,” kata Dr Clibborn yang pernah menemukan akomodasi 70 tempat tidur dalam satu tenda.
“Ada pelecehan seksual di tempat kerja dan lebih buruk lagi, surat-surat gaji pekerja ditahan dengan imbalan seks,” katanya.
Tak bisa tidur
Di pertanian pertama tempatnya bekerja, menurut Winnie, sistem rosternya diatur sehari sebelumnya.
“Beberapa kali saya mengalami gangguan. Saya bahkan tidak bisa tidur, karena ketidakpastian apakah bisa bekerja di hari berikutnya,” ujarnya.
Di pekerjaan berikutnya, Winnie tidak diberitahu siapa pemilik pertanian itu selama berminggu-minggu.
“Kami tidak bisa mengetahui siapa namanya,” katanya.
Setelah terus mendesak soal ini, mereka akhirnya diberitahu nama depan pemilik pertanian itu.
Winnie mengaku manajernya juga menolak memberikan slip gaji dan dokumen pendukung untuk menyelesaikan aplikasi visanya. Padahal, katanya, saat itu visanya tinggal waktu dua minggu lagi habis.
“Saat itu saya sangat terpukul. Saya sangat menginginkan slip gaji itu, supaya saya bisa tinggal di sini,” katanya.
Rekan-rekan pekerja WHV dari negara-negara yang tidak berbahasa Inggris, kata Winnie, bahkan lebih kesulitan lagi untuk slip gaji dari tempat kerjanya.
Ketika akhirnya menyelesaikan waktu 88 hari di sana, katanya, dia pun mencoba pergi dari pertanian itu.
“Pemilik pertanian melarang saya pergi, karena katanya masih lebih pekerjaan yang harus saya lakukan,” katanya.
Tapi Winnie menghubungi temannya untuk menjemput dia dan mengantarnya ke stasiun kereta, meninggalkan Caboolture untuk selamanya.
Kini, dia mengingatkan pekerja WHV yang akan bekerja di pertanian di wilayah regional Australia agar membangun jaringan.
“Tetap bersama-sama dan pastikan kamu ada nomor telepon yang bisa dihubungi jika merasa tidak aman,” katanya.
Kisah wanita dari AS
Kisah kehidupan pemegang WHV yang tak seindah yang dibayangkan juga dialami Casey Smith asal Nashville, AS, yang menghabiskan 88 hari bekerja di sebuah pub di Cloncurry, Queensland.
Wanita berusia 31 tahun ini mendapat bayaran per jam, tapi dia rutin mendapatkan pelecehan verbal.
“Bagian terburuk yang saya alami yaitu pada cara majikan mengajak saya bicara,” ujarnya kepada ABC.
Menurut Casey, bosnya itu tahu persis bahwa dia membutuhkan pekerjaan, dan hal itu memengaruhi caranya memperlakukan Casey.
“Mereka tahu betul bahwa kita ada di sana demi mendapatkan visa,” katanya.
“Mereka memanggil dengan cara merendahkan. Saya bahkan dipanggil bodoh, dimarahi, diteriaki, diancam untuk dipecat,” tambahnya.
Menurut Casey, banyak pekerja asing yang saat itu bekerja di Cloncurry, yang dia sebut memiliki budaya pelecehan.
“Bekerja sebagai bartender Anda akan mengalami pelecehan seksual sehari-hari yang sudah biasa,” katanya.
“Di Queensland, setidaknya di tempat kerjaku, tidak ada aturan sama sekali,” kata Casey.
Dia mengaku dilarang untuk mengusir orang dari bar, karena pelanggan yang melakukan pelecehan sekalipun tetaplah pelanggan yang harus dihargai.
“Orang-orang gampang emosi, dan kami hanya diminta untuk menerimanya,” katanya.
Para pekerja WHV ini, kata Casey, sudah paham bahwa jika mereka mempersoalkan apa yang terjadi, hal itu merugikan pekerjaan mereka.
Dengan pengalaman seperti ini, Casey pun tidak ingin lagi melanjutkan masa tinggalnya di Australia di tahun ketiga.
Padahal, terhitung sejak bulan Juli lalu, Pemerintah telah memperpanjang visa WHV menjadi tiga tahun, dengan syarat harus bekerja di wilayah regional selama enam bulan.
“Hal itu bagus buat perekonomian Australia, tapi saya rasa para pengusaha hanya memanfaatkannya,” katanya.
“Saya rasa orang Australia sama sekali tidak tahu bagaimana kami diperlakukan,” ujar Casey Smith.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.