ABC

Hak Perempuan Terancam Akibat Gerakan Fundamentalis

Menurut sebuah laporan baru yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bangkitnya fundamentalisme agama dan kelompok sayap kanan menimbulkan risiko serius terhadap kesetaraan gender global.

Berdasarkan 54 pengajuan dari pemerintah, akademisi dan organisasi non-pemerintah, laporan tersebut menegaskan bahwa agenda ekstrimis agama dan non-agama adalah merongrong kebebasan perempuan di seluruh dunia, termasuk di Australia.

Dalam penyampaian laporan tersebut, LSM ‘Australian Lawyers for Human Rights’ (Pembela Hak Asasi Manusia Australia) mengatakan bahwa pengarusutamaan gagasan ekstrimis dalam wacana publik di Australia merupakan ancaman bagi para perempuan.

Profesor Karima Bennoune, Perwakilan Khusus PBB untuk Hak-Hak Budaya sekaligus penulis laporan tersebut, mengatakan bahwa LSM Australia itu telah menyampaikan kekhawatiran khusus mereka atas meningkatnya gerakan “ultra-nasionalisme populis”.

"Dalam pandangan mereka, kubu sayap kanan mencoba menerapkan apa yang disebut ‘budaya asli Australia’ terhadap para perempuan, terutama terhadap mereka yang berasal dari latar belakang etnis beragam," sebut Prof Bennoune.

Profesor Bennoune mengatakan bahwa penyalahgunaan hak asasi manusia (HAM) oleh kelompok ISIS adalah pemicu diterbitkannya laporan tersebut.

“Tapi juga … reaksi balik terhadap orang-orang yang berbicara bahasa asing di Inggris setelah voting Brexit, dan munculnya wacana kebencian setelah Pemilu di Amerika Serikat musim gugur lalu,” ujarnya.

Para perempuan di Arab Saudi bisa ditahan jika tak menutup kepala mereka.
Para perempuan di Arab Saudi bisa ditahan jika tak menutup kepala mereka.

Getty images: AFP PHOTO/Fayez Nureldine

Memperparah diskriminasi gender

Laporan tersebut mencatat bahwa gerakan fundamentalis dan ekstrimis dari semua kelompok menolak gagasan tentang persamaan dan universalitas hak asasi manusia.

Untuk kasus perempuan, laporan tersebut menyatakan, hal itu bisa diterjemahkan menjadi persyaratan untuk “berpakaian tertutup”, kurangnya hak reproduksi, ancaman diskriminasi, atau demonisasi (pengutukan) karena gagal menyesuaikan diri dengan stereotip gender.

“Dalam laporan tersebut, saya berbicara tentang bagaimana setiap tahun ribuan perempuan Iran ditegur, ditangkap atau diadili atas apa yang disebut kejahatan karena tidak mengenakan jilbab,” ujar Prof Bennoune.

"Di Sudan, perempuan dicambuk karena pakaiannya tidak cukup tertutup, [dan] di Arab Saudi … seorang perempuan yang memasang foto dirinya di media sosial tanpa jilbab ditangkap."

Menurut Profesor Bennoune, yang juga penulis buku ‘Your Fatwa Does Not Apply Here’ (Fatwa Anda Tidak Berlaku di Sini), kelompok fundamentalis bukan satu-satunya yang memberlakukan diskriminasi -pemerintah, pendidik, dan jejaring sosial juga terlibat.

Laporan tersebut mencatat bahwa pemerintah dan organisasi hak asasi manusia menerima pelanggaran hak asasi manusia atau bentuk diskriminasi atas nama relativisme budaya.

"Ini benar-benar merongrong perjuangan atas hak budaya perempuan yang setara ketika masyarakat menyerah pada argumen yang dibuat oleh fundamentalis -bahwa mereka adalah suara ‘asli’," kata Profesor Bennoune.

Pemerintah yang mengutip praktik budaya saat menolak pembela hak-hak perempuan, turut “membantu dan bersekongkol dengan ekstremisme”, demikian bunyi laporan tersebut.

Profesor Bennoune mengatakan, ideologi fundamentalis -tak hanya penyalahgunaan -harus diatasi.
Profesor Bennoune mengatakan, ideologi fundamentalis -tak hanya penyalahgunaan -harus diatasi.

Supplied

Praktik politik yakni bermitra dengan kelompok ekstrimis non-kekerasan juga ditandai sebagai penyebab dari keprihatinan global ini.

“Di banyak tempat di mana pemerintah memiliki strategi untuk apa yang disebut memerangi ekstrimisme kekerasan atau CVE, mereka terkadang mendasarkan strategi untuk bermitra dengan apa yang mereka anggap sebagai ‘ekstrimis moderat’ atau fundamentalis dari berbagai kubu -dan saya pikir ini adalah kesalahan yang mengerikan,” kata Profesor Bennoune.

“Seringkali, para ekstrimis non-kekerasan ini mendukung diskursus diskriminasi terhadap perempuan yang, pada kenyataannya, akhirnya menghasilkan banyak kekerasan terhadap perempuan.”

Profesor Bennoune mengatakan bahwa ideologi fundamentalis, bukan hanya kasus pelecehan, perlu ditangani.

“Dulu, masyarakat internasional di era Apartheid mengakui bahwa masalahnya bukan hanya pelanggaran, ideologi superioritas rasial sendiri-lah yang harus dikalahkan -dan saya pikir itulah yang kita lihat di sini,” jelasnya.

Temuan dalam laporan tersebut dipresentasikan di depan Majelis Umum PBB di New York pada hari Rabu (25/10/2017).

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.