ABC

Guru SD di Australia Kesulitan Hadapi Perilaku Seksual Murid

Para guru sekolah dasar (SD) di Australia memerlukan pelatihan tambahan untuk menangani laporan mengenai murid-murid, termasuk yang baru berumur lima tahun, yang menunjukkan gejala perilaku seksual tidak senonoh di sekolah.

Sebuah studi nasional yang diterbitkan dalam jurnal Sex Education, mengungkapkan para guru menyaksikan adanya murid yang mengancam memperkosa murid lainnya, mensimulasikan hubungan seksual dan memaksa murid lain untuk terlibat dalam perilaku seksual.

Penelitian ini menyoroti kekhawatiran tentang kemampuan guru-guru tersebut membedakan antara korban pelecehan dengan murid-murid yang meniru apa yang mereka lihat di media.

Survei melibatkan sampel 107 guru SD dasar yang mengajar murid berusia 5-13 tahun. 40 persen di antaranya mengatakan telah menyaksikan perilaku seksual yang bermasalah.

Peneliti utama Lesley-Anne Ey, dosen pengembangan anak dan pendidikan di Universitas Australia Selatan, menjelaskan para guru ini mengungkapkan perasaan perlunya lebih banyak pelatihan seputar masalah ini.

Dr Ey mengatakan bahwa perilaku yang dilaporkan mencakup kasus yang parah, seperti murid yang mengancam memperkosa murid lainnya dan bersentuhan satu sama lain.

“Mencoba untuk saling memaksa – banyak kejadian ini terjadi di toilet,” katanya.

Penelitian tersebut menemukan bahwa para guru mampu mengidentifikasi kasus rasa ingin tahu seksual “sesuai usia”.

Namun Dr Ey menambahkan beberapa guru merasa tak siap menghadapi murid-murid yang lebih serius.

“Beberapa guru menanggapi bahwa mereka tidak mengharapkan jenis perilaku yang mereka lihat,” katanya.

“Perhatian utama para guru yaitu mereka tidak tahu bagaimana cara menangani perilaku tersebut,” jelasnya.

“Mereka tidak tahu apa yang menyebabkan perilaku itu dan tidak tahu bagaimana membantu murid-murid yang terlibat dalam perilaku semacam ini,” tambahnya.

Di semua negara bagian dan teritorial Australia, para pendidik diwajibkan memberi tahu otoritas perlindungan anak jika mencurigai adanya penyimpangan.

Dr Ey mengatakan pelatihan untuk guru bervariasi baik dalam lingkup, kualitas maupun konsistensinya. Hal itu, katanya, perlu diubah secara keseluruhan.

“Kita memiliki kurikulum nasional. Saya pribadi berpikir kita harus memiliki pelatihan nasional dan dokumentasi nasional sehingga konsisten di seluruh negara bagian dan teritorial,” katanya.

“Dan semua guru dididik secara sama dan merespon secara sama di seluruh tanah air,” jelasnya.

Perbedaan pelecehan seksual dan imitasi

Kesulitannya terletak pada bagaimana menentukan apakah murid meniru apa yang mereka lihat di internet, atau apakah mereka menjadi korban pelecehan seksual.

“Guru perlu mencari tahu, apakah murid-murid ini adalah korban pelecehan seksual, atau apakah mereka meniru perilaku ini?” kata Dr Ey.

“Apapun yang terjadi, masih mengkhawatirkan dan masih bermasalah. Murid-murid ini masih butuh dukungan,” jelasnya.

Pam Kent, ketua Primary Principals Association di Australia Selatan, mengatakan tingginya insiden perilaku seksual bermasalah di sekolah bukan hal mengejutkan.

“Sayangnya hal itu jauh lebih sering daripada yang mungkin disadari. Ini bukan spesifik terkait latar belakang sosio-ekonomi. Jauh lebih sering daripada yang kita sadari,” katanya.

Kent mengatakan maraknya media sosial dan paparan perilaku orang dewasa melalui TV dan internet, bisa membuat para guru kesulitan membedakan antara pelecehan seksual dan peniruan perilaku.

Namun dia mengaku percaya bahwa para guru di SD mengetahui murid-murid mereka “dengan baik” dan terlatih dalam mengidentifikasi masalah serius serta melaporkannya.

“Dan mereka umumnya tahu kapan hal itu merupakan perilaku sosial yang tak pantas atau pelecehan verbal dalam bentuk seksual, dan mereka dapat menanganinya,” katanya.

“Namun masalahnya adalah para guru merasa harus melakukan sesuatu yang beberapa tahun silam merupakan sesuatu yang seharusnya ditangani orangtua di rumah,” tambahnya.

Diterbitkan Senin 7 Agustus 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News di sini.