Gereja Katolik Disebut Hancurkan Bukti Kasus Pelecehan Seksual
Pada pertemuan puncak perlindungan anak di Roma yang diinisiasi oleh Paus Fransiskus muncul sebuah pengakuan yang mengejutkan: Gereja Katolik di dunia sengaja menghancurkan dokumen-dokumen tentang pemimpin agama di lingkungan gereja Katolik yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Kardinal Reinhard Marx, Uskup Agung Munich, Jerman mengatakan kepada 190 pemimpin gereja yang berkumpul di Roma bahwa prosedur untuk menyelidiki dan menghukum para pendeta pedofil sering diabaikan.
“Arsip yang bisa mendokumentasikan perbuatan mengerikan dan mengungkapkan mereka yang bertanggung jawab telah dihancurkan, atau bahkan tidak dibuat,” katanya.
Komisi kerajaan Australia menemukan “asas kerahasiaan berlaku” di Gereja Katolik, dan dokumen tentang tuduhan pelecehan seringkali tidak disimpan.
Komentar kardinal Reinhard Marx membuat marah banyak penyintas pelecehan yang pelaku pelecehan tersebut telah dipindahkan dari paroki ke paroki di seluruh dunia.
Peter Isely, dari Ending Clergy Abuse, mempertanyakan apakah para kardinal telah merujuk para uskup yang menutupi kejahatan ini kepada otoritas sipil.
“Mereka telah menghancurkan bukti kejahatan terhadap anak-anak yang diperkosa. Kardinal Marx tahu siapa para pelaku itu,” katanya.
Vatikan memiliki berbagai lembaga untuk menyelidiki kejahatan pelecehan seksual ini, tetapi Kardinal Marx mengkritik penggunaan “asas rahasia kepausan” dalam beberapa kasus.
“Gereja tidak boleh beroperasi di bawah standar kualitas administrasi peradilan publik, jika tidak ingin menghadapi kritik bahwa gereja memiliki sistem hukum yang lebih rendah yang berbahaya bagi orang-orang,” katanya.
Uskup Agung Brisbane Mark Coleridge mengatakan dia mengetahui adanya “penumpukan” kasus yang telah dirujuk ke penyelidik di Vatikan, termasuk beberapa kasus itu berasal dari Australia.
“Saya tahu ada sesuatu yang menjadi hambatan … dalam arti saya pikir mereka telah kebanjiran kasus, mereka telah meminta semua kasus ini dilaporkan ke Roma.”
‘Kemunafikan dan rasa puas diri’ memungkinkan pelecehan, kata biarawati kepada para uskup
Salah satu pidato yang paling banyak mendapat perhatian dalam pertemuan Paus tentang perlindungan anak di bawah umur disampaikan oleh salah satu dari sedikit wanita yang diundang untuk berpartisipasi dalam event itu.
Suster Veronica Openibo dari Nigeria mengatakan Gereja Katolik harus menghadapi kegagalannya.
“Kita harus mengakui bahwa keadaan biasa-biasa saja, kemunafikan, dan rasa puas diri kita telah membawa kita ke tempat yang memalukan dan tidak bermartabat yang kita kenal sebagai gereja,” katanya.
Suster Openibo mengecam gereja karena telah berlindung dibalik citra sebagai “penjaga standar moral” ketika kasus-kasus pelecehan anak-anak justru disembunyikan di seluruh dunia.
“Kenapa kita diam begitu lama?”
Kisah-kisah tentang wanita yang telah mengalami pelecehan seksual di gereja menjadi terang benderang, termasuk pemerkosaan para biarawati.
Biarawati Openibo mengatakan “diskriminasi gender, dan peran wanita” telah diabaikan di gereja.
Pada pembukaan KTT itu, seorang wanita tak dikenal asal Afrika menceritakan kisahnya kepada para uskup dan mengatakan dia dihamili sebanyak tiga kali oleh seorang imam yang memperkosanya selama 13 tahun.
“Saya merasa hidup saya hancur,” katanya.
Jurnalis veteran Vatikan Valentina Alazraki juga berpidato kepada para uskup yang mengatakan kepada mereka bahwa media akan terus menjadi “mimpi terburuk” gereja jika mereka tidak menangani krisis ini.
“Laporkan hal-hal [pelecehan seksual] ketika anda mengenal mereka. Itu adalah satu-satunya cara, jika anda ingin masyarakat mempercayai gereja ketika anda mengatakan ‘mulai sekarang kita tidak akan lagi mentolerir dan menutup-nutupi’.”
Italia dinilai lambat tangani kasus
Berkali-kali selama berlangsungnya KTT pada uskup akhir pekan ini di Roma, Alessandro Battaglia mengungkapkan kenangannya mengenai pelecehan seksual yang dialaminya.
Dia berusia 15 tahun ketika seorang imam melecehkannya, dan pria itu baru-baru ini dinyatakan bersalah di pengadilan Italia.
Dari Milan, Alessandro Battaglia datang ke Roma untuk bertemu dengan para penyintas korban pelecehan imam gereja lainnya untuk memprotes respon gereja terhadap krisis pelecehan seksual di kalangan gereja di Italia.
“Mereka ingin mengutamakan reputasi mereka dibandingkan kehidupan anak-anak. Ini cara hidup para kriminal,” katanya.
Pria berusia 23 tahun itu mengatakan negaranya lamban bertindak karena ikatan mendalam Italia dengan Gereja Katolik Roma.
“Kondisi penangan kasus ini berbeda di Italia karena kami memiliki Vatikan di sini,” katanya.
"Banyak keluarga, orang-orang di setiap bagian Italia adalah Katolik, Gereja Katolik sangat berpengaruh di setiap rumah di Italia."
Di sela-sela pertemuan puncak itu, ratusan umat Katolik datang ke Roma untuk mendesak Paus Fransiskus agar melibatkan lebih banyak orang awam dan perempuan dalam pengambilan keputusan.
Wanita-wanita Amerika dari Gerakan Pekerja Katolik berziarah untuk mendoakan para penyintas, termasuk Claire Schaeffer-Duffy dari Massachusetts.
“Ini adalah isyarat iman sebagai penyintas untuk berada di sini dan mengatakan [kepada gereja] Anda harus menghadapi ini,” katanya.
“Karena jika anda tidak memiliki keyakinan anda tidak akan datang, anda akan mengatakan lupakan mereka bahwa mereka hanya nasib buruk, saya akan pergi.”
Simak beritanya dalam bahasa Inggris disini.