ABC

Gerakan Kemerdekaan di Papua Harus Dilihat Dalam Empat Fase

Gerakan kemerdekaan di tanah Papua harus dilihat dalam empat fase, tidak bisa hanya difokuskan pada apa yang dikenal sebagai OPM atau Organisasi Papua Merdeka semata. Keempat fase tersebut dimulai sejak era kolonial Belanda hingga munculnya ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) dewasa ini.

Hal itu dikemukakan Dr Richard Chauvel, pakar studi Indonesia pada Melbourne University, Australia, dalam diskusi seusai pemutaran film dokumenter tentang Papua di kampus universitas tersebut, hari Rabu (31/8/2016) malam.

Kegiatan ini digelar oleh kalangan mahasiswa asal Indonesia yang sedang belajar pada Melbourne University dan dihadiri sejumlah pihak termasuk perwakilan Konsulat Jenderal RI Victoria dan Tasmania.

Dokumenter itu sendiri menampilkan sejumlah narasumber termasuk Lambert Pekikir, yang dikenal sebagai pemimpin militer OPM, hingga Bambang Darmono yang menjabat Kepala Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), serta Sekjen Presidium Dewan Papua Thaha Al Hamid.

lambert pekikir.jpg
Lambert Pekikir (bertopi loreng), pemimpin militer OPM. (Foto: istimewa)

Sebelum pemutaran film, penyelenggara kegiatan ini menjelaskan bahwa dokumenter tersebut diproduksi ketika masih di era Pemerintahan SBY.

Menurut Dr Richard Chauvel, Pemerintah Kolonial Belanda mulai mengenalkan berbagai program pendidikan bagi rakyat Papua sejak tahun 1920-an hingga tahun 1950-an. “Program pendidikan Belanda ini telah menciptakan elit Papua pada masa itu,” jelasnya.

Dikatakan, di era awal 1960-an tepatnya pada 1961, bahkan muncul partai politik di Papua yang secara eksplisit membuat manifesto yang menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri.

“Fase kedua ditandai dengan pendirian OPM di Manokwari pada tahun 1965,” jelas Dr Chauvel seraya menambahkan bahwa dewasa ini kemampuan militer OPM sangat terbatas dan gerakannya pun terfragmentasi.

Pasca reformasi 1998, lanjut Dr Chauvel, menandai fase ketiga yaitu adanya ruang gerak yang cukup bebas di era Pemerintahan Gus Dur. Di era inilah simbol-simbol yang sebelumnya ditabukan oleh pihak militer Indonesia seperti bendera bintang kejora sebagai lambang budaya bisa dikibarkan dan lagu Hai Tanahku Papua boleh dinyanyikan sebagai lagu daerah.

bambang-darmono.jpg
Kepala Unit P4B Bambang Darmono. (Foto: istimewa)

Dikatakan, di era itu pulalah Pemerintah RI mengizinkan digelarnya Kongres Papua yang melahirkan organisasi Presidium Dewan Papua. Nama Irian Jaya pun diubah menjadi Papua pada era tersebut.

“Organisasi Dewan Papua ini memilih jalan perjuangan yang damai. Sebagian di antara mereka mengakui perjuangan OPM namun sebagian lainnya justru menolak,” kata Dr Chauvel.

Ditambahkan, pada fase keempat, perjuangan tersebut beralih dan lebih terfokus pada upaya diplomasi di luar Papua dan Indonesia. “Fase keempat ini ditandai dengan berdirinya organisasi ULMWP,” jelas Dr Richard Chauvel.

Terkait dengan hal ini, dokumenter itu menampilkan antara lain upaya yang dilakukan tokoh-tokoh Papua yang ada di berbagai negara seperti Inggris dan Swedia.

Mengomentari film dokumenter itu sendiri, Dr Chauvel menyatakan, hal ini merupakan dua interpretasi sejarah mengenai integrasi Papua dengan Indonesia. Adanya dua interpretasi ini merupakan salah satu hambatan untuk terjadinya dialog di antara kedua pihak.

Diskusi yang terjadi seusai pemaparan Dr Chauvel, menurut pengamatan wartawan ABC Farid M. Ibrahim, berubah menjadi “panas”.

Sebagian besar penanya justru mengajukan pertanyaannya kepada pihak KJRI, mulai dari yang mempertanyakan apakah Indonesia masih perlu memiliki Papua hingga hak-hak rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Dan sebaliknya, pihak KJRI pun memberikan tanggapannya dengan tetap pada sikap bahwa Papua merupakan bagian integral dari NKRI.