ABC

Gerakan Golput Ungkap Pandangan Klise Australia ke Indonesia

Aktivis Haris Azhar menilai kedua capres Indonesia sama-sama tidak kompeten. Isu yang mereka perdebatkan hanya omong kosong, dan keduanya berusaha melindungi status quo.

“Ada masalah lain yang jauh lebih penting”, katanya, seperti isu hak asasi manusia, supremasi hukum, keadilan sosial, kerusakan lingkungan hidup.

“Kita punya kapasitas,” katanya menambahkan. “Kita akan membangun politik alternatif”.

Haris berharap rakyat Indonesia untuk Golput, jangan memilih Prabowo Subianto, mantan tentara di era Suharto. Jangan pula memilih Joko Widodo, yang memberi banyak konsesi bagi elit politik saat ini dan kaum konservatif.

Haris menilai suara Golput yang tinggi akan mengingatkan politisi mengenai harapan rakyat akan politik yang lebih besar dan nyata dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Kini kian banyak orang Golput bukan karena apatis, tapi untuk mengekspresikan kekecewaan pada nilai-nilai politik dan visi yang ditawarkan dalam Pemilu 2019.

golput cnn.jpeg
Golput umumnya terdiri atas anak-anak muda, tinggal di perkotaan dan berpendidikan.

CNN Indonesia

Gerakan memboikot Pemilu

Pendukung Golput umumnya terdiri atas anak-anak muda, tinggal di perkotaan dan berpendidikan tinggi.

Para aktivis masyarakat sipil seperti jurnalis, akademisi, pegiat LSM merupakan advokat terkemuka gerakan Golput ini.

Banyak di antara mereka adalah bekas pendukung Jokowi dan Ahok, yang dikecewakan oleh jatuhnya Ahok dan tunduknya Jokowi pada tekanan massa.

Hal paling provokatif bagi mereka ini yaitu adalah pilihan Jokowi pada Ma’ruf Amin sebagai calon wapresnya.

Kekuatan Golput

Meski diperkirakan 30 persen pemegang hak pilih akan Golput, jumlah ini tidak mengukur alasan mereka apakah karena keyakinan politik atau karena ketidakpedulian.

Jokowi sendiri meremehkan kemampuan mereka ini akan mengikis basis politiknya. Padahal kemampuan berjejaring memberi Golput pengaruh sosial yang tak proporsional.

Golput ini progresif sehingga tidak bisa dipandang remeh.

Sejumlah pendukung Golput menyebut alasan lemahnya hak-hak LGBT, yang lain menuding rendahnya komitmen politisi terhadap rasisme, pluralisme agama dan sentimen primordial.

Banyak Golput lainnya menyoroti sistem politik yang mementingkan kepentingan politisi dan pengusaha, dan kurangnya persaingan ideologi.

Kaum Golput membayangkan Indonesia yang lain.

Alghiffari Aqsa dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta giat mengadvokasi Golput. Dia mengusulkan perlunya pemilih diberi hak memberhentikan politisi, serta hak warga membuat UU seperti di Swiss.

Dia melihat sekarang saatnya untuk mendorong perubahan transformatif ini.

People lining up on the side of road
Warga Indonesia di berbagai negara pun bisa memberikan suara dalam Pemilu 2019.

ABC News, Sean Mantesso

Kritik terhadap Golput, kata pegiat Golput, berasal dari miskinnya imajinasi politik.

Di media sosial kaum Golput dengan sarkastis banyak menyoroti mediokritas politik, pelanggaran janji politik dan oportunisme.

Di akun Twitternya, Haris Azhar sering menuding langsung para politisi, mengingatkan pernyataan mereka yang tidak konsisten.

Dia misalnya menanyakan langsung ke Jokowi, mengapa sang presiden menolak untuk menemui para pekerja tambang yang dieksploitasi.

Ketika politisi sesumbar dengan perlunya integritas dalam penegakan hukum, Haris menyindir para pensiunan jenderal era Suharto yang ada di pemerintahan Jokowi saat ini.

Dia menyoroti isu-isu yang diabaikan oleh politisi, mulai dari serangan terhadap penyelidik KPK yang tidak diselesaikan hingga kebijakan lingkungan hidup yang buruk.

Pemilu Indonesia memberikan bukti lain mengenai ketidakpuasan rakyat terhadap para politisi.

Pasangan Capres “alternatif” bohong-bohongan bahkan menjadi viral. Orang saling mendesak untuk mempelajari kebijakan masing-masing pasangan.

Rasa frustrasi pada debat Pilpres putaran pertama karena miskin substansi memaksa perubahan format debat berikutnya.

Orang terluka karena para politisi meminta pemilih memberikan pilihan berdasarkan profesi atau keanggotaan ormas keagamaan.

Pandangan klise Australia

Gerakan Golput dan ketidakpuasan politik lainnya mengungkapkan keterbatasan pemahaman orang Australia tentang Indonesia. Pemahaman yang terbatas ini telah menghambat Australia sendiri.

Selama beberapa dekade, warga Australia memandang masyarakat Indonesia itu homogen dan, dalam kata-kata akademisi Max Lane, “sangat otoriter”.

Persepsi semacam itu mendorong fokus sempit pada pemimpin politik Indonesia, yang dipandang mampu menjadi penjamin stabilitas.

Di mata Australia, tugas utama pemimpin Indonesia, hanyalah mengatasi komunisme dan terorisme, hal yang tak diinginkan dari masyarakat Indonesia.

Maria Catarina Sumarsih, ibu dari mahasiswa yang terbunuh pada 1998, giat dalam gerakan Kamisan juga memutuskan akan Golput.

Jokowi hanya bertemu aktivis Kamisan sekali saja. Tidaka ada tindakan berarti yang telah dilakukan presiden setelah itu.

Sumarsih menilai Golput sebagai “pelajaran politik” bagi politisi. Ingin menunjukkan bahwa rakyat tidak mudah diperdaya.

Pendukung Golput lainnya bertekad menggunakan demokrasi untuk membangun pemberdayaan dan martabat individu.

“Butuh bertahun-tahun untuk menyadari saya berharga,” kata Amahl Azwar, seorang aktivis gay.

“Saya tidak akan membahayakan hal itu dengan memilih seseorang yang jelas-jelas ingin melarang LGBT,” katanya.

Mereka juga menghendaki masyarakat yang disatukan oleh nilai-nilai keberadaban dan saling menghormati. Mereka menolak kandidat yang memicu pertikaian antaragama dan intoleransi.

Haris melihat Golput sebagai tindakan analisis kritis: yang terpenting adalah agar orang tidak membeo.

Semua fenomen Golput ini bukan berarti Indonesia menuju masa depan liberal-progresif. Kebanyakan kaum gerakan mbalelo akar rumput bersifat konservatif-religius.

Hal ini justru menunjukkan heterogenitas Indonesia, tekad individu dan banyak kelompok masyarakat untuk masa depan bangsa mereka.

Akankah Golput berhasil

Apakah Indonesia bergerak ke demokrasi liberal dengan toleransi beragama lebih besar atau menuju xenophobia dan otokrasi, bukan ditentukan oleh presiden mana pun. Tapi oleh arus dalam masyarakat Indonesia sendiri.

Gerakan Golput mungkin menginspirasi keterlibatan Australia dengan Indonesia. Yaitu agar Australia sama fokusnya pada gerakan akar rumput dan pada elit pemerintah.

Masyarakat sipil dan LSM perlu mendapatkan pendanaan, beasiswa dan dukungan lainnya yang lebih besar. Lembaga pemerintahan dan masyarakat sipil Australia sebaiknya bermitra dalam isu-isu perubahan iklim hingga toleransi antaragama.

Hal ini juga mungkin mendorong perubahan persepsi mendasar Australia terhadap Indonesia.

Ketegangan diplomatik antara Canberra dan Jakarta di masa depan bisa dikelola lebih baik jika rakyat Australia mampu melihat rakyat Indonesia dalam segala keragamannya.

Jika mereka memahami bahwa Indonesia lebih besar daripada arus politik tunggal, seperti halnya Amerika jauh lebih besar daripada Trumpisme.

Ada Indonesia lain dari yang diketahui orang Australia. Indonesia yang berbeda pendapat, progresif, memerangi rasisme, korupsi, patriarki dan perusakan ekologis.

Indonesia seperti ini yang patut mendapat perhatian lebih, di dalam dan di luar Indonesia.

David Fettling, penulis Encounters with Asian Decolonisation.